Jakarta, Kabariku- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar aksi simbolik ini sebagai sebuah “sentilan” kepada Negara untuk segera mendorong revisi sistem peradilan militer di Indonesia.
Aksi KontraS dengan hastag #ReformasiPeradilanMiliter ini lantaran masih banyaknya kasus-kasus yang melibatkan para prajurit dalam tindak pidana umum yang diadili dalam sistem peradilan militer.
“Maka kami berharap Revisi UU Peradilan Militer segera dibahas dan dapat memperkuat sistem penegakan hukum, meniadakan celah impunitas, mendorong profesionalitas militer dan menghadirkan rasa keadilan di masyarakat,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS dalam keterangannya diterima Minggu (6/8/2023).

Minggu (6 Agustus 2023) pagi, KontraS melaksanakan aksi simbolik mengenai #ReformasiPengadilanMiliter di depan Istana Negara dan Bundaran HI saat momen Hari Bebas Kendaraan Bermotor berlangsung di Jakarta.
Dimas menjelaskan, aksi ini menggunakan poster yang berisi kalimat yang menunjukkan reformasi peradilan militer yang harus diprioritaskan.
“Kegentingan ini semakin terasa saat drama proses hukum atas dugaan korupsi di Basarnas mencuat,” ucap Dimas.
“Tersangka yang merupakan Kepala Basarnas sekaligus anggota TNI aktif menguak fakta adanya perbedaan proses hukum yang kerap berlangsung kurang optimal bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum,” lanjut dia.
Dalam catatan banyak pihak termasuk KontraS, Peradilan Militer yang masih memproses tindak pidana umum menghasilkan trend vonis ringan bagi anggota TNI yang diseret ke meja hijau antar sesama punggawa militer tersebut.
Seperti yang terjadi di Pengadilan Militer atas Tim Mawar di kasus Penghilangan Paksa Aktivis 97-98 hingga Pengadilan Militer terhadap pelaku pembunuhan Pendeta Yeremia, Luther dan Apinus Zanambani. Minimnya transparansi dan akuntabilitas juga jadi isu yang mengemuka dari sistem peradilan militer di Indonesia.

Pengadilan Militer merupakan salah satu badan yang khusus melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI sebagai penegak keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum.
Payung hukum pengadilan militer di Indonesia adalah Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sistem ini lah yang dianggap menjadi alat “langgengnya impunitas”, karena memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum.

Mereka yang seharusnya diadili di pengadilan umum, berbagai kasus pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer. Prosesnya tertutup, tidak transparan dan tidak mengakomodir kepentingan korban.***
*foto dokumen KontraS
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post