Jakarta, Kabariku – Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menegaskan pentingnya langkah cepat, tegas, dan terukur untuk mencegah terulangnya kasus keracunan pangan dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Insiden yang terjadi di sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) disebutnya sebagai alarm serius yang menuntut pengelolaan program secara disiplin dan berbasis standar.
“Masalah yang sama dicatat oleh tiga lembaga. Bahkan oleh BGN sendiri, angkanya secara statistik sinkron, sama-sama di sekitar 5.000 kasus. Perbedaan angka antar lembaga jangan dibaca sebagai kontradiksi, justru menunjukkan konsistensi bahwa masalah tersebut nyata dan butuh penanganan segera,” ujar Qodari, dikutip Rabu (24/9/2025).
Menurut Qodari, keracunan umumnya dipicu oleh rendahnya higienitas makanan, suhu penyimpanan yang tidak sesuai standar, kesalahan pengolahan, kontaminasi silang oleh petugas, hingga reaksi alergi penerima manfaat.
Ia menegaskan bahwa pemerintah merespons cepat persoalan ini.
“Pemerintah tidak tone deaf, tidak buta dan tuli. Bahkan Pak Mensesneg pada Jumat lalu sudah menyampaikan permintaan maaf dan komitmen evaluasi,” ujarnya.
Kesenjangan Standar Keamanan Pangan Masih Lebar
Qodari mengungkapkan, data Kementerian Kesehatan menunjukkan masih minimnya penerapan standar keamanan pangan di SPPG. Dari total 1.379 SPPG, hanya 413 yang memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) Keamanan Pangan, dan lebih sedikit lagi, hanya 312 yang benar-benar menjalankannya.
“Dari sini sudah kelihatan, kalau mau mengatasi masalah ini maka SOP-nya harus ada dan dijalankan,” tegasnya.
Selain SOP, pemerintah juga mewajibkan setiap SPPG memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes sebagai bukti pemenuhan standar mutu makanan. Namun hingga 22 September 2025, dari total 8.583 SPPG, baru 34 yang mengantongi SLHS, sementara 8.549 lainnya belum.
“Ini menegaskan bahwa solusi tidak bisa ditunda. Setiap SPPG wajib memiliki SOP dan SLHS sebagai prasyarat operasional,” kata Qodari.
Regulasi Ada, Tantangan Ada di Pengawasan
Hasil koordinasi KSP dengan Kementerian terkait mengonfirmasi bahwa regulasi terkait keamanan pangan sudah diterbitkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dengan dukungan BPOM.
Tantangan terbesarnya kini adalah memastikan aturan tersebut benar-benar diaktifkan dan dipatuhi di lapangan.
“Dari sisi regulasi dan aturan sudah diterbitkan oleh BGN dan dibantu BPOM. PR-nya adalah sisi aktivasi dan pengawasan kepatuhan,” ujarnya.
Qodari juga menyoroti data BPOM yang menunjukkan bahwa 9 dari 10 SPPG yang melaporkan kasus keracunan pada Agustus-September 2025 merupakan SPPG baru yang beroperasi kurang dari satu bulan.
“Memang ini sisi-sisi rentannya. Kalau pesawat itu paling riskan saat baru take off. Di MBG ini ada masa yang saya sebut critical one month, masa tiga puluh hari pertama yang sangat rawan,” jelasnya.
Skema Terbuka: Cegah Pungli dan Percepat Target
Selain aspek teknis, Qodari juga menyoroti pentingnya strategi baru untuk mengejar target pendirian 30.000 SPPG dan mencegah praktik pungutan liar (pungli) yang kerap muncul dari yayasan kepada investor.
“Dari target 83 juta penerima dan 30.000 SPPG, langsung saja titik-titik itu dibuka kepada publik. Siapa yang mau membantu proses pendirian SPPG bisa daftar online. Kalau tidak bisa memenuhi syarat dalam batas waktu, maka diganti dengan pendaftar berikutnya,” ujarnya.
Menurut Qodari, skema terbuka akan mempercepat pencapaian target sekaligus menutup ruang pungli.
Ia mengingatkan bahwa praktik pungli berpotensi menurunkan kualitas bahan pangan.
“Kalau ada pungli, maka alokasi Rp10.000 per anak bisa berkurang. Ujungnya kualitas bahan menurun dan berisiko menimbulkan keracunan. Padahal ini bukan semata angka uang, melainkan menyangkut kesuksesan program MBG,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Qodari mendorong pelibatan dinas kesehatan dan puskesmas dalam pengawasan SPPG. Saat ini ada sekitar 10.000 puskesmas di seluruh Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk pengawasan berkala.
“Mereka bisa dilibatkan minimal sebulan sekali. Kalau bulan pertama yang kritikal itu, bahkan bisa seminggu sekali,” jelasnya.
Qodari menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat Presiden untuk menjaga gizi anak bangsa.
“Sekali lagi, pemerintah tidak tutup mata, tidak buta dan tuli. Program MBG adalah amanat Presiden untuk menjaga gizi anak bangsa, dan kita semua berkewajiban memastikan terlaksana dengan selamat dan bermartabat,” pungkasnya.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com



















Discussion about this post