Sambung Rasa Rakyat Jogja feat LeSPK Yogyakarta: Usulkan dan Mendesak Presiden dan DPR Selesaikan Prahara Ditubuh Polri

Yogyakarta, Kabariku- Kedudukan Polisi dalam Pemerintahan Indonesia bukan hal baru dipersoalkan. Dalam sejarahnya Polisi di jaman sebelum Indonesia merdeka telah menjadi bagian dari  VOC dan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah pada masa penjajahan Belanda, di era kemerdekaan dan lalu  masa Orde lama yang ujungnya menganut sistim demokrasi terpimpin, kedudukan Polisi tampaknya juga terseret pada hal yang sama.

Walau demikiaan, disisi lain tetap ada upaya untuk mencanangkan Polisi  dalam sistem demokrasi Pancasila.

Pada sekitar tahun 1966, setelah peristiwa  G30S/PKI, Orde baru melakukan penyaringan secara ketat ditubuh Polri, guna memutus pengaruh Soekarno dan PKI. Tak sedikit personil Polri yang terlibat PKI diberhentikan oleh Pemerintah Soeharto.

Dimasa peralihan ini, kedudukan Polri sangat penting, diharapkan mampu mengawal terwujudnya suatu masyarakat sipil demokratis berdasarkan Pancasila dan konstitusi.

Mengingat sebelumnya pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin mengalami berbagai hambatan yang disebabkan kekuasaan yang tersentral kepada pemimpin.

Akan tetapi diawal era masa pemerintahan orde baru terjadi persoalan terkait posisi dan kedudukan Polri. Kondisi dimana biasa terjadi setiap pergantian kekuasaan.

Disisi lain Orde baru saat itu tidak melukai perubahan besar untuk menunjang terwujudnya pemerintahan yang menganut sistem demokrasi Pancasila.

Polisi yang dimasa orde lama masih tetap dipertahankan berada dibawah Presiden, meski tak langsung namun tetap menjadi bagian kekuasaan Presiden.dibawah komando Presiden melalui  ABRI.

Tak hanya itu fungsi Brigade Mobil Kepolisian (Brimob) sebagai pasukan semi tempur, masih tetap dipertahankan oleh Presiden Soeharto, dimana sebelumnya Soekarno membentuk Brimob sebagai bantuan pasukan tempur yang sejajar dengan pasukan tempur ABRI.

Hal itu dapat terlihat ketika Soekarno melibatkan Brimob dalam upaya merebut Malaysia. Walau tak berhasil, namun jelas fungsi Brimob tak sekedar sebagai Polisi yang menjaga keamanan dan penegakkan hukum.

Berita Terkait Sebelumnya LeSPK Yogyakarta Menggelar ‘Sambung Rasa Rakyat Yogya’

Dalam pelaksanaannya Orde baru memposisikan Polisi sebagai bagian dari kekuasaan meski keberadaanya tak langsung dibawah Presiden, namun dibawah ABRI. Akan tetapi esensinya tetap sama sebagai bagian dari kekuatan kekuasaan.

Sejak inilah babak kekuasaan menjadi sorotan  perhatian masyarakat sipil dan aktivis mahasiswa saat itu.

Polisi saat itu alat kekuasaan, tak hanya dalam penanganan penumpasan G30S/PKI namun pada agenda-agenda negara lainnya seperti misal Pemilu pertama Orde baru, Peristiwa Malari, dll.

Puncak gerakan civil society akhirnya terwujud. Gelombang aksi reformasi tahun 1998 tak bisa dibendung, hingga kemudian Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan.

Pasca Soeharto mengundurkan diri, dan digantikan oleh BJ Habibie, wacana pemisahan POLRI dari ABRI menguat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam agenda reformasi, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI. Yang mana saat itu keberadaan ABRI menimbulkan kerancuan, tumpang tindih, dan penyimpangan peran serta fungsi keduanya, yang berakibat pada tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi.

Tepat pada tanggal 1 April 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Kepolisian dari ABRI.

Oleh karena suhu politik pasca reformasi saat itu memanas, proses pemisahan Polri dari ABRI baru kemudian dapat terlaksana usai Pemilu 1999 dimasa Pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur).

Kemudian lahirlah Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang ditandatangani oleh Ketua MPR Amien Rais serta para wakil ketua pada 18 Agustus 2000.

