oleh
Taufan Hunneman,
Pemerhati isu energi
Kabariku- Presidensi G20 merupakan momentum bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi. Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan, transisi energi menjadi isu prioritas dari Presidensi saat ini.
Wajar bila transisi energi masuk skala prioritas, karena merupakan langkah besar untuk menghindari pemanasan global, sebuah fenomena perubahan iklim (climate change) yang sangat beresiko bagi kehidupan generasi mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan memperkuat narasi itu, tentang komitmen Indonesia untuk menekan penggunaan energi fosil di dalam negeri. Menurut Menkeu, energi fosil perlahan akan ditinggalkan Indonesia.
Hal ini sudah menjadi misi bersama dalam menjaga planet rumah kita satu-satunya sembari memastikan laju pembangunan dan roda perekonomian terus berjalan. Komitmen meninggalkan energi tak terbarukan ini disampaikan Menkeu dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) di Washington DC baru-baru ini, pada sesi yang membahas upaya transisi energi.
Dalam kajian BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kementerian Keuangan RI, kemampuan negara dalam pendanaan mitigasi perubahan iklim masih sangat terbatas, hanya sekitar 34 persen dari yang seharusnya dibutuhkan.
Itu sebabnya pelibatan sektor swasta menjadi krusial. Selain aspek pendanaan, sektor swasta dikenal memiliki kompetensi teknis dan efisiensi, yang bisa mendukung program mitigasi dampak (termasuk adaptasi) krisis iklim, utamanya transisi energi.
Parisipasi swasta
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi dampak perubahan iklim, oleh karenanya dibutuhkan sineri dan kemitraan lintas sektoral, utamanya dengan sektor swasta.
Keterlibatan sektor swasta di negeri kita dalam isu perubahan iklim sudah dimulai dengan pembentukan asosiasi IBCSD (Indonesia Bussiness Council for Sustainable Development) sejak tahun 2017.
Salah satu program yang diprakarsai IBCSD adalah Restorasi Ekosistem Riau (RER), dalam bentuk restorasi dan konservasi ekosistem lahan gambut, yang output-nya adalah menjaga stok karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati.
Aksi ini semacam kontribusi sektor swasta dalam mengubah pola perilaku yang lebih ramah lingkungan, sebagai warisan generasi mendatang.
Pengusaha memiliki kompetensi dan pengalaman dalam pengembangan teknologi, model bisnis, dan layanan yang bisa digunakan masyarakat (end user), untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang rendah emisi dan tahan iklim.
Sementara pemerintah dan lembaga riset, dalam posisi sebagai katalisator dan pemandu, dalam upaya sektor bisnis untuk berinovasi dalam teknologi iklim.
Salah satu panduan atau supervisi yang bisa dilakukan pemerintah, bagaimana mengelola program Corporate Social Responsibility (CSR), agar dalam implementasinya memiliki kesesuaian dengan isu ramah lingkungan dan transisi energi.
Program CSR salah satunya bisa digunakan untuk dana riset, mencari solusi mengatasi kendala dalam pengembangan kendaraan listrik, tentu bagi korporasi yang relevan.
Kendala dimaksud adalah dalam penguasaan teknologi, utamanya industri baterai sejak di hilir, durasi daya baterai, kecepatan pengisian daya, termasuk pemanfaatan limbah baterai.
Sektor swasta butuh insentif untuk mengeksplorasi peluang inovasi di bidang teknologi iklim. Pemerintah dan otoritas lokal, subnasional dan nasional mungkin dapat memberikan informasi lebih lanjut kepada pengusaha. Sebagai bagian dari komitmen jangka panjang yang dibuat oleh semua negara untuk menjaga suhu bumi sesuai Kesepakatan Paris.
Tren bisnis global bergerak ke arah keberlanjutan dan ramah lingkungan. Salah satunya ditandai dengan kesepakatan 400 perusahaan untuk bekerja sama menurunkan emisi karbon.
Komitmen tersebut disampaikan dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos (Swiss), pertengahan tahun lalu. Kesepakatan di Davos itu, antara lain melibatkan beberapa korporasi raksaksa, seperti perusahaan baja Arcelor Mittal, Maersk (perusahaan kargo), Shell (industri minyak), dan seterusnya.
Tugas utama pemerintah adalah regulasi, pemetaan kasus, dan sosialisasi. Pembuat kebijakan perlu sosialisasi lebih intensif soal krisis iklim. Melalui intervensi kebijakan yang tepat, dibarengi skema insentif menarik, potensi investasi sektor swasta akan tumbuh cepat.
Peran pelaku bisnis di Tanah Air akan memberi pengaruh terhadap reputasi Indonesia di komunitas global, yang sedang gencar menerapkan transisi energi menuju energi terbarukan.
Partisipasi publik
Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) memberi catatan soal kesepakatan iklim dalam COP 26 baru-baru ini, yang dinilai tak cukup kuat untuk mencegah bencana dampak pemanasan global.
