Jakarta, Kabariku – Forum publik yang diselenggarakan Jaringan Intelektual Hukum Nasional (JIHN), isu korupsi kembali menjadi pusat perbincangan. Acara bertema “Kaleideskop Korupsi di Indonesia: Membuka Tabir Masa Lalu untuk Masa Depan Indonesia Lebih Baik” itu berlangsung pada Senin, 1 Desember 2025, dan menghadirkan empat pembicara dengan sudut pandang yang tak kalah tajam dari skalpel bedah. Bandot DM memandu jalannya dialog, sementara Cavin Tampubolon menghidupkan suasana sebagai pembawa acara.
Uchok Sky Khadafi: Janji Politik yang Butuh Ujian
Uchok Sky Khadafi memulai diskusi dengan menyorot langsung ke pusat wacana: pernyataan Presiden Prabowo yang pernah bersumpah mengejar koruptor hingga Antartika. Menurut Uchok, publik membutuhkan bukti, bukan slogan. Ia menilai kebijakan antikorupsi yang menyasar “pengusaha hitam” tidak boleh menjelma menjadi instrumen kekuasaan untuk konsolidasi ekonomi negara.
“Komitmen itu harus diterjemahkan menjadi kebijakan konkret,” ujar Uchok. Ia melanjutkan dengan mengingatkan peran generasi Z sebagai kelompok yang tidak seharusnya diam. “Gen Z harus berada di garis depan untuk mengkritisi pemerintah,” katanya.
Ubedilah Badrun: Gambaran Sistem yang “Terlalu Korup”
Mengambil perspektif lebih luas, Ubedilah Badrun mengaitkan kondisi Indonesia dengan standar negara maju. Ia menyebut tata kelola pemerintahan dan pendapatan per kapita Indonesia masih jauh dari ideal. Dalam pandangannya, persoalan itu bertahan karena korupsi telah meresap hingga meja kekuasaan.
“Saya melihat ada maling dalam struktur pemerintah hari ini. Korupsi adalah faktor utama yang paling menghambat bangsa untuk maju dan tidak bisa lagi dianggap sebagai persoalan pinggiran,” tegasnya.
Firman Tendry Masengi: Akar Korupsi Ada di Niat
Firman Tendry Masengi menyoroti aspek hukum dan politik regulasi. Ia percaya persoalan korupsi bukan sekadar soal uang, tetapi soal niat yang sudah terbentuk lama sebelum praktik itu dilakukan. Ia menilai beberapa Undang-Undang sengaja dibentuk dengan celah-celah yang memungkinkan praktik koruptif.
“Banyak Undang-Undang yang memang disetting untuk korup,” katanya. Firman juga mengkritik dominasi eksekutif dalam proses legislasi, yang menurutnya melemahkan fungsi DPR sebagai lembaga pengawasan. Dominasi itu, lanjutnya, menggerus check and balance dan menempatkan kekuasaan pada posisi yang terlalu nyaman.
Tejo Asmoro: Budaya Korup yang Diturunkan Sejak Kecil
Mengangkat sisi kebudayaan, Tejo Asmoro menyebut praktek korupsi bukan hanya tumbuh di gedung pemerintahan, tetapi juga merayap dalam pola pendidikan dan keseharian masyarakat. Ia menganggap contoh kecil yang dianggap lumrah sejak masa kanak-kanak justru menjadi pondasi budaya koruptif itu sendiri.
Tejo juga mengkritik pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang menurutnya justru membuka peluang kebijakan yang menyesatkan. “Jika elite tidak berubah, budaya korup akan terus diwariskan,” ujarnya.
Korupsi sebagai Persoalan Struktural
Dari keempat pembicara tersebut, satu benang merah muncul: korupsi di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan masalah struktural yang bersemayam dalam regulasi, pendidikan, mentalitas elite, dan pola kekuasaan. Reformasi menyeluruh diperlukan, dan peran masyarakat sipil—khususnya generasi muda—menjadi bagian tak terpisahkan.
Ketua JIHN, Riswan Siahaan, menegaskan tujuan penyelenggaraan diskusi ini. “Diskusi ini salah satu bentuk kritik kami kepada pemerintah. Kami ingin ini menjadi perhatian pemerintah pusat hingga daerah agar lebih amanah menjalankan tugas dan tanggung jawab, karena korupsi adalah musuh kita bersama,” ujarnya.
Acara berlangsung interaktif dan meninggalkan harapan bahwa negara tidak hanya berbenah, tetapi masyarakat, terutama kalangan muda, juga mengambil bagian dalam perubahan itu.(Bemby)
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
















Discussion about this post