Catatan Ilham Bintang
Pelopor Jurnalistik Infotainment
Maret 2022
Kabariku- “Tugas Pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa”. Itu ucapan terkenal tokoh pers pendiri Harian Kompas, PK Ojong ( 1920-1980). Ucapan itu sering dikutip dalam tulisan wartawan di media. Terutama pada momen peringatan Hari Pers Nasional.
Bagaimana sebaiknya peran pers ditengah kegaduhan politik di Tanah Air dewasa ini?
Berbicara peran pers Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari pandangan mendalam PK Ojong itu. Sejarah pers Indonesia sendiri merupakan bagian integral dari perjuangan dan pembangunan bangsa.
Di negara yang demokrasinya maju, pers adalah pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di Indonesia, sejarah pers kita dimulai saat pembentukan Kantor Berita Antara 13 Desember 1937.
Masa itu berperan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Disusul dengan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wadah profesi wartawan pertama di Indonesia. PWI dibentuk di Surakarta, pada 9 Februari 1946.
Jangan lupa. Di masa itu meskipun kemerdekaan telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, namun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia lebih empat tahun kemudian, 1949. Pembentukan PWI jelas sebuah keberanian para wartawan Indonesia untuk bersatu mengawal dan melindungi kemerdekaan RI. Seiring dengan perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.
Peran pers kemudian memang pernah terkooptasi di masa Orde Lama, juga di masa Orde Baru. Saat PWI sebagai institusi wartawan Indonesia terkooptasi, di masa Orba itu, sebagian wartawan melakukan perlawanan dengan membentuk Aliansi Jurnalis Independ.
Tidak lama setelah dia terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat periode kedua (2013-2018). Dalam diskusi itu saya memaparkan data jumlah masyarakat yang terhubung internet. Waktu itu sekitar 150 juta. Data terbaru 200 juta. Masyarakat kini selektif membaca berita hanya yang disukai meski belum tentu dibutuhkan.
Mereka menyukai berita sensasional, yang lebih banyak tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Sebagian lagi dari mereka mengambil alih pekerjaan wartawan dengan membuat berita sendiri dan menyebarkannya di media sosial.
Jelas, tidak semua memenuhi standar berita sesuai kaidah jurnalisme. Berita seperti itu pasti merugikan publik.
Margiono, yang juga anggota Dewan Pers, memandang fenomena tersebut justru sebagai momen bagi wartawan mengembalikan marwah pers. Wartawan harus semakin meningkatkan fungsi kontrol termasuk melindungi publik dari pengaruh buruk media sosial dengan mentaati aturan dan kode etik.
“Itu faktor pembeda dan menjadi selling point-nya,” kata pemilik grup media “Rakyat Merdeka” itu. Margiono wafat 1 Februari lalu. Niscaya almarhum akan tersenyum di alam sana kalau saja menyaksikan kekompakan pers saat ini menghadapi ulah sebagian elite politik yang merongrong konstitusi negara demi melanggengkan kekuasaan.
Memaksakan kehendak untuk menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan Presiden RI dengan berbagai alasan yang mengada-ada.
Dua pekan ini saya mengikuti isi pemberitaan hampir semua media menyoal itu. Clarity moral, atau kejernihan moral pers sebagai pilar keempat demokrasi mendominasi pemberitaan media hari-hari ini.
Clarity moral bisa juga diterjemahkan dalam bahasa Jawa: “Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono”. Dalam ungkapan orang Makassar: “Manna pelleng puna tallewaki”.
Biarpun film tak bisa dibiarkan kalau kelewatan. Sebebas-bebas Pers Amerika, jika menghadapi ancaman terhadap konstitusi mereka juga akan bangkit dan bersatu melawannya.
Saya sempat menyinggung nilai “clarity moral” itu dalam diskusi Forum Pemred (forum pemimpin redaksi Indonesia) Rabu (2/3/2022) malam.
Alhamdulillah. Sudah berlangsung dua pekan hingga kemarin, sebagian media sudah berhasil mengidentifikasi kegaduhan politik terkait isu penundaan Pemilu 2024.
Ternyata bersumber dari tokoh tokoh elite politik yang selama ini kita beri kepercayaan. Saya sependapat dengan banyak kawan untuk segera mengucilkan pelaku dari ruang demokrasi. Mereka seperti ikan yang busuknya bersumber dari kepalanya sendiri.
“Pers itu berada di garis lurus. Pemerintah yang bengkok akan berbenturan dengan pers,” kata tokoh pers legendaris Indonesia, almarhum BM Diah, pendiri Koran Nasional Harian Merdeka.***
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post