Jakarta, Kabariku – Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia menyampaikan penolakan tegas terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang tengah dibahas di DPR RI.
Dalam pernyataan sikap bertajuk “Menggugat Ketidaksinkronan RKUHAP 2025 dan Antiklimaks Reformasi Hukum Pidana”, mereka menilai pembahasan RKUHAP berlangsung tergesa-gesa, minim partisipasi publik, dan berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi warga negara.
“RKUHAP versi saat ini tidak mencerminkan semangat reformasi hukum pidana. Ia justru memperkuat kekuasaan koersif aparat penegak hukum dan mengabaikan prinsip keadilan prosedural,” demikian pernyataan forum tersebut. Sabtu (19/7/2025).
Ketidaksinkronan dengan KUHP Nasional
Forum menyoroti bahwa RKUHAP 2025 gagal mengintegrasikan prinsip progresif KUHP Nasional 2023, yang menekankan penghormatan martabat manusia dan keadilan di atas kepastian hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Profesor Harkristuti Harkrisnowo mengatakan KUHP Nasional mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia, prinsip keadilan di atas kepastian hukum. Serta prinsip pemidanaan modern yang memperhatikan kondisi pribadi dan keadaan sosial dari pelaku.
KUHP baru juga mengedepankan pidana penjara sebagai upaya terakhir, namun RKUHAP tidak mengatur pelaksanaan sanksi alternatif dan pidana bagi korporasi.
Ruang Penyalahgunaan Kewenangan
Sejumlah pasal dinilai membuka celah penyalahgunaan, seperti kewenangan investigasi khusus tanpa prosedur jelas, penahanan tanpa kontrol yudisial yang efektif, dan penetapan tersangka melalui kekerasan tanpa konsekuensi hukum memadai.
Alasan penahanan yang diperluas secara subjektif juga dianggap bertentangan dengan hak diam tersangka.
Check and Balances Dihilangkan
RKUHAP menghapus mekanisme habeas corpus dan memperluas upaya paksa tanpa izin pengadilan.
Penggeledahan, pemblokiran data, dan pengakuan bersalah di tingkat penyidikan dilakukan tanpa pengawasan yudisial, melemahkan prinsip check and balances.
Hak Tersangka dan Advokat Melemah
Forum menyoroti hilangnya jaminan bantuan hukum, pembatasan akses advokat terhadap berkas perkara, dan ketidakjelasan perlindungan hak-hak tersangka.
Konsep restorative justice juga dinilai kabur dan membatasi hak korban atas keadilan substantif.
Minim Partisipasi Publik
Proses pembahasan disebut tidak memenuhi prinsip partisipasi bermakna.
“Kelompok terdampak seperti korban salah tangkap, korban penyiksaan, dan masyarakat sipil tidak dilibatkan. Kehadiran akademisi hanya dijadikan formalitas, bukan mitra substantif,” ungkap forum tersebut.
Risiko Implementasi
RKUHAP dijadwalkan berlaku 2 Januari 2026, namun peraturan pelaksananya belum siap. Kondisi ini dikhawatirkan menciptakan kekosongan norma dan kekacauan implementasi.

Tiga Tuntutan Utama
Forum Dosen Hukum Pidana mendesak Presiden dan DPR untuk:
-Menghentikan pembahasan RKUHAP 2025 dan mengembalikannya ke proses yang transparan, partisipatif, serta berbasis bukti.
-Melakukan penyusunan ulang dengan melibatkan akademisi, LBH, NGO, korban, dan lembaga independen seperti Komnas HAM, KY, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman.
-Menjamin harmonisasi KUHP dan KUHAP agar sistem hukum pidana modern, adil, dan sesuai konstitusi serta instrumen HAM internasional.
Terakhir, Reformasi hukum pidana yang tidak selaras antara aspek materiil dan formil hanya akan menghasilkan sistem hukum yang kontradiktif.
“Kami berdiri bukan untuk menolak pembaruan hukum acara, namun untuk memastikan bahwa hukum acara yang lahir benar-benar menjamin keadilan, melindungi hak warga negara, dan membatasi kekuasaan negara,” tulis pernytaan tersebut.
Forum Dosen Hukum Pidana menyatakan, tidak menolak pembaruan, tetapi lebih memastikan hukum acara menjamin keadilan, melindungi warga, dan membatasi kekuasaan negara.
“Pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab akademik kami dalam menjaga marwah ilmu hukum pidana dan integritas sistem peradilan pidana Indonesia,” tutup pernyataan forum.
Pernyataan ini ditandatangani oleh guru besar dan dosen hukum pidana dari berbagai universitas ternama, diantaranya :
-Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., PhD (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)
-Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro)
-Prof. Dr. Topo Santoso., SH, MH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)
-Prof. Dr. Rena Yulia., SH., MH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
-Prof. Dr. Nurini Aprilianda., SH., M.Hum (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Brawijaya)
-Dr. Febby Mutiara Nelson., SH., MH (Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia)
-Sri Wiyanti Eddyono S.H., LL.M. (HR), Ph.D (Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada)
-Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., SH., MH (Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya)
-Dr. Ahmad Sofian, SH, MA (Dosen Hukum Pidana, Universitas Bina Nusantara/BINUS)
-Amira Paripurna, S.H., LL.M, P.h.D. (Dosen Hukum Pidana, Universitas Airlangga)
-Gandjar Laksmana Bonaprapta, SH., MH (Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia)
-Dr. Vidya Prahassacitta, SH, MH (Dosen Hukum Pidana, Universitas Bina Nusantara/Binus Jakarta)
-Dr. Yusuf Saefudin, SH., MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto).
-Dr. Nathalina Naibaho, SH, MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
-Dr. Artha Febriansyah, S.H.,M.H. (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya).
-Dr. Nella Sumika Putri, SH., MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran).
-Choky Risda Ramadhan, SH., LLM, Ph.D (Dosen Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
-Dr. Edita Elda, SH, MH (Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas).*
*Selengkapnya pada tautan berikut: Pernyataan Sikap Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post