JAKARTA, Kabariku- Permohonan judicial review yang dilayangkan Subowo mantan kepala desa yang kini jadi warga binaan penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung bersama lima temannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 terkait pengetatan remisi bagi pelaku korupsi, terorisme dan narkoba dikabulkan.
Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Dalam PP 99 itu, koruptor bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat dibandingkan dengan narapidana lainnya.
“Putusan kabul HUM (hak uji materiil),” kata juru bicara MA hakim agung Dr.Andi Samsan Nganro,SH.,MH., pada Jumat (29/10/2012).
Dengan adanya putusan tersebut, para koruptor yang sebelumnya hanya bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat, saat ini hak remisi mereka sama halnya dengan napi lain.
Mahkamah Agung mengabulkan judicial review PP tersebut yang diajukan oleh lima pemohon yang saat ini sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Kelas IA, Bandung, Jawa Barat.
Andi yang juga menjabat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial membeberkan alasan majelis,
Judicial review itu dilakukan oleh Subowo dan empat temannya. Mereka adalah mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono.
“Fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki),” ujar Andi.
Dalam pertimbangannya, majelis judicial review menyatakan narapidana bukan hanya objek, tapi juga subjek, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas.
Dijelaskan, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
“Bahwa, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice,” beber Andi.
Berkaitan dengan hal tersebut, kata majelis, sejatinya hak mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
“Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas,” tutur majelis.
Syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan.
Sebab, segala fakta hukum yang terjadi di persidangan. Termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana.
Sampai titik tersebut persidangan telah berakhir dan selanjutnya menjadi kewenangan lapas.
“Kewenangan memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan,” beber Andi menuturkan pertimbangan majelis.
Lapas dalam memberikan penilaian terhadap setiap narapidana untuk dapat diberi remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya.
“Diberikannya remisi kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu dan warga binaan tersebut bukanlah residivis dari perkara korupsi,” jelasnya.
MA mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan lima terpidana korupsi yang sedang menghuni LP Sukamiskin, salah satunya Kepala Desa Subowo.
Mereka mengajukan judicial review Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP No 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Dengan putusan itu, maka pemberian remisi ke koruptor, bandar narkoba dan terorisme kembali sesuai PP 32/1999.
Berikut pasal di PP 99/2021 yang dihapus MA:
Pasal 34 A ayat (1) huruf (a):
Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a.bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b.telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
Pasal 34A ayat (3):
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 A ayat (1) huruf (a):
(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
(a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
Pasal 43A ayat (3):
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Syarat Pemberian Remisi Sekarang
Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi sesuai PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.
Berikut syarat pemberian remisi bagi semua napi:
1. berbuat jasa kepada negara;
2. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
3. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.
4. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi Narapidana dan anak Pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.
Adapun untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, juga disamakan tanpa melihat latar belakang kejahatan si narapidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 43 , yaitu:
1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
2. Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
3. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
4. Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Berkaitan dengan hal tersebut, kata majelis, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali.
Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
Sedangkan, Andi menegaskan, bahwa remisi akan diberikan kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu.
“Bahwa warga binaan tidak menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan tujuan pembinaan di lembaga pemasyarakatan,” pungkasnya. ***
Red/K.000
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post