Jakarta, Kabariku – Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya adalah kesadaran dan proklamasi yang tegas akan pentingnya perikemanusiaan dan perikeadilan, keinginan luhur untuk kehidupan Kebangsaan yang bebas. Sekaligus mandat dan tugas pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia tanpa kecuali, mensejahterakan dan memajukan, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga mandat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meski mengusung tema resmi “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, pidato Presiden dinilai lebih menekankan legitimasi pembangunan dan angka pertumbuhan, alih-alih menjawab problem mendasar yang dihadapi rakyat.
Dalam sebuah podcast yang disiarkan melalui kanal YouTube YLBHI, lima tokoh masyarakat sipil hadir memberikan respon, yakni Muhamad Isnur (Ketua Umum YLBHI), Bhima Yudhistira (Direktur CELIOS), Jumisih (JALA PRT/KPBI), Iqbal Damanik (Greenpeace Indonesia), dan Dodok (Komika asal Yogyakarta).
Ekonomi Ekstraktif: “Serakah-nomics” dan Warisan Orde Baru
Presiden dalam pidatonya menekankan optimisme pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen. Namun, Bhima Yudhistira menilai narasi tersebut tidak menyentuh akar persoalan.
“Prabowo justru terjebak dalam dualisme konsepsi ekonominya sendiri. Untuk mengejar pertumbuhan 8 persen sekaligus menurunkan kemiskinan dengan model ala Orde Baru itu mustahil. Pemerintah seharusnya meninggalkan ekonomi ekstraktif dan memperkuat perlindungan sosial,” tegas Bhima, dikutip Mnggu (17/8/2025).
Ia mengingatkan bahwa gagasan ekonomi yang berulang justru berisiko ekologis.
“Yang diwarisi dari Orde Baru adalah kerapuhan ekonomi. Kalau diulang, hasilnya sama saja. Bahkan Presiden sendiri mengakui dengan istilah serakah nomics bahwa kebijakan sebelumnya bermasalah,” tambahnya.
Klaim Penyerapan Kerja Dipertanyakan
Presiden menyebut jutaan lapangan kerja tercipta dan pengangguran menurun. Namun, Jumisih, aktivis JALA PRT, menyebut fakta di lapangan justru menunjukkan kebalikannya.
“Saya tidak percaya ada 1,2 juta tenaga kerja baru. PHK terjadi di mana-mana, dari garmen, tekstil, sampai startup. Pertanyaannya bukan sekadar angka, tapi kualitas pekerjaan: upahnya, relasi kerjanya, dan jaminan sosialnya,” kata Jumisih.
Ia menyoroti pekerja rumah tangga (PRT) sebagai contoh nyata.
“PRT jumlahnya besar tapi tetap di sektor informal, tanpa perlindungan hukum, dan bahkan tidak disebut dalam pidato Presiden. Ini bukti negara masih abai,” ujarnya.
Isu HAM Absen, Masyarakat Adat Terpinggirkan
Muhamad Isnur dari YLBHI mengungkapkan kekecewaannya terhadap pidato Presiden yang sama sekali tidak menyebut soal hak asasi manusia (HAM).
“Tidak ada satu kalipun Presiden bicara perlindungan HAM ataupun kebebasan berekspresi. Padahal proyek pembangunan yang dia banggakan seringkali melahirkan korban, masyarakat adat digusur dan dikriminalisasi,” tegas Isnur.
Ekologi dan Militerisasi dalam Pembangunan
Pidato Presiden juga menyinggung rencana penertiban sektor sumber daya alam dengan melibatkan TNI-Polri. Menurut Iqbal Damanik dari Greenpeace, hal itu mencerminkan pola pikir ekstraktif dan represif.
“Cara pikir terhadap SDA masih ekstraktif. Presiden bicara kedaulatan rakyat, tapi di lapangan justru ada militerisasi. Di Merauke, masyarakat adat menghadapi aparat bersenjata dalam proyek strategis nasional. Ini fakta nyata,” jelas Iqbal.
Ia menambahkan, “Kita sedang menghadapi krisis iklim. Seharusnya fokus pada penghentian ekstraksi, bukan justru memperluas tambang dengan jargon populis”.
Melengkapi respon serius, Dodok, komika asal Yogyakarta, menyinggung gaya kepemimpinan Prabowo dengan satir.
“Yang diomongin selalu tambang untuk rakyat lewat TNI. Ini Soeharto banget. Seakan semua masalah bisa selesai dengan militer. Kalau tirani makin merajalela, komedi justru jadi solusi,” ujarnya disambut tawa audiens.
Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan
Respon masyarakat sipil menunjukkan adanya jurang antara narasi pembangunan dalam pidato kenegaraan dengan kenyataan rakyat di lapangan: masyarakat adat kehilangan tanah, pekerja tanpa perlindungan, ruang demokrasi menyempit, dan krisis iklim kian terabaikan.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, Masyarakat Sipil menegaskan, aarah pembangunan semestinya bukan lagi mengulang pola lama. Tanpa keberpihakan pada rakyat, kemerdekaan hanya jadi seremonial, sementara oligarki semakin kuat.
“Masyarakat sipil akan dan harus terus bersuara juga melawan, agar cita-cita kemerdekaan tidak direbut dari tangan rakyat,” tutup pernyataan Masyarakat Sipil.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post