Jakarta, Kabariku – Forum Pemerhati Bangsa menegaskan perlunya penguatan implementasi nilai Pancasila di tengah masyarakat, menyusul temuan bahwa radikalisme dan intoleransi terus berkembang akibat Pancasila kerap diperlakukan sebatas slogan. Pandangan tersebut mengemuka dalam dialog publik bertema “Ideologi Pancasila dalam Benturannya dengan Paham Radikal dan Intoleran di Indonesia” yang digelar secara virtual pada Sabtu (15/11).
Diskusi yang diikuti sekitar 30 peserta dari berbagai organisasi masyarakat—di antaranya Forum Anti Penindasan, Forum Tanah Air, Pemuda Tangerang Raya, Papua TV, HMI MPO, dan HMI UNAS menghadirkan perdebatan mengenai efektivitas Pancasila dalam meredam potensi radikalisme.
Mahadir, pegiat kebangsaan yang menjadi narasumber utama, menyampaikan bahwa radikalisme muncul ketika pemaknaan terhadap Pancasila berhenti pada tataran simbolik tanpa diikuti tindakan nyata.
“Radikalisme dapat tumbuh ketika seseorang mengklaim paling Pancasilais, namun dalam praktiknya menolak keberadaan kelompok lain,” ujar Mahadir.
Ia menjelaskan bahwa pemahaman sempit terhadap identitas kebangsaan menjadi salah satu penyebab menguatnya intoleransi. Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman etis dalam kehidupan sosial, kata dia, justru sering diposisikan sebagai alat pembenaran.
“Banyak pihak menjadikan Pancasila sekadar slogan atau identitas simbolik, bukan sebagai landasan moral bermasyarakat,” katanya menambahkan.
Mahadir juga menyoroti berkembangnya ideologi transnasional yang memanfaatkan ruang digital. Menurut dia, arus informasi yang cepat menghadirkan tantangan baru yang dapat memengaruhi persepsi publik dan memicu polarisasi.
Ia menegaskan pentingnya memperluas ruang komunikasi yang inklusif di masyarakat. “Dialog yang terbuka akan mempersempit ruang tumbuhnya paham radikal dan intoleran,” ujarnya.
Sementara itu, Razaq dari Pemuda Forum Tanah Air menyoroti posisi strategis generasi muda dalam menjaga keseimbangan sosial di tengah derasnya arus globalisasi. Ia menilai individualisme yang semakin kuat dapat melemahkan nilai gotong royong bila tidak dikelola dengan baik.
“Keberagaman Indonesia merupakan kekuatan yang harus dikelola secara efektif melalui sikap saling menghormati, gitu loh,” kata Razaq.
Menurut dia, intoleransi sering muncul ketika ruang perbedaan tidak dikelola secara terbuka. Oleh karena itu, ia mendorong generasi muda untuk aktif menginisiasi ruang dialog di lembaga pendidikan, komunitas, dan media digital.
Razaq menambahkan bahwa radikalisme mudah berkembang pada individu yang merasa terpinggirkan. Menurut dia, wadah yang inklusif dan melibatkan seluruh elemen pemuda perlu diperluas.
“Menjaga nilai Pancasila harus diwujudkan lewat tindakan yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan serta penguatan rasa kebersamaan,” ujarnya.
Dalam sesi tanya jawab, peserta bernama Febrianti Karepowan mengajukan pertanyaan reflektif mengenai kemungkinan intoleransi justru muncul dari kelompok yang merasa paling Pancasilais. Menanggapi itu, Mahadir menyatakan bahwa fenomena tersebut dapat terjadi ketika Pancasila tidak diterjemahkan dalam praktik sosial.
“Intoleransi bisa terjadi jika seseorang memahami Pancasila secara sempit, hanya pada simbol,” kata Mahadir.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post