Jakarta, Kabariku- Peringatan World Kidney Day (WKD) atau Hari Ginjal Sedunia yang jatuh setiap hari Kamis pada minggu kedua bulan Maret harus dimaknai sebagai refleksi untuk meningkatkan kualitas hidup para pasien ginjal di seluruh dunia.
Pada tahun ini, tema yang diambil adalah ‘Preparing for the unexpected, supporting the vulnerable!’ memiliki arti ‘kesehatan ginjal untuk semua penduduk dunia dengan mengantisipasi kejadian yang tak terduga’.
Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menjelaskan tema ini merupakan sebuah refleksi tentang dampak siginifikan dari bencana yang terjadi di tatanan global kepada pasien gagal ginjal. Dampak tersebut terjadi karena adalah situasi bencana alam dan non alam seperti gempa bumi, banjir, peran, cuaca ekstrem, dan pandemi Covid-19.
“Sudah saatnya pemerintah harus menyiapkan diri, memperbaiki, dan mengembangkan layanan kesehatan yang adil dan merata untuk pasien penyakit kronis dalam kondisi apapun tanpa adanya diskriminasi,” kata Tony di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Mundur ke belakang, Tony menjelaskan situasi pandemi Covid-19 di Indonesia merupakan hal terburuk yang pernah dialami bagi Pasien Ginjal Kronik (PGK). Dimana pada saat itu, PGK menjadi populasi yang sangat rentan terpapar dan memiliki mortalitas yang cukup tinggi.
Disisi lain, pandemi Covid-19 juga membuka tabir bahwa fasilitas kesehatan di Indonesia tidak bekerja secara optimal, jika tidak mau disebut collaps, dalam menanggulangi dampak yang terjadi utamanya bagi PGK.
Sebagai contoh, banyak PGK yang terinfeksi Covid-19, tidak bisa melakukan proses Hemodialisis (HD) karena ketidaksiapan fasilitas HD bagi pasien yang saat itu juga terkena Covid-19.
Hal tersebut menjadi sangat berbahaya mengingat PGK sangat membutuhkan HD yang adekuat untuk menjamin kualitas hidupnya. Satu kali saja PGK absen melakukan HD maka dampak kepada tubuh akan sangat terasa dan pada akhirnya ancaman kematian itu ada di depan mata.
Selain itu, PGK juga harus bertarung dengan virus Sars-CoV-2 dengan sangat terbuka. Pada saat kebijakan karantina wilayah dilakukan oleh pemerintah, PGK masih harus tetap melakukan perjalanan ke rumah sakit untuk melakukan HD setidaknya tiga kali dalam seminggu. Padahal, pada saat itu, rumah sakit merupakan sumber penyebaran Covid-19 yang cukup tinggi.
“Tempat layanan cuci darah terkunci dan kami tidak bisa mengaksesnya karena ada kebijakan karantina. Tapi kami (PGK) harus tetap datang ke rumah sakit agar kami bisa hidup. Ini adalah tantangan yang luar biasa,” ujar Tony.
Oleh karenanya, belajar dari pandemi Covid-19, Tony berharap pemerintah Indonesia membangun sarana layanan kesehatan yang mampu melayani masyarakat dalam kondisi sedarurat apapun. Pandemi mengajarkan bahwa layanan kesehatan pernah lumpuh dan banyak masyarakat yang sangat menderita.
“Pemerataan akses layanan kesehatan di seluruh penjuru negeri utamanya bagi PGK, merupakan langkah bijak untuk menjamin kesehatan masyarakat. Pelayanan yang adil tanpa diskriminasi ialah dambaan seluruh pasien dan menandakan pemerintah hadir di tengah-tengah masyarakat,” kata Tony.
Hal ini sejalan dengan empat poin yang ditekankan dalam tema WKD 2023 untuk menjamin kesehatan PGK di seluruh negara,yakni;
Pertama, pembuat kebijakan (pemerintah) perlu mengadopsi strategi kesehatan terpadu yang mengutamakan pencegahan, deteksi dini, dan penanganan Penyakit Tidak Menular (PTM) termasuk penyakit ginjal.
