KABARIKU – Indonesia berduka. Jacob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, berpulang pada usia 88 tahun, Rabu (9/9/2020) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta. Jenazah akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Kamis (10/9/2020) hari ini.
Presiden RI menyampaikan dukacita yang mendalam atas meninggalnya sosok teladan ini.
“Saya sungguh-sungguh merasa kehilangan atas kepergian Bapak Jakob Oetama, hari ini, Rabu 9 September 2020. Almarhum bukan sekadar seorang tokoh pers, pendiri dan pemimpin surat kabar Harian Kompas atau Kelompok Kompas Gramedia, tapi adalah tokoh bangsa ini,” kata Jokowi dalam akun media sosialnya, Rabu (9/9/2020).
Dalam pandangan Presiden Jokowi, Jakob Oetama merupakan tokoh kritis namun santun dengan pendekatan kemanusiaan yang tinggi.
Apa yang disampaikan Presiden sempat pula disampaikan Jusuf Kalla saat masih menjadi Wakil Presiden dulu. Menurut JK, Jacob Utama mengkritik namun tak menampar. Bahkan dari kritik yang halus dan santun tersebut Jacob selalu menghadirkan alternatif solusi untuk menjadi pertimbangan.
Sekilas Profil Jacob Oetama
Jakob Oetama lahir di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931. Sebelum mengenyam pendidikan publisistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus tahun 1961, Jakob sempat mengenyam pendidikan Sekolah Guru Jurusan B-1 Ilmu Sejarah hingga tahun 1956. Ia pun sempat menjadi guru di SMP Mardiyuana, Cipanas Bogor (1952-1953), Guru Sekolah Guru Bantu (SGB) Bogor (1953-1954) dan Guru SMP Van Lith, Jakarta (1954-1956). Sambil mengajar, Jacob pun menjadi redaktur di Mingguan Penabur.
Tahun 1963, Jacob Oetama diminta Petrus Kanisius (PK) Ojong, seorang pengusaha media di Jakarta, untuk menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah baru, pengganti mingguan Star Weekly yang baru saja dibredel.
Dari hasil pembicaraan, keduanya sepakat menerbitkan majalah bulanan bernama Intisari dengan konten informasi yang bersifat pengetahuan populer.
Edisi perdana Intisari terbit sebanyak 11.000 eksemplar, hitam putih, dan tak bersampul. Artinya, halaman depan langsung diisi daftar isi. Intisari mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat sehingga tiras dan pendapatannya dari iklan terus naik.
Dua tahun kemudian, tepatnya 28 Juni 1965, setelah melihat Intisari mapan, Jacob dan PK Ojong pun mendirikan Harian Kompas. Seperti kita lihat, dalam perkembangannya kemudian Kompas menjadi salah satu harian terkemuka di Tanah Air. Tak hanya itu, Kompas pun melahirkan anak-anak penerbitan dan sektor usaha lain di luar media di bawah naungan Kompas Gramedia Grup.
Sektor-sektor usaha tersebut di antaranya toko buku Gramedia, percetakan, radio, hotel, lembaga pendidikan, event organizer, stasiun TV, hingga perguruan tinggi. Jumlah pekerja yang ditampung pun sangat banyak. Menurut data tahun 2005 sebanyak 22.000 orang pekerja.
Untuk hotel, Kompas Gramedia Grup memilik jaringan Santika Indonesia Hotels & Resorts yang tersebar di berbagai daerah, yaitu Hotel Santika Premiere di Jakarta, Bandung, Bali, Kota Palembang, Malang, Manado, Semarang, Medan, dan Yogyakarta. Kemudian Hotel Santika, tersebar di sejumlah lokasi yakni di Balikpapan, Bandung, Bogor, BSD City, Cirebon, Bali, Makassar, Pontianak, Semarang, Bangka, Surabaya, Lombok, Bengkulu, dan Tasikmalaya.
Sementara Amaris Hotel, berlokasi di Ambon, Banjarmasin, Bandung, Bogor, Cirebon, Yogyakarta, Palangkaraya, Makassar, Bekasi, Semarang, Jakarta, Pekanbaru, Palembang, Samarinda, Gorontalo, Malang, Bengkulu (samping Hotel Santika), Bali, dan Singapura.
Selain memiliki jaringan hotel, Kompas Gramedia pun memiliki perusahaan industri tissue yaitu PT. Graha Kerindo Utama. Merk tissuenya adalah Tessa, Dynasty dan Multi.
Sedangkan di bidang pendidikan, perusahaan yang dibidani Jacob Oetama ini sekarang memiliki Universitas Multimedia Nusantara, di Scientia Garden, Gading Serpong. Satu lagi adalah ELTI Gramedia, yaitu Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris yang tersebar di beberapa kota di antaranya Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Solo, Purwokerto, dan Lampung.
Jacob Oetama adalah sosok istimewa yang teramat langka di Indonesia. Tak heran jika Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai tokoh bangsa. Di balik kerendahan hatinya, kesantunannya, ia sangat fokus pada apa yang diyakininya sebagai jalannya untuk mengabdi.
Kini, jalan pengabdiannya dinikmati oleh puluhan ribuan karyawan dan ratusan juta warga Indonesia. (Ref)
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post