oleh :
Dr. J. Anhar Rabi Hamsah Tis’ah, M.Pd.
Pakar Linguistik Forensik Indonesia

_Makna Tiponomi dari Lakban Kuning di Kepala diplomat muda: sebagai Teks Non-verbal_
Jakarta, Kabariku – Lakban kuning yang dililitkan di kepala seorang diplomat muda bukanlah sekadar benda atau alat yang digunakan dalam tindakan kejahatan fisik, melainkan dapat dimaknai sebagai bentuk teks non-verbal yang sarat makna dalam perspektif tiponomi.
Dalam kajian tiponomi linguistik forensik, setiap bentuk ekspresi, baik verbal maupun non-verbal, dikategorikan sebagai teks yang memiliki struktur, fungsi, dan intensi komunikasi tertentu.
Lakban kuning dalam konteks ini membentuk sebuah teks performatif ekstrem, yaitu tindakan yang menyampaikan pesan tertentu melalui simbol fisik tanpa harus menggunakan bahasa lisan atau tulisan.
Pelilitan lakban di kepala korban bukan hanya membungkam secara harfiah, tetapi menyampaikan pesan diam yang sangat kuat: dominasi, intimidasi, dan pemutusan total terhadap kemampuan korban untuk berkomunikasi, berpikir, dan bernapas fungsi-fungsi dasar kemanusiaan.
Warna kuning dari lakban pun menambah dimensi makna dalam teks non-verbal ini. Dalam semiotika warna, kuning sering dikaitkan dengan tanda peringatan, bahaya, atau batasan.
Dalam konteks ini, penggunaan lakban kuning secara simbolik mengandung unsur ancaman dan penegasan kekuasaan.
Ia bukan hanya alat pembunuhan, tetapi sekaligus menjadi lambang peringatan terhadap siapa pun yang berani menentang, membocorkan informasi, atau mengungkap kebenaran.
Dari sudut pandang tipologi, tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai teks simbolik represif tindakan yang menyampaikan makna penaklukan terhadap suara, identitas, dan otoritas korban.
Dalam kasus seorang diplomat, simbol ini juga dapat dimaknai sebagai serangan terhadap institusi yang ia wakili, menjadikan tubuh korban sebagai media pesan untuk kelompok atau negara tertentu.
Lebih dalam, lakban yang membungkus kepala sepenuhnya juga menandakan pembatasan total terhadap fungsi-fungsi sensorik dan ekspresif: tidak hanya membungkam mulut, tetapi juga menutupi mata, telinga, bahkan rambut dan kulit kepala yang seringkali dianggap sebagai bagian dari identitas personal.
Dalam perspektif tiponomi multimodal, hal ini menunjukkan penghapusan identitas secara menyeluruh sebuah bentuk erasure act, di mana korban tidak hanya dibungkam, tetapi juga dihapuskan dari ruang komunikasi publik.
Ini adalah bentuk komunikasi ekstrem yang beroperasi dalam diam, namun memiliki dampak psikologis dan simbolik yang sangat dalam.
Dengan membaca lakban kuning sebagai teks non-verbal, kita dapat memahami bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari strategi komunikasi kekerasan. Dalam kerangka linguistik forensik, penyidik dapat menelusuri pesan implisit di balik bentuk, warna, dan penempatan objek tersebut.
Apakah tindakan ini spontan atau direncanakan? Apakah warna lakban dipilih secara acak atau mengandung pesan terstruktur? Tiponomi memberi kerangka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Maka, lakban kuning di kepala seorang diplomat muda tidak hanya menjadi bukti fisik, tetapi juga menjadi dokumen linguistik visual yang dapat dibaca untuk mengungkap motif pelaku, sasaran pesan, serta konteks kekuasaan di balik kejahatan yang dilakukan.

Kemungkinan Makna Simbolik dalam Tiponomi
Pembungkaman Paksa
Pembungkaman paksa merupakan bentuk tindakan represif yang dilakukan dengan tujuan untuk meniadakan suara, pendapat, atau akses seseorang terhadap kebebasan berekspresi.
Dalam konteks linguistik forensik dan tiponomi, pembungkaman paksa tidak hanya dipahami sebagai tindakan fisik, tetapi juga sebagai suatu bentuk komunikasi non-verbal yang penuh makna dan pesan tersembunyi.
Secara konseptual, pembungkaman adalah proses sistematis untuk menghentikan atau mengontrol aliran informasi dari individu kepada publik, baik melalui ancaman, sensor, kekerasan, maupun simbol-simbol tertentu.