Ketetapan MPR tersebut memutuskan seperangkat aturan mengenai pemisahan kelembagaan TNI dan Polri sesuai dengan peran serta fungsi masing-masing.

Kemudian menjelaskan dan menegaskan kembali peran utama TNI dalam bidang pertahanan negara, sementara Polri dalam bidang pemeliharaan keamanan negara.

Berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000, Gus Dur merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri lewat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 yang tegas menyatakan, Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden.

Selanjutnya Kapolri ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Melihat isi Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 saat itu tak sedikit para aktivis lintas angkatan yang apriori. Sepertinya sejarah Polri akan kembali berada dibawah kekuasaan akan kembali berulang.

Diawal reformasi peran Polri masih sesuai harapan cita-cita, meski kedudukannya dibawah Presiden langsung. Akan tetapi ia mulai menunjukkan sikap keberpihakannya kepada kekuasaan jika terjadi pergolakan dan gelombang protes sipil atas jalannya pemerintahan.

Rekayasa kasus dan perkara yang melibatkan pejabat negara dan konglomerat besar bahkan saat pelaksanaan Pemilihan umum, apakah Pemilu kepala daerah, legislatif, maupun Presiden.

Perlahan nilai-nilai struktur sipil melemah. Struktur yang awal reformasi dibangun Pemerintah bersama civil society pun mulai disorientasi.

Kemudian pada akhirnya kultur dan struktur yang semula berjalan sesuai cita-cita kemanusia yang adil dan beradab menjadi melemah.

Struktur negara termasuk Polri tak lagi dapat dijadikan tauladan bagi masyarakat sipil. Bebagai penyimpangan hukum yang dilakukan institusi mulai terjadi, hingga nilai-nilai kultur personal/pejabat pun mulai mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan.

Disisi lain Polri yang diharapkan dapat menjamin terciptanya kehidupan masyarakat sipil yang berdaulat dan terbebas dari kepentingan kekuasaan, justru sebaliknya malah melakukan pengkondisian penguatan kepada kekuasaan.

Oleh karena itu melalui Sambung Rasa Rakyat Jogja mengusulkan dan mendesak kepada Presiden dan DPR beberapa pokok pikiran penyelesaian prahara yang terjadi ditubuh Polri sebagai berikut:

Jangka Pendek : Presiden segera membentuk  Tim Khusus yang bersifat independen untuk membongkar terkait prahara yang terjadi di intitusi Polri.

(1) Mengawal dengan cermat proses hukum pembunuhan berencana terhadap Brigade Joshua.

(2) Mengungkap bisnis gelap yang terstruktur dan sistematis di tubuh Polri.

(3) mengaudit aliran dana secara utuh dan terang benderang atas peran peran satgasus merah putih dan petinggi Polri yang diduga kuat terlibat.

Jangka Menengah :

(1) Memastikan  peritiwa prahara di tubuh polri ini sebagai momentum untuk mewujudkan Polri yang sesuai dengan cita-cita bersama yang tertuang dalam konstitusi negara dan cita cita reformasi; dan menjadi langkah yang pasti dan terukur untuk menjamin adanya reformasi Birokrasi dan Revitalisasi Paradigma Polri.

(2) melucuti persenjataan yang diduga kuat berstandart Militer/TNI yang dimiliki Polri sebagai upaya untuk mengembalikan Polri sebagai pengayom dan rasa nyaman rakyat Indonesia.

(3) Perlu  dirumuskan  posisi Polri dibawah presiden maupun di bawah  kementerian tertentu, atau bahkan dibawah Gubernur yang kesemuanya dilandasi atas semangat  untuk membangun manusia polisi  indonesia yang yg sungguh sungguh berkultur  dan berbasis “kemanusiaan yg adil dan beradab” dan mengembangkan tradisi non kekerasan

Jangka Panjang :

DPR memberikan dasar hukum yang pasti akan pentingnya reformasi dan revitalisasi Polri serta melakukan pengawasan secara melekat dengan cara DPR melibatkan sektor-sektor publik/masyarakat.

Demikian pokok-pokok pikiran Sambung Rasa Rakyat Jogja yang disampaikan dan diinisiasi oleh LeSPK Yogyakarta.***

Penanggungjawab

In’AM eL Mustofa
Yogyakarta, 23 September 2022

Red/K.101

BACA juga berita menarik seputar Pemilu KLIK disini

Tinggalkan Balasan