Kasus keracunan pada anak-anak penerima program Makan Gizi Gratis (MBG) terus terulang hingga saat ini. Bahkan, di beberapa daerah sudah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) mengingat banyaknya anak yang keracunan.
Kasus tersebut sudah tersebar di beberapa daerah seperti Garut (Jawa Barat), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), Mamuju (Sulawesi Barat), dan Ketapang (Kalimantan Barat).
Menurut Auditor Halal Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM MUI, Djusmaidar Suhaimi, kasus tersebut terjadi karena pelaksanaan MBG saat ini masih lebih banyak menekankan pada aspek gizi dibandingkan dengan kepastian halal.
Bahkan, kata dia, salah satu tantangan nyata muncul dari fasilitas yang digunakan, seperti kasus food tray yang ternyata mengandung lemak babi.
Apalagi dalam siklus produksi MBG, kata dia, tahap pemasakan dinilai paling rentan karena melibatkan banyak interaksi bahan dan peralatan.
“Jika tidak dikendalikan dengan benar, risiko kontaminasi sangat tinggi, bahkan bisa memicu kasus keracunan seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah,” ucapnya.
Dengan itu, Djusmaidar menegaskan pentingnya konsep halalan thayyiban dalam pelaksanaan program MBG. Konsep ini dipandang sebagai fondasi penting untuk memberikan perlindungan konsumen.
Menutunya, konsep halal bukan hanya tentang label semata. Lebih dari itu, sertifikasi halal adalah jaminan bahwa dapur dan sarana produksi makanan berjalan dengan standar kebersihan, higienitas, serta keamanan yang tinggi.
“Substansi produk halal adalah makanan yang dibuat dari bahan-bahan halal, fasilitas, personel, dan prosesnya terbebas dari kontaminasi bahan haram maupun najis. Dengan begitu, aspek thayyiban seperti food safety, food hygiene, dan kandungan gizi juga ikut terjamin,” tambahnya.
Djusmaidar pun mendorong perusahaan penyelenggara MBG perlu menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) yang mencakup pengawasan internal oleh penyelia halal.
Selain itu, penerapan standar keamanan pangan seperti Good Manufacturing Practice (GMP), Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), hingga program manajemen risiko juga mutlak diperlukan.
Semua itu perlu didukung dengan pengawasan bahan baku, sanitasi peralatan, pelatihan personel dapur, serta dokumentasi yang rapi untuk memastikan traceability berjalan optimal.
Dari pengalaman yang ada, kata para produsen harus sadar bahwa tanpa sistem kendali mutu dan pelacakan yang baik, risiko terulangnya masalah akan tetap ada.
Dokumentasi menyeluruh mulai dari catatan pembelian bahan, proses produksi, hingga distribusi makanan menjadi bukti penting untuk melacak sumber masalah dengan cepat.
Dari perspektif gizi, Djusmaidar juga menekankan pentingnya memperhatikan kualitas bahan baku dan cara pengolahan. Bahan segar, cara memasak yang tepat, hingga distribusi.
“Termasuk penggunaan wadah makanan/alat saji food grade adalah faktor utama untuk memastikan makanan tidak hanya halal, tetapi juga aman, bergizi, dan bermanfaat bagi kesehatan penerimanya,” ujar dia.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post