Jakarta, Kabariku – Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) akan menjadi penentu keberlangsungan masa depan demokrasi di Indonesia. Putusan atas uji formil UU TNI dijadwalkan dibacakan Mahkamah Konstitusi pada Rabu (17/9/2025) besok, pukul 14.30 WIB di Gedung MK, Jakarta.
Perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) Gina Sabrina menyebut, jika MK menolak enam gugatan uji formil yang diajukan berbagai pihak, termasuk koalisi masyarakat sipil, maka hal itu dapat menjadi preseden buruk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ke depan.
“Jadi, bila nanti gugatan kita ditolak, maka rapat di hotel di luar hari kerja akan dianggap sesuatu yang normal. Sebab, bisa merujuk ke putusan gugatan uji formil UU TNI ketika ditolak,” ujar Gina dalam konferensi pers daring, Selasa (16/9/2025).
Ia menambahkan, putusan MK kali ini bukan hanya soal masa depan reformasi TNI, melainkan juga menyangkut keberlangsungan demokrasi Indonesia secara keseluruhan.
“Putusan besok bukan hanya soal arah masa depan reformasi TNI, tapi secara umum terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia terkait perundang-undangan,” kata Gina.
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid berharap, MK menghadirkan putusan yang bersifat historis atau bersejarah, bukan sekadar perkara biasa.
“Yang kami maksud putusan bersejarah adalah putusan yang benar-benar menjaga dan menegakkan konstitusi, khususnya amanat agar penyelenggara negara melindungi demokrasi dari ancaman kembalinya militer,” jelasnya.
UU TNI Ia menyoroti proses pembentukan UU TNI yang dinilai bermasalah, baik secara formil maupun substansi. Dari sisi formil, penyusunan undang-undang berlangsung terburu-buru, minim partisipasi publik, bahkan naskah akademiknya tidak dapat diakses masyarakat. Proses pembahasan juga kerap dilakukan secara tertutup dan di luar jam kerja.
“MK dalam putusan terdahulu kerap menggarisbawahi pentingnya partisipasi publik. Sementara UU TNI, sejak perumusan naskah akademik hingga pembahasan, tidak memenuhi kategori partisipasi publik,” tegas Usman.
Dari sisi substansi, lanjutnya, UU TNI melemahkan prinsip kontrol sipil atas militer. Misalnya, perubahan Pasal 3 UU TNI yang membuka kembali ruang dominasi militer dalam urusan sipil.
“Dua hal ini, yaitu kontrol sipil atas militer dan urusan pertahanan, merupakan prinsip-prinsip sentral dalam konstitusi sehingga memerlukan peranan MK sebagai benteng terakhir,” ujar Usman.
Ia juga menyinggung praktik terbaru, seperti keterlibatan TNI dalam pemantauan percakapan di dunia maya.
“Jika dibiarkan, akan terjadi perluasan peran militer ke bidang-bidang non-pertahanan. Karena itu, kami mengingatkan MK agar benar-benar menghadirkan putusan yang bersejarah, demi menjaga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia,” imbuhnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan uji formil terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 7 Mei 2025.
Pemohon dalam gugatan ini adalah Inayah Wulandari Wahid alias Inayah Wahid, putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid; mantan Ketua KontraS Fatia Maulidiyanti; dan seorang mahasiswa bernama Eva.
Ketiganya mewakili Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Imparsial.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post