Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam konferensi pers bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, di Jakarta, pada Senin (15/9/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menegaskan bahwa reformasi Polri harus menyasar masalah-masalah mendasar yang sudah lama menggerogoti institusi kepolisian. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyebut ada sembilan masalah sistemik dan struktural yang harus segera dibenahi jika Presiden Prabowo Subianto benar-benar serius melakukan reformasi kepolisian.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta yang media melalui Youtube Reformasi Polri pada Senin (15/9/2025). Isnur menegaskan, pembentukan tim independen reformasi kepolisian hanya akan menjadi formalitas jika tidak menyentuh akar persoalan. Ia kemudian membacakan sembilan masalah utama yang harus menjadi agenda reformasi.
Pertama, absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, termasuk praktik impunitas yang mengakar. Kedua, sistem pendidikan Polri yang masih melanggengkan budaya kekerasan, brutalitas, militeristik, dan koruptif. Ketiga, tata kelola organisasi dan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel, belum selaras dengan prinsip good governance dan clean government.
Keempat, sistem kepegawaian yang cacat, mulai dari perekrutan, mutasi, hingga promosi yang tidak berbasis meritokrasi. Kelima, lingkup tugas Polri yang terlalu luas, termasuk praktik penyelundupan norma melalui berbagai regulasi.
Keenam, keberadaan Brimob yang tidak relevan dalam institusi kepolisian, dengan instrumen dan taktik yang menyerupai militer serta kerap menggunakan kekuatan berlebihan dalam menangani aksi massa sipil. Ketujuh, buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, sehingga Polri masih jauh dari prinsip negara hukum dan demokrasi. Kedelapan, kultur tebang pilih dalam penegakan hukum, termasuk penelantaran perkara, praktik underdelay, dan pelaku koruptif dalam proses hukum. Kesembilan, keterlibatan Polri dalam bisnis dan politik kekuasaan, yang menyalahi mandat dasar kepolisian.
Tantangan serius bagi Presiden dan DPR Menurut Isnur, sembilan masalah ini sudah lama diakui, bahkan oleh internal kepolisian sendiri, namun tidak ada terobosan penyelesaian yang nyata.
“Selama ini kami berdiskusi dengan banyak pihak di internal kepolisian, termasuk di Propam. Mereka mengakui banyak kelemahan. Tapi yang belum jelas adalah bagaimana memutus mata rantai kekeliruan itu. Dari mana kita memulai perbaikan ini?” ujarnya.
Isnur menekankan, reformasi kepolisian akan menjadi tonggak penting bagi kemajuan demokrasi, penegakan HAM, serta tegaknya konstitusionalisme di Indonesia.
“Kami meyakini, jika Presiden dan DPR memiliki komitmen dan keberanian politik, reformasi ini akan meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, dan kepercayaan publik kepada kepolisian. Tapi pertanyaannya, apakah Presiden Prabowo dan DPR serius?” tegasnya.
Isnur mengingatkan agar reformasi kepolisian tidak berhenti pada jargon maupun pembentukan tim semata.
“Reformasi harus menyentuh akar masalah, bukan sekadar gimik politik. Kalau tim hanya diisi orang dalam Polri atau sosok-sosok yang punya konflik kepentingan, hasilnya akan tumpul. Yang dibutuhkan adalah tim independen, berintegritas, dan representatif,” terangnya.
Alvin dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian juga menekankan bahwa wajah Polri ke depan harus berubah secara menyeluruh.
“Kepolisian itu di-reform dan dihadirkan ke ruang publik dengan wajah yang tidak represif, tetapi humanis dan benar-benar berada pada pihak masyarakat,” ujar Alvin.
Ia menegaskan, rencana pembentukan Tim Reformasi Kepolisian memang positif, tetapi hanya akan bermakna bila menyentuh sembilan persoalan mendasar yang sudah dipaparkan koalisi.
Alvin menyoroti buruknya komitmen Polri terhadap penghormatan hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi. Ia mencontohkan tindakan represif aparat dalam demonstrasi pada Agustus lalu yang meluas di media sosial, serta temuan LBH Masyarakat di tiga rumah tahanan DKI Jakarta pada 2024.
“Dari 576 tahanan yang diwawancara, sebanyak 126 orang mengaku mengalami penyiksaan, 68 orang diperas, 23 orang mengalami pelecehan seksual, dan 596 orang tidak mendapatkan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Alvin menyoroti kultur diskriminatif dan praktik koruptif dalam tubuh Polri. Seperti peristiwa viral di Cikarang, Bekasi, saat seorang pelaku pencurian motor justru dilepaskan polisi.
Ia juga menyinggung praktik pungutan liar di Medan yang sempat ramai pada Juni lalu. “Keterlibatan polisi dalam bisnis dan politik jelas menggerus profesionalisme. Polisi seharusnya bekerja untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan justru menambah daftar panjang praktik buruk,” kata Alvin.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post