Dalam banyak kasus kriminal, pembungkaman bukan sekadar alat untuk menghentikan komunikasi korban, tetapi juga dijadikan strategi untuk menyampaikan pesan intimidasi, dominasi, atau kontrol dari pelaku kepada pihak lain, baik secara personal maupun institusional.
Dalam perspektif tiponomi, pembungkaman paksa dapat diklasifikasikan sebagai bentuk teks performatif ekstrem yakni tindakan fisik yang dimaksudkan sebagai bentuk ujaran tidak langsung (indirect speech act).
Ketika seseorang dibungkam secara harfiah, seperti dilakban mulut atau kepalanya, tindakan itu menyampaikan makna implisit: “jangan bicara”, “diam atau kamu akan menerima nasib yang sama”, atau bahkan “kami berkuasa atas tubuh dan suara kalian”.
Lakban yang digunakan pada mulut, wajah, atau kepala dalam praktik pembungkaman, misalnya, merupakan artefak simbolik yang dapat dianalisis secara semiotik.
Warna lakban, lokasi penempelannya, hingga cara penggunaannya, semua memuat pesan komunikasi yang kuat. Bila digunakan dalam kasus pembunuhan terhadap seorang tokoh, seperti diplomat muda, maka pembungkaman tersebut mengandung muatan politis, psikologis, atau struktural yang kompleks.
Dalam konteks linguistik forensik, tindakan pembungkaman dapat dianalisis sebagai bagian dari proses eliminasi identitas linguistik korban.
Korban tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan kebenaran, melakukan pembelaan, atau mengutarakan niat dan motifnya.
Pembungkaman merampas hak seseorang untuk berbahasa, dan dengan demikian menghilangkan jejak linguistik yang mungkin menjadi alat bukti dalam proses penyidikan.
Namun justru di sinilah kekuatan linguistik forensik muncul: melalui analisis simbolik, narasi sebelumnya, serta jejak komunikasi verbal maupun non-verbal yang ditinggalkan sebelum korban dibungkam, penyidik dapat merekonstruksi makna tindakan tersebut.
Lebih jauh lagi, pembungkaman dalam masyarakat otoriter atau lingkungan yang penuh kontrol cenderung menjadi pola yang dilembagakan. Individu atau kelompok yang menyuarakan kebenaran dibungkam dengan berbagai cara: sensor media, penangkapan, atau bahkan eliminasi fisik. Dalam hal ini, pembungkaman menjadi bagian dari sistem komunikasi terstruktur yang mengandalkan kekerasan sebagai bahasa.
Oleh sebab itu, pendekatan tiponomi sangat penting untuk mengurai dimensi komunikasi dalam tindakan kekerasan. Tipologi teks yang muncul dari tindakan pembungkaman dapat membuka pintu pemahaman terhadap siapa pelaku, apa motifnya, serta kepada siapa pesan sebenarnya ditujukan.
Dengan demikian, pembungkaman paksa adalah bentuk komunikasi diam yang berbicara keras. Dalam dunia linguistik forensik, ia bukan sekadar hilangnya suara, tetapi sebuah teks diam yang dapat dibaca, dianalisis, dan pada akhirnya dibongkar.
Pesan Intimidatif dan Representatif
Pesan intimidatif dan representatif merupakan bentuk komunikasi yang memiliki muatan tekanan psikologis, ancaman tersirat, dan simbol kekuasaan yang digunakan untuk mengontrol, menakut-nakuti, atau mendominasi pihak lain.
Dalam konteks linguistik forensik dan tiponomi, pesan ini tidak selalu hadir dalam bentuk ujaran langsung, tetapi bisa muncul melalui simbol, tindakan, atau artefak non-verbal yang mengandung makna tertentu.
Pesan intimidatif adalah komunikasi yang dirancang untuk menanamkan rasa takut, sedangkan pesan representatif adalah bentuk penyampaian yang merepresentasikan kekuasaan, keberadaan, atau kendali suatu pihak atas pihak lain.
Dalam dunia kriminal, keduanya sering menyatu sebagai strategi pelaku untuk menunjukkan superioritas sekaligus memperingatkan pihak lain agar tidak melawan atau membocorkan rahasia tertentu.
Dalam kerangka tiponomi, pesan intimidatif dan representatif dapat diklasifikasikan ke dalam kategori teks simbolik kekuasaan teks yang tidak disampaikan secara verbal namun memiliki fungsi komunikatif yang sangat kuat.
Contoh dari pesan ini bisa berupa benda-benda yang ditinggalkan di TKP, posisi tubuh korban, penggunaan warna atau benda tertentu, serta pola kekerasan yang dilakukan secara sadar.
