Perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran sudah sangat mendesak dan perlu mendapatkan perhatian serius. Penyebabnya, batasan regulasi dan perlakuan antara media penyiaran (konvensional) dengan media baru (platform digital) makin kabur (tidak jelas).
“Batasan keduanya makin kabur. Ditambah lagi, masyarakat sekarang, terutama generasi muda, kini memiliki akses tak terbatas ke informasi dan hiburan, yang bukan hanya berasal dari lembaga penyiaran berizin, tetapi juga dari kreator konten independen, layanan streaming global, dan media sosial,” kata Rektor Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI, Sylviana Murni, saat memberikan sambutan pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2025 di kampus Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI, di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Kendati demikian, lanjut Sylviana, perkembangan tersebut menghadirkan dua hal sekaligus yakni adanya peluang besar untuk memperluas jangkauan dan inovasi. Namun dinsisi lain, hal ini menjadi tantangan serius terhadap relevansi, etika, dan kualitas isi siaran.
“Pertanyaannya, bagaimana kita memastikan lembaga penyiaran tetap menjadi pilar utama penyedia informasi yang akurat, mencerahkan, mendidik, dan berkarakter kebangsaan di tengah derasnya arus konten digital?”, ujar Sylviana.
Terkait pernyataan Sylviana, Praktisi Penyiaran Neil Tobing menilai perlunya perbaikan terhadap definisi penyiaran dalam revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran. Pembaruan ini diharapkan memberikan kejelasan, penegasan, dan rasa keadilan bagi siapapun termasuk industri penyiaran TV dan radio.
“Memang sudah seharusnya definisi penyiaran di UU Penyiaran harus diperbaiki. Karena sangat penting mengatur platform media lain,” kata Neil Tobing, salah satu narasumber Bimtek.
Neil menegaskan, negara harus hadir dan berani melakukan pengaturan terhadap platform media selain media mainstream (TV dan radio). “Negara mesti mengaturnya tanpa harus mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Kami siap berdiskusi untuk itu,” pintanya sekaligus mengusulkan penguatan kewenangan KPI untuk mengawasinya.
Direktur Kerjasama Marketing dan Kemahasiswaan Institut STIAMI, Dedy Kusna Utama, menyatakan perubahan regulasi ini untuk menciptakan keadilan terhadap media penyiaran. “Pengaturan platform digital perlu. Literasi digital juga perlu. Kami akademisi siap mendorong dan memberikan masukan,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan, pihaknya memang menunggu dan berharap besar keterlibatan dunia kampus di tanah air. Menurutnya, kampus sebagai wadah pemikir dan ilmu pengetahuan harus memberikan sumbangsih terhadap kebijakan penyiaran nasional.
“Partisipasi akademisi terkait dengan regulasi penyiaran menjadi penting. Relevan atau tidak sejatinya juga tergantung dengan bagaimana publik melihatnya. Karena KPI merupakan wadah aspirasi publik. Jadi kalau publik ingin ada perubahan ayo kita rubah,” tambah Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, di sela-sela diskusi Bimtek tersebut.
Dalam kesempatan itu, Komisoner KPI Pusat, Aliyah, menjelaskan tugas dan fungsi KPI dalam menjaga siaran TV dan radio agar selaras dengan regulasi. Selain itu, ia menyampaikan jika siaran TV dan radio sangat penting dalam upaya mengedukasi masyarakat melalui informasi yang dapat dipercaya. ***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post