Jakarta, Kabariku – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menanggapi pernyataan ahli hukum yang menyebut penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Tanak menilai pernyataan tersebut harus disertai dasar hukum yang jelas dan rasional, bukan sekadar opini pribadi.
“Menurut saya, setiap orang boleh saja berpendapat, tetapi pendapatnya harus jelas dasar dan alasan hukumnya,” kata Johanis, dikonfirmasi Sabtu (21/6/2025).
Pernyataan kontroversial itu muncul dalam sidang uji materiil UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, ahli hukum Chandra M Hamzah menyoroti potensi multitafsir Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, bahkan menyebutnya bisa menjerat penjual pecel lele yang berdagang di trotoar.
Menanggapi hal itu, Johanis menegaskan bahwa penafsiran hukum tidak boleh dilepaskan dari kerangka ilmu hukum.
“Kalau dikatakan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 bermasalah, harus dijelaskan apa masalahnya yang disertai dengan dasar dan alasan yang rasiolegis,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penafsiran suatu aturan harus merujuk pada teori hukum yang berlaku, bukan pada pemikiran subjektif semata.
“Kalaupun suatu peraturan mau ditafsirkan, tentunya harus dilakukan sesuai dengan teori tentang penafsiran dalam ilmu hukum, tidak ditafsirkan berdasarkan pikiran kita semata tanpa mendasari pada aturan hukum dan alasan hukum yang rasiolegis,” tambahnya.
Johanis juga menyinggung prinsip notoire feiten dalam hukum acara pidana, yaitu fakta yang telah diketahui umum sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.
Dalam konteks ini, ia menyebut bahwa secara logika, tidak masuk akal jika penjual pecel lele bisa menyebabkan kerugian keuangan negara.
“Sudah dapat diketahui oleh umum bahwa tidak mungkin perbuatan penjual pecel lele di trotoar akan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,” jelas Johanis.
Karena itu, menurutnya, tidak tepat jika aktivitas penjual pecel lele dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi.
“Dengan demikian, perbuatan penjual pecel lele di trotoar tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan tipikor yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” tegasnya.
Polemik ini muncul dalam sidang pengujian materiil Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024, dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR serta ahli dan saksi pemohon.
Chandra mulanya menjabarkan isi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, berikut ini bunyinya:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Chandra juga menjabarkan isi Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Chandra menerangkan isi pasal tersebut bisa menimbulkan masalah. Dia menyebut perumusan isi pasal ambigu dan bisa melanggar asas lex certa maupun lex stricta.
Sidang tersebut menyita perhatian publik karena mempersoalkan batas-batas tafsir dalam implementasi UU Tipikor yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.*
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post