Bandung, Kabariku – Kamojang mencatat sejarah dalam pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai wilayah dengan potensi energi hijau yang besar, kawasan yang telah dieksplorasi sejak 1926 ini kini melahirkan inovasi kopi pertama di dunia yang diproses dengan uap panas bumi.
Adalah Muhammad Ramdhan Reza Nurfadilah, atau akrab disapa Mang Deden, sosok di balik hadirnya kopi panas bumi tersebut. Sejak 1983, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) telah mengelola wilayah panas bumi di Kamojang.
Namun inovasi kopi panas bumi baru muncul pada 2023, ketika Deden bersama pelaku usaha lokal memanfaatkan panas uap dari fasilitas PGE untuk proses pengeringan dan fermentasi kopi.

Berawal dari Kedai Kecil dan Obrolan Santai
Deden telah bergelut di dunia kopi sejak 2015 dengan membuka kedai kopi sekaligus aktif sebagai Ketua Karang Taruna Kecamatan Ibun, Bandung.
Kedainya menjadi tempat berkumpul warga dan karyawan PGE. Dari perbincangan santai di kedai itu, muncul gagasan memanfaatkan panas bumi untuk pengolahan kopi.
“Waktu itu saya anggap ide tersebut menjadi tantangan. Saya melihat potensi panas bumi sebagai peluang untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan produsen kopi konvensional,” kata Deden dalam kegiatan Media Site Visit dan Journalist Workshop di Wilayah Kerja Panas Bumi Kamojang, 5-6 November 2025.

Riset Setahun, Melahirkan Metode Produksi Baru
Bersama PGE, Deden melakukan riset intensif selama hampir satu tahun untuk menemukan teknik fermentasi yang sesuai. Dari lebih dari 20 percobaan, akhirnya diperoleh tiga metode fermentasi terbaik yang cocok dengan karakter pengeringan menggunakan panas bumi.
Ia kemudian mengembangkan Geothermal Dry House, rumah pengering kopi yang memanfaatkan steam trap panas bumi sebagai pengganti matahari. Teknologi ini membuat proses pengeringan tiga kali lebih cepat, efisiensi meningkat hingga 300%, dan kualitas hasil lebih terjaga.
“Proses ini meminimalkan risiko kontaminasi bakteri dari luar. Aromanya jadi lebih kuat, rasa lebih fruity, dan teksturnya lebih lembut dibanding kopi yang diproses secara konvensional,” jelasnya.
Deden kini memimpin Geothermal Coffee Process (GCP) yang mengolah biji pascapanen menjadi green bean. GCP telah bermitra dengan lebih dari 80 petani dan menyerap sekitar 20 ton kopi pada musim panen terakhir.
Ia menargetkan GCP menjadi usaha terintegrasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani lokal secara berkelanjutan.
Tembus Pasar Jepang, Bidik Ekspansi ke Eropa
Inovasi kopi panas bumi menarik perhatian pihak luar negeri. Pada tahun pertama peluncuran, sistem yang dikembangkan Deden sudah ingin ditiru pihak asing.
“Kami merasa penting untuk segera mematenkannya. Kami ingin konsep ini berkembang di dalam negeri lebih dulu, terutama di daerah yang memiliki sumber panas bumi,” ujarnya.
Upaya itu kini berbuah hasil. GCP telah mengekspor kopi ke Jepang dan tahun ini menargetkan ekspansi ke pasar Eropa.
“Kolaborasi ini bukan cuma soal melahirkan kopi panas bumi pertama di dunia, tapi juga membuka pintu bagi pelaku usaha lokal untuk berkembang dan bermimpi lebih besar,” tambah Deden.
Berbekal latar belakang sebagai lulusan SMK Farmasi, Deden kini tengah mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan S1 dalam bidang manajemen bisnis melalui program beasiswa PGE.
Baginya, kopi panas bumi bukan sekadar inovasi, melainkan perjalanan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar sumber energi hijau.***
Baca juga di Berita Geothemal Kamojang, Pusat Sejarah Panas Bumi Indonesia: Laboratorium Energi Hijau Berkelanjutan
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com



















Discussion about this post