Jakarta, Kabariku — Pengamat politik dan hukum sekaligus aktivis 89, Standarkiaa Latief, menilai bahwa pesimisme publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia bukan tanpa alasan.
Menurutnya, korupsi di Tanah Air bukan lagi sekadar extraordinary crime, melainkan telah menjelma menjadi kejahatan yang bersifat sistemik dan dilembagakan melalui kebijakan negara.
“Korupsi hari ini sudah menjadi bagian dari state crime, kejahatan yang dilakukan oleh negara itu sendiri,” ujar Kia dalam Diskusi Santai Akhir Tahun: Anomali Pemberantasan Korupsi 2025, Harapan untuk 2026 di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (28/12/2025).
Kiaa menjelaskan, dalam satu dekade terakhir, watak penyelenggaraan negara cenderung mengarah pada state corporate and economic crime. Di mana kebijakan, regulasi, hingga undang-undang justru menjadi payung pembenar praktik korupsi.
Salah satu contohnya adalah hadirnya berbagai regulasi strategis seperti Omnibus Law yang melibas puluhan aturan lintas sektor.
“Ada sekitar 80 regulasi disikat oleh Omnibus Law, mulai dari pertambangan, perkebunan, pertanahan, hingga energi. Ini menciptakan sistem ekonomi negara yang berorientasi pada kepentingan oligarki,” tuturnya.
Bagi Kiaa, kolusi antara elite politik dan pemilik modal telah melahirkan oligarki yang menguasai arah kebijakan negara. Dalam situasi ini, korupsi tumbuh subur karena negara dirancang untuk melayani kepentingan kapital segelintir orang.
Ia pun menyoroti berbagai kasus korupsi besar yang belakangan mencuat ke publik. Namun, Kia berpandangan bahwa penanganan kasus-kasus tersebut masih bersifat tebang pilih dan cenderung simbolik.
“Yang terlihat seolah ada keseriusan, tapi sebenarnya hanya simbolik. Tidak menyentuh aktor-aktor elit politik yang menjadi kunci,” katanya.
Kiaa menegaskan, pemberantasan korupsi tidak boleh berbasis pada politik kekuasaan, melainkan harus berlandaskan kepastian penegakan hukum.
Ia berpandangan bahwa praktik impunitas terhadap elite politik justru semakin merusak rasa keadilan masyarakat.
“Ketika elite politik diberi ruang impunitas, yang dikorbankan adalah rasa keadilan publik. Ini sangat sadis dan masih terjadi sampai hari ini,” ucapnya.
Dalam konteks pemerintahan saat ini, Kiaa menyebut Presiden Prabowo Subianto berada di titik krusial. Jika ingin mengembalikan kepercayaan publik, kata Kiaa, Prabowo harus berani tampil sebagai antitesis dari praktik kekuasaan sebelumnya.
“Kalau tidak berani memutus watak state crime dan membongkar state corporate economic crime, jangan berharap pemberantasan korupsi menjadi nyata,” ujarnya.
“Ketika korupsi melibatkan elite kekuasaan atau pimpinan aparat penegak hukum, biasanya disabotase dari dalam. Ada jiwa korsa dan ruang impunitas,” sambungnya.
Sementara itu, pengamat hukum sekaligus aktivis 98, Firman Tendry, menilai persoalan korupsi tidak hanya terjadi di satu lembaga. Menurutnya, seluruh institusi penegak hukum memiliki masalah yang sama.
“Internal Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, sama saja. Enggak ada bedanya,” ujar Tendry.
Ia pun mengingatkan masyarakat agar tidak menggantungkan harapan berlebihan pada satu lembaga atau figur tertentu dalam memberantas korupsi.
“Tidak ada satu orang atau satu lembaga yang bisa menyelesaikan semua persoalan bangsa ini,” pungkas Tendry.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com















Discussion about this post