Jakarta, Kabariku – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Regional Barat-yang meliputi LBH Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, serta Bandar Lampung-mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional.
Desakan ini menyusul bencana longsor dan banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) dengan dampak kerusakan yang terus meluas.
“Penetapan status darurat bencana nasional penting agar fokus penanggulangan bencana juga menjadi kewajiban pemerintah pusat,” tulis LBH dalam pernyataan resmi yang diterima Selasa (2/12/2025).
BNPB Harus Diberi Kendali Penuh
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menegaskan bahwa penetapan status darurat nasional akan membuka akses kewenangan penuh bagi BNPB dan BPBD untuk mengerahkan sumber daya, peralatan, logistik, serta mengatur pertanggungjawaban uang dan barang.
Langkah ini dinilai krusial untuk memastikan proses penyelamatan, evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, serta pemulihan fasilitas vital dapat dilakukan dengan cepat dan terkoordinasi.
LBH-YLBHI mencatat tingginya korban jiwa dan orang hilang, ribuan warga mengungsi, serta banyak kabupaten/kota yang terisolasi. Di lapangan, pasokan logistik mulai menipis, harga kebutuhan pokok naik, dan terjadi penjarahan di sejumlah toko.
Distribusi bantuan dinilai tidak efektif akibat keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam menangani situasi darurat.
“Situasi yang semakin parah ini cukup menjadi alasan bagi Pemerintah Pusat untuk segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional,” tegasnya.
Menurutnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda keputusan tersebut dengan dalih beban anggaran atau pertimbangan birokrasi dan politik. LBH mengingatkan bahwa keselamatan rakyat harus menjadi prioritas utama.
“Jangan sampai lambatnya penanggulangan bencana justru menambah jumlah korban,” tegasnya.
Krisis Iklim, Deforestasi, dan Izin Konsesi Dinilai Jadi Pemicu
LBH-YLBHI menekankan bahwa banjir dan longsor yang terjadi tidak semata-mata dipicu curah hujan ekstrem, tetapi berkaitan erat dengan krisis iklim serta masifnya deforestasi.
Mereka menyoroti pemberian izin konsesi tambang, perkebunan, hingga proyek PLTA yang menggerus kawasan hutan di Sumatera.
Di Sumatera Barat, dalam rentang 2020–2024, ratusan ribu hektare hutan disebut rusak.
Citra satelit menunjukkan kerusakan parah di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat.
Aktivitas tambang ilegal dan pembalakan liar di Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan turut memperburuk kondisi.
Deforestasi ini membuat tidak adanya lagi penyangga alami yang menyerap air, sehingga limpasan air langsung menyebabkan banjir besar seperti yang terjadi di Kota Padang.
Minta Evaluasi Total Izin Konsesi dan Penegakan Hukum
LBH-YLBHI meminta pemerintah, melalui Kementerian Kehutanan, ATR/BPN, ESDM, dan KLHK, melakukan evaluasi menyeluruh serta menerapkan moratorium izin baru bagi industri ekstraktif. Mereka juga mendesak penegakan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan tambang ilegal yang selama ini merusak lingkungan.
“Aparat penegak hukum dan Dirjen Gakkum LH harus bertindak cepat untuk melakukan investigasi dan menindak korporasi perusak lingkungan maupun kelompok yang melakukan aktivitas ilegal,” tandasnya.
LBH-YLBHI menilai langkah cepat sangat diperlukan mengingat akar persoalan banjir di Sumatera bukan sekadar faktor cuaca, tetapi akibat buruknya tata kelola hutan, alih fungsi lahan, serta impunitas terhadap pelaku perusakan lingkungan.
“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, jangan sampai lambatnya penanggulangan bencana yang terjadi di tiga provinsi di Sumatera justru akan menambah lagi jumlah korban,” menutup pernyataan.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
















Discussion about this post