Humas BRIN. Perubahan iklim kini bukan sekadar ancaman di cakrawala, melainkan krisis nyata yang menuntut aksi bersama lintas negara dan disiplin ilmu. Dalam forum ilmiah Prima’s Talk yang digelar Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (9/10), pakar iklim Asia Tenggara Prof. Fredolin T. Tangang dari Universiti Brunei Darussalam menegaskan bahwa BRIN memainkan peran kunci dalam mendorong riset berbasis bukti ilmiah untuk menopang kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, terutama melalui kolaborasi regional seperti proyek internasional CORDEX Southeast Asia.
Menurut Prof. Tangang, BRIN memiliki peran strategis dalam memperkuat riset berbasis bukti ilmiah untuk membantu pemerintah merumuskan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, khususnya di kawasan Asia Tenggara. “BRIN adalah organisasi besar dan penting. Kita tidak hanya berbicara mengenai sains secara teoritis, tetapi juga dampak nyata penerapan sains untuk menyusun kebijakan yang kuat dan berbasis bukti,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan memiliki tanggung jawab sosial. Penelitian iklim tidak berhenti pada analisis fenomena, melainkan harus dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan publik. Dalam paparannya, Prof. Tangang menyoroti pentingnya proyek internasional Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment (CORDEX) yang menghasilkan pemodelan iklim regional beresolusi tinggi guna mendukung perencanaan kebijakan berbasis sains.
Proyek ini membantu ilmuwan memahami dampak perubahan iklim di tingkat lokal sekaligus memperkuat dasar ilmiah perencanaan kebijakan. Hasil riset CORDEX dinilai penting untuk dikaitkan dengan kajian dampak terhadap masyarakat.
Kolaborasi lintas negara menjadi kunci untuk mengatasi dampak perubahan iklim di Asia Tenggara yang memiliki risiko tinggi serta kapasitas adaptasi yang masih terbatas. Potensi kerja sama ilmiah yang dapat dimulai dari Pulau Kalimantan (Borneo), wilayah yang terbagi oleh tiga negara, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
“Borneo dapat menjadi titik awal kolaborasi konkret di kawasan ini. Dari sini, kita dapat membangun jaringan riset yang kuat untuk ketahanan iklim bersama,” ungkapnya.
Mengacu pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Prof. Tangang menegaskan pemanasan global disebabkan aktivitas manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil. Ia mengingatkan, tahun lalu menjadi yang terpanas dalam sejarah dengan suhu rata-rata global naik 1,55°C dibanding masa praindustri.
Kenaikan suhu telah memicu mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, meningkatnya suhu lautan, serta kejadian ekstrem berupa gelombang panas, badai, dan kebakaran hutan yang kian sering terjadi, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Ia memperingatkan, tanpa tindakan serius, suhu global berpotensi meningkat 4–5°C pada akhir abad ini. Bahkan, kawasan Arktik diperkirakan bisa mengalami kenaikan hingga 10°C. “Untuk menahan pemanasan global di bawah 1,5°C, dunia harus memangkas emisi karbon sebesar 50 persen pada 2030 dan mencapai net zero pada 2050,” ujarnya.
Namun, Prof. Tangang menilai kebijakan global saat ini masih jauh dari target tersebut. Jika tidak ada percepatan upaya mitigasi, dunia berisiko menuju pemanasan hingga 3°C pada tahun 2100.
Dalam konteks regional, Prof. Tangang menilai CORDEX Southeast Asia merupakan contoh sukses kolaborasi ilmiah lintas negara. Sejak dimulai pada 2013, proyek ini berhasil mengembangkan pemodelan iklim beresolusi tinggi yang dimanfaatkan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina untuk mendukung perumusan kebijakan nasional.
“Proyek ini lahir dari kerja sama erat antara lembaga riset, universitas, dan badan meteorologi di Asia Tenggara, dengan dukungan penuh BMKG Indonesia sejak awal,” ujarnya.
Melalui tiga fase pengembangan, CORDEX Southeast Asia kini diakui secara internasional dan bahkan menjadi rujukan bagi IPCC. Hasil kajian CORDEX menunjukkan bahwa di masa mendatang wilayah Indonesia bagian selatan berpotensi mengalami peningkatan kekeringan. Sementara itu, curah hujan ekstrem diperkirakan akan semakin sering terjadi di wilayah lain.
Prof. Tangang mengajak para ilmuwan untuk terus memperkuat riset dan kolaborasi, sehingga hasil penelitian iklim dapat diterjemahkan menjadi kebijakan nyata yang berdampak bagi masyarakat.
“Peran ilmuwan kini bukan hanya menghasilkan data, tetapi juga menjembatani pengetahuan ilmiah dengan tindakan nyata untuk melindungi masa depan kita bersama,” pungkasnya.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post