Jakarta, Kabariku – Pimpinan Pusat Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah (PP AMMDI) mulai mengambil langkah serius merespons menguatnya praktik militerisme di ranah sipil. Melalui sebuah diskusi terstruktur dalam format Focus Group Discussion (FGD), organisasi kepemudaan ini mengurai persoalan dan memetakan peluang untuk membawa Undang-Undang TNI serta KUHP Baru ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah ini diambil tak lama setelah MK mengabulkan gugatan yang melarang anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian. Putusan itu, menurut AMMDI, menjadi sinyal penting agar batas antara otoritas sipil dan militer segera diperjelas.
Ketua Umum PP AMMDI, Safrin Yusuf, menilai penetrasi militer maupun polisi aktif ke jabatan-jabatan sipil menimbulkan kekhawatiran yang tidak bisa dianggap sepele.
“Semangat kami anak muda menjaga ranah sipil dan militer agar jelas porsinya. Profesionalisme militer dimana, bidang sipil dimana. Jangan dicampur, diborong semua, apalagi diaduk-aduk. Bahaya buat pertumbuhan demokrasi,” ujar Safrin, Rabu (11/11/2025).
Safrin menegaskan, pihaknya tengah menyiapkan langkah lanjutan.
“Rencananya UU TNI dan KUHP Baru kami bawa ke MK saja. Mestinya perubahannya itu menghilangkan fungsi-fungsi di luar instansinya yang ingin masuk ranah sipil,” katanya.
FGD Ungkap Masifnya Diferensiasi Fungsi Sipil dan Militer
Salah satu pemateri FGD, akademisi STIK-PTIK, Sidratahta Mukhtar, memaparkan bahwa terjadi diferensiasi besar antara profesionalisme militer dan otoritas sipil. Keduanya, kata dia, justru kian kabur.
“Terjadi diferensiasi yang luar biasa, baik militer dalam pengertian tentara maupun militerisme dalam konteks polisi. Dua-duanya menganut militerisme meskipun berbeda,” ucapnya dalam forum di Hotel Alia Cikini, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Ia mengapresiasi AMMDI karena mengangkat isu yang jarang disentuh organisasi pemuda.
“Diskusi seperti ini penting karena persoalan militer jarang terjamah oleh organisasi-organisasi pemuda Islam,” ujar Sidratahta.
FGD ini dihadiri para mahasiswa dari berbagai kampus seperti UNAS, UIJ, UBK, UNINDRA, UIC, ASAFIA, Bhayangkara Jakarta, STIE Bhakti, UNJ, UMJ, hingga UIN.
Ray Rangkuti & Edwin Partogi: Demokrasi Butuh Spesialisasi, Bukan Tumpang Tindih
Dua narasumber penanggap, Ray Rangkuti dan Edwin Partogi, sepakat bahwa demokrasi menuntut adanya batas peran yang tegas.
Ray menyoroti absurditas penugasan militer aktif di bidang yang jauh dari kompetensi utamanya.
“Kalau saya di pertahanan saja, ya sudah jadi tentara. Jadi jangan nyebrang. Sudah masuk tentara malah ngurusin MBG, kan aneh. Ilmunya soal tembak-menembak, tiba-tiba mengurusi makanan orang, repot,” ujar Ray.
Edwin Partogi menilai ada budaya glorifikasi militer yang memicu perluasan tugas ke ranah sipil.
“Mindset bahwa militer itu super hero membuat tugasnya melebar. Bukan soal sipil atau militer yang lebih baik, tapi pemimpin hasil demokrasi bisa membawa negara ke arah yang benar atau tidak,” katanya.
Ia menyinggung persoalan MBG.
“MBG itu menyebabkan persentase keracunan. Apa ini menunjukkan ketidakprofesionalan,” ujarnya.
AMMDI: Menjaga Negara Pasca Putusan MK
Wakil Ketua PP AMMDI, Dian Asafri, menegaskan bahwa forum diskusi ini merupakan bentuk kewaspadaan sipil setelah putusan MK.
“Inilah cara kita menjaga negara, Polisi dan TNI kita. Kalau tidak ingin negara rusak, maka hari ini kita diskusikan bersama,” ujarnya.
AMMDI menilai langkah judicial review bukan sekadar sikap politis, melainkan upaya mengingatkan pentingnya netralitas, profesionalisme, dan pemisahan kewenangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan.(Bemby)
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

















Discussion about this post