Kedua, layanan perawatan kesehatan harus menyediakan akses yang adil dan tepat untuk merawat pasien kronis pada saat darurat.
Ketiga, pemerintah harus memasukkan rencana kesiapsiagaan darurat dalam pengelolaan dan deteksi PTM dan mendukung pencegahan, dan
Keempat, pasien harus merencanakan keadaan darurat dengan menyiapkan alat kesehatan darurat yang mencakup makanan, air, persediaan media, dan catatan medis.
“Jangan sampai ada yang meninggal lagi karena susah melakukan cuci darah. Kita harapkan pemerintah harus menyiapkan kesiapsiagaan darurat dalam manajemen dan deteksi PTM serta mendukung promotif dan preventif untuk menekan PGK,” ujarnya.
Hadirnya Pemerintah
Namun demikian, Tony memberikan apresiasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Tony menjelaskan, Dalam beleid tersebut diatur bahwa pasien alat dan bahan medis habis pakai pada tindakan HD digunakan secara single use.
Pilihan kedua ialah jika digunakan secara re-use maka tarif yang dibayarkan adalah 85% dari tariff yang berlaku. Kebijakan ini bagaikan oase mengingat penggunaan tabung dialiser re-use bagi pasien HD sangat tidak baik dan berpotensi menjadi sarana penularan penyakit Hepatitis C dan HIV.
KPCDI pernah mendapatkan laporan telah terjadi polemik re-use tabung dialiser selang untuk tindakan cuci darah di salah satu rumah sakit pemerintah yang dipakai oleh 40 orang. Hal ini juga terjadi di beberapa unit hemodialisis di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, anjuran sebelumnya re-use tabung dialiser hanya 1-8 kali saja.
Menurut survei internal KPCDI yang dilakukan secara acak pada 213 orang pasien cuci darah, didapatkan hasil bahwa pasien yang terinfeksi penyakit Hepatitis C setelah menjalani cuci darah mencapai 98 orang atau 45%. Jika dibedah, sebanyak 43,1% responden terjangkit Hepatitis C dalam rentang waktu 1-3 tahun setelah menjalani HD.
“Angka ini tentunya sangat mengkhawatirkan dan tentunya kebijakan ini diharapkan mampu menekan kasus penularan Hepatitis pada PGK yang melakukan HD,” jelas Tony.
Pada kesempatan ini, Tony juga meminta pemerintah membuat kajian mendalam tentang paparan HIV bagi pasien HD. KPCDI, menurut Tony mendapatkan beberapa laporan atas kejadian tersebut dan harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
“Ini menandakan dukungan pemerintah bagi pasien ginjal kronik,” imbuhnya.
Permenkes lainnya yang patut diapresiasi ialah terkait donor darah yang sudah dijamin dan ikut di dalam paket non Indonesian-case Based Groups (INA-CBG). Beleid tersebut diatur di dalam Pasal 45 ayat (I) yang menjelaskan Pelayanan kantong darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf h diberikan untuk thalassemia mayor, hemodialisis, dan kanker (leukemia) yang membutuhkan pelayanan darah pada rawat jalan.
Pengawasan Ketat
Tony berharap, kebijakan yang sudah bagus ini dapat diimplementasikan dengan tepat sasaran kepada seluruh pasien.
“Kami meminta agar regulator dan penyelenggara kebijakan seperti BPJS Kesehatan melakukan pengawasan yang tepat terkait dengan program pemerintah,” ucapnya.
Pengawasan menjadi penting karena fakta di lapangan saat ini masih banyak terjadi fraud seperti pasien yang tidak mendapatkan akses obat dan kecurangan lain di unit dialisis.
Pun, tidak jarang pasien yang mendapatkan diskriminasi dari tenaga kesehatan hanya karena pasien menanyakan hak dan kewajiban yang seharusnya didapatkan.
“Pemerintah harus melakukan pengawasan atau audit ke unit hemodialisis, lakukan survei apa yang sudah diberikan oleh rumah sakit kepada pasien. Kita bicara hak karena kita sudah bayar ke BPJS dengan premi iuran. Hak kita meneirma manfaat dan pelayanan yang baik,” tutupnya.***
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post