Fakta Iklim Glasgow salah satunya menyebutkan, emisi gas rumah kaca (GRK) harus turun 45 persen pada 2030, agar pemanasan global dapat dijaga hingga 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini, sesuai Kesepakatan Paris 2015.
Masih menurut kajian IPCC, yang bisa juga dijadikan alarm, ketika pemanasan global tidak bisa dicegah pada tahun 2050, Bumi akan lebih hangat 2,6 derajat celsius, dengan asumsi target Kesepakatan Paris 2015 tidak tercapai.
Suhu ini akan berdampak pada permukaan laut, elevasi naik 5-32 cm dibandingkan tahun 1990, karena gunung es dan sejumlah gletser meleleh.
Itu artinya generasi milenial, khususnya Generasi Z (kelahiran tahun 1997 dan seterusnya), diperkirakan semakin sering menghadapi panas ekstrem dan bencana banjir, mengingat Indonesia termasuk wilayah rentan bencana iklim.
Diseminasi intensif diperlukan sebagai cara mengatasi kesulitan memoderasi persepsi orang per orang, jangan sampai terjadi orang baru sadar akan adanya bahaya mengancam, ketika sumber bahaya itu sudah dekat.
Sebagai komunitas yang diperkirakan paling terdampak, pengetahuan generasi milenial soal krisis iklim bisa disebut memadai. Dengan kata lain, kelompok milenial di tanah air memiliki kesadaran tinggi soal perubahan iklim.
Salah satu kegiatan yang pernah diadakan adalah “Indonesia Youth Climate Summit 2020” akhir tahun lalu. Momen ini menjadi penanda, sudah ada elemen generasi milenial yang ikut mengampanyekan bahaya pemanasan global, dan bagaimana cara menghindarinya.
Akhir tahun lalu, sejumlah pelajar SMA yang tergabung dalam Koalisi Climate Education Now, menyampaikan petisi kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, agar pendidikan iklim diintegrasikan dalam kurikulum.
Dalam pandangan sejumlah pelajar tersebut, dampak krisis iklim sudah terasa, namun pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran lingkungan, terbilang minim.
Sedikit menengok ke belakang, kesadaran iklim generasi milenial di tanah air banyak terinspirasi oleh para influencer, yakni pengusung musik pop dari Korea Selatan (K-pop), seperti BTS (Beyond the Scene) dan Blackpink.
Dua kelompok ini sejak lama dikenal berada dalam posisi terdepan dalam isu iklim. BTS misalnya, pada pertengahan September lalu, mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang sangat terhormat, yakni Sidang Ke-76 Majelis Umum PBB di New York.
BTS dengan cara memukau mengangkat isu krisis iklim, dengan menghimbau komunitas global sama-sama merawat Bumi.
Nama influencer lain yang harus disebut adalah Gretha Thunberg, aktivis lingkungan belia dari Swedia, dan masih berstatus pelajar sekolah menengah.
Gerakan yang digagasnya dikenal dengan tagline “Friday For Future”(sejak tahun 2018), sebuah aksi masif skala global menentang perubahan iklim.
Gerakan protes iklim setiap hari Jumat, harus diakui telah menjadi inspirasi bagi generasi milenial di tanah air, dalam membangun kesadaran dan pengetahuan terkait perubahan iklim.
Salah satu skema menarik kolaborasi swasta dan publik dalam program transisi energi, adalah dalam pemrosesan sampah.
Sebagaimana diketahui sampah kota adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari penduduk kota tersebut, apakah itu dari rumah-tangga, kantor pemerintah, kantor swasta, tempat usaha, pusat perbelanjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya.
PT Unilever Indonesia salah satu pihak swasta yang mendukung pembangunan infrastruktur energi terbarukan, berkolaborasi dengan PT Solusi Bangun Persada (pabrik semen di Cilacap) dan PT Indocement (Cibinong, Bogor).
Teknologi yang digunakan adalah refuse-derived fuel (RDF), untuk mengolah sampah menjadi sumber energi terbarukan. Biomassa dari hasil pengolahan metode RDF, dapat menjadi energi alternatif pengganti batubara (Kompas, 21/2/2022).
Sampah perkotaan di Indonesia bersifat heterogen, karena pemilahan jenis sampah belum terjadi di hulu.
Idealnya, sebelum dikirim ke TPA (tempat pembuangan akhir), sampah melewati proses yang disebut mechanical–biological treatment (MBT), untuk memilah mana sampah yang bisa didaur ulang (recyclable), didegradasi (degradable), dan dibakar (combustible).
Karena tidak ada pemilahan di hulu, sampah jenis ini akhirnya menggunung di TPA, yang memiliki kadar air dan kloring tinggi, dengan nilai kalor indah.
Dalam proses penguraian di TPA, sampah akan mengeluarkan biogas, yang berisi metana dan karbondioksida.
Dengan tersedianya teknologi pengolahan sampah, dampak buruk unsur metana dan karbondioksida bisa direduksi, untuk selanjutnya dikonversi menjadi energi terbarukan.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post