KABARIKU – Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, dr Mahesa Paranadipa, MH menyayangkan tersebarnya data pribadi pasien positif Corona, begitu pemerintah mengumumkan kejadian itu. Data pribadi yang tersebar di media sosial tersebut adalah nama lengkap, alamat, pekerjaan dan sebagainya.
Mahesa menegaskan, pasien memiliki hak privasi dan kerahasiaan seperti diatur dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Dalam siaran persnya yang diterima berbagai media Rabu (4/3/2020), Mahesa menyatakan, data yang dapat disampaikan ke publik dalam kejadian wabah virus corona ini adalah jenis kelamin pasien, umur pasien, jumlah pasien yang dirawat, jumlah pasien sembuh, dan jumlah pasien meninggal.
“Sanksi hukum membuka rahasia pasien ke publik adalah pasal 322 KUHP dengan ancaman penjara paling lama 9 (sembilan) bulan, dan pasal 79 UU no 29 tahun 2004 dengan ancaman penjara paling lama 1 (satu) tahun,” bebernya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Abdul Manan, Selasa (3/3/2020) mengungkapkan ada tiga prinsip peliputan dan pemberitaan tentang virus corona yang harus menjadi pedoman wartawan dan media. Ketiga prinsip itu adalah
1.Media sepatutnya tidak membuka identitas terduga penderita corona
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) memang hanya memuat pasal soal korban kekerasan seksual atau pidana anak yang perlu disamarkan identitasnya. Namun tak berarti hanya pada dua soal itu saja media perlu menyamarkan identitasnya.
KEJ meminta jurnalis menyamarkan identitas untuk dua kasus itu sebagai upaya untuk meminimalisir bahaya dari dampak media. Ini adalah satu dari empat prinsip penting dalam Kode Etik. Tiga prinsip penting lainnya adalah mencari kebenaran, bersikap independen, transparan dan bertanggungjawab.
Seperti itu juga yang seharusnya dilakukan media dalam soal identitas korban Corona ini. Dengan adanya potensi nyata bahwa pelakunya akan mengalami penderitaan dan menghadapi bahaya –jadi korban perundungan, diasingkan dan semacamnya– jika identitasnya dibuka, sudah sepatutnya jurnalis dan media menyamarkan identitasnya dalam pemberitaannya.
Selain itu, soal riwayat kesehatan seseorang (termasuk karena Corona) itu juga merupakan informasi yang dikecualikan dalam Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, sehingga identitas pasien dan penyakitnya sepatutnya tidak dibuka untuk umum.
2.Media perlu menonjolkan perannya “mendidik publik”, “menjalankan fungsi kontrol sosial”, bukan malah menakut-nakuti atau membuat publik lebih panik.
Beberapa fungsi media yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers adalah mendidik, menghibur, memberi informasi, dan kontrol sosial. Saat kita menghadapi wabah Corona seperti saat ini, fungsi mendidik itu bisa dilakukan dengan memberikan informasi tentang perkembangan terbaru kasus ini, jumlah korban, cara menghadapi penyebarannya, serta tips-tips bermanfaat lainnya agar publik bisa terhindari dari penyakit yang belum ada vaksin penangkalnya ini.
Media sepantasnya tidak mengekploitasi informasi yang bisa memicu kepanikan publik, seperti soal dugaan aksi borong warga untuk menimbun makanan karena khawatir akan kehabisan stok.
Fungsi kontrol sosial media dilakukan dengan memastikan melalui pemberitaan bahwa negara menjalankan upayanya secara maksimal dalam menghadapi penyebaran virus ini dan mengobati mereka yang sudah terinfeksi.
3.Media dan jurnalis perlu memiliki kesadaran untuk meliput peristiwa wabah Corona ini secara aman.
Standar safety dalam liputan wabah penyakit tentu berbeda dengan kerusuhan, bencana, konflik bersenjata. Dalam liputan soal virus Corona ini, jurnalis perlu mengikuti saran ahli atau otoritas setempat agar tak ikut menjadi korban Corona.
Salah satu caranya adalah dengan memakai peralatan safety yang memadai, yaitu masker, jika mewawancarai orang yang memiliki atau berpotensi memiliki virus Corona. Selain masker, juga menjaga jarak aman dengan obyek yang kemungkinan bisa menjadi perantara penularan virus ini.
Penggunaan alat keamanan hendaknya disesuaikan dengan tingkat bahayanya dan jangan tergoda untuk mendaramatisir keadaan. Misalnya, cukuplah pakai masker kesehatan –tidak perlu memakai masker anti-gas air mata– saat membuat laporan secara live. (Ref)