Jakarta, Kabariku – Simpul Aktivis Angkatan 98 (SIAGA 98) menyampaikan dukungan penuh terhadap pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai urgensi penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi dan pentingnya menjunjung asas keadilan bagi keluarga terpidana.
Pernyataan tersebut dinilai mencerminkan keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan penghormatan terhadap hak sipil yang sah, yakni anak dan istri dari terpidana.
Seperti diketahui, pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait penyitaan aset-aset koruptor dan adil kepada anak istrinya, sebagaimana disampaikan saat di wawancarai enam pemimpin redaksi di Hambalang, Minggu, 6 April 2025, berikut dua pernyataannya;
“Kerugian negara yang dia timbulkan, ya harus dikembalikan. Makanya aset-aset pantas kalau negara itu menyita”.
“Tapi kita juga harus adil kepada anak istrinya. Nah, kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat, umpamanya, ya nanti para ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga?”.
Terhadap pernyataan Presiden tersebut, Hasanuddin, Koordinator SIAGA 98 menilai tidak hanya berlandaskan prinsip keadilan, tetapi juga sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Penyitaan dan perampasan aset ini merupakan pidana tambahan,” ucap Hasanuddin. Kamis (10/04/2025).
Hasanuddin yang juga pendiri LBH Padjajaran ini menjelaskan bahwa penyitaan dan perampasan aset dalam konteks tindak pidana korupsi merupakan dua hal yang berbeda secara hukum.
Pasal 18, ayat 1 huruf a; “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut”.
“Oleh sebab itu apa yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto terkait penyitaan dan perampasan sudah memiliki dasar hukumnya,” terangnya.
Namun dalam prakteknya, kata Hasanuddin, pidana tambahan perampasan aset ini jarang sekali diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari dakwaan dan tuntutan yang disampaikan Jaksa.
“Karena itu dalam pernyataan ini kami membuat kata “penyitaan” dan “perampasan” dipisahkan, karena memiliki konsekuensi pengertian yang berbeda dalam hal pidana tambahan dimasukkan atau tidak dalam dakwakan atau dituntutan,” ungkapnya.
Lebih jauh Hasanuddin memaparkan, dalam hal pidana tambahan perampasan aset koruptor sebagaimana ayat 1 huruf a sebagaimana tersebut diatas masuk dalam dakwaan dan tuntutan.
“Serta Majelis Hakim memutuskan perampasan aset sebagai bagian dari pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, maka perampasan aset secara serta merta dapat dilakukan,” lanjutnya.
Namun, dalam hal dakwakan, Hasanuddin menjelaskan, dituntut dan diputus perampasan aset, maka perampasan terhadap aset tersebut tidak dapat dilakukan, namun yang digunakan adalah penyitaan.
Penyitaan dapat dilakukan karena kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi di dakwa, tuntutan, dan diputus berdasar kualifikasi pemidanaan tambahan Uang Pengganti (UP) sebagaimana Pasal 18 ayat 1 huruf b;
“Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”.
“Sehingga penyitaan aset dimaksud adalah untuk pembayaran pidana tambahan uang pengganti,” ujarnya.
Menurut Hasanuddin, dalam prakteknya penyitaan ini dilakukan sejak dari awal untuk pembayaran uang pengganti agar kerugian keuangan negara dapat dipulihkan/
“Sehingga menutup celah terpidana tidak membayar uang pengganti dengan menjalani penjara pengganti UP,” lanjut dia
Terkait pelaksanaan Pidana Tambahan Uang Pengganti ini, Mahkamah Agung RI telah mengaturnya melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.
“Sehingga pernyataan Presiden Prabowo Subianto berlandaskan hukum, dan apa yang dimaksud dengan penyitaan aset adalah dalam kualifikasi Pidana Tambahan Uang Pengganti bukan dalam kualifikasi perampasan aset,” jelasnya.
Sementara berkenaan dengan “Adil terhadap Aset Anak dan Istri Terpidana Korupsi”, Hasanuddin menilai, kalimat ini menimbulkan kontroversi dalam hal tidak ada kalimat tambahan: “…Kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat…”.
“Kalimat terakhir ini yang menjadi ukuran adil. Tidak semata adil menurut pendapat kami, tetapi juga perampasan terhadap aset sebelum menjabat tidak dapat dikenakan karena tempus perolehannya,” tuturnya.
Oleh sebab itu, ucap Hasanuddin, pernyataan adil atau tidak adil sebagaimana pernyataan Prabowo Subianto memiliki dasar hukumnya.
“Oleh sebab itu, dalam hal terdapat aset anak dan istri terpidana korupsi yang juga masuk dalam dakwaan, tuntutan dan pemidanaan, maka dapat dilakukan keberatan,” katanya.
Hal ini diatur dalam pasal 19 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK.
Ayat (1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
Ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pemiskinan Koruptor Melalui Perampasan Aset
Kalimat ini sering mengemuka, dan dimaknai secara radikal dan berpotensi tidak sesuai ketentuan.
Sebab, Hasanuddin berujar, tidak dikenal istilah hukum pemiskinan. Ketidakadilan bermuara dari istilah ini dalam perampasan aset, dan tentu akan berdampak hukum.
“Untuk menghindari hal ini, kita harus mempedomani ketentuan hukum sebagaimana disebutkan diatas,” ucapnya.
SIAGA 98 mendukung penerapan pidana tambahan perampasan aset sebagaimana UU TPK, yang tidak semata menggantinya dengan pidana tambahan Uang Pengganti (UP) sebagaimana kebiasan dalam praktek.
“Reformasi menjunjung kepastian hukum dan melawan tindakan hukum yang sewenang-wenang,” tegasnya.
Namun dalam batas-batas memperhatikan tempus perolehannya dan hak keperdataan pemilik aset.
“Menurut hemat kami dalam perspektif inilah pernyataan Presiden Prabowo Subianto tersebut,” pungkasnya.K.000
Berita tayang juda di sorotmerahputih.com
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post