Misalnya, penggunaan lakban kuning yang dililitkan di kepala korban bukan hanya membungkam secara fisik, tetapi menjadi representasi dari kekuasaan pelaku atas korban.
Lakban tersebut menjadi simbol kendali dan peringatan, menyampaikan pesan bahwa pelaku memiliki kuasa penuh atas tubuh dan suara korban. Dalam konteks ini, pesan intimidatif bekerja melalui efek visual dan interpretasi sosial yang muncul dari tindakan tersebut.
Pesan representatif juga bisa hadir dalam bentuk tindakan berulang atau pola yang mencerminkan identitas pelaku, afiliasi kelompok, atau pesan politik.
Ketika tindakan kekerasan diatur dengan cara tertentu yang tidak biasa misalnya korban ditemukan dalam posisi tertentu, atau terdapat simbol khusus di tubuhnya hal itu bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari pesan yang ingin dikomunikasikan kepada pihak tertentu, seperti keluarga korban, instansi tempatnya bekerja, atau bahkan masyarakat luas.
Dalam hal ini, tindakan kriminal berubah menjadi media komunikasi. Pelaku tidak hanya ingin menyakiti korban, tetapi juga menyampaikan “siapa mereka”, “apa yang mereka bisa lakukan”, dan “apa akibatnya jika melawan”.
Linguistik forensik melalui pendekatan tiponomi memungkinkan penyidik untuk membaca pesan-pesan ini secara sistematis. Setiap elemen dalam TKP dapat dikategorikan sebagai tipe teks tertentu apakah itu intimidatif, representatif, manipulatif, atau simbolik.
Dengan memahami tipe komunikasi tersebut, aparat hukum tidak hanya dapat mengungkap siapa pelaku, tetapi juga motif dan tujuan komunikasi di balik tindak kejahatan.
Pesan intimidatif dan representatif tidak boleh dipandang sebagai sekadar tindakan emosional spontan, tetapi sebagai bentuk ujaran kompleks yang sengaja dirancang dan dikomunikasikan melalui kekerasan atau simbol.
Oleh karena itu, membaca kejahatan sebagai teks, dan memahami jenis pesan di dalamnya, menjadi salah satu kunci penting dalam pengungkapan kasus kriminal yang bersifat simbolik dan terencana.

Tipologi Teks Performatif (Act of Violence as Message)
Tipologi teks performatif dalam konteks linguistik forensik merujuk pada tindakan yang tidak hanya berfungsi sebagai peristiwa fisik, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi atau speech act yang menyampaikan pesan tertentu.
Dalam kasus kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, atau pembungkaman, tindakan pelaku sering kali tidak semata-mata dimotivasi oleh dorongan emosional atau dorongan biologis, melainkan menjadi suatu bentuk “ujaran” yang diwujudkan melalui tindakan fisik.
Inilah yang disebut sebagai act of violence as message tindakan kekerasan yang diposisikan sebagai teks performatif: ia tidak hanya melukai atau membunuh, tetapi juga mengucapkan sesuatu.
Dalam pendekatan tiponomi, tindakan seperti ini masuk dalam kategori teks performatif ekstrem, yakni teks yang diciptakan oleh tindakan nyata, bukan oleh kata-kata tertulis atau lisan, namun tetap memiliki intensi dan efek komunikatif.
Konsep ini merujuk pada teori tindak tutur (speech acts theory) dari Austin dan Searle, di mana suatu ujaran tidak hanya menyampaikan informasi (lokusi), tetapi juga melakukan tindakan (ilokusi dan perlokusi).
Dalam konteks forensik, tindakan seperti membungkam korban dengan lakban, menempatkan tubuh dalam posisi tertentu, atau meninggalkan simbol tertentu di TKP, bukan hanya perbuatan kriminal biasa.
Ini adalah bentuk tindakan yang “berkata”: tindakan tersebut bermakna dan dimaksudkan untuk dikomunikasikan kepada audiens tertentu. Audiensnya bisa korban sebelum meninggal, pihak keluarga, instansi tempat korban bekerja, atau bahkan masyarakat luas.
Dalam hal ini, pelaku tidak hanya melakukan kekerasan, tetapi juga menulis “pesan” melalui tindakannya.
Teks performatif ekstrem ini sering kali menyertakan unsur simbolik, seperti warna, bentuk alat kekerasan, lokasi kejadian, hingga pengulangan pola.
Misalnya, dalam kasus seorang diplomat muda yang dibunuh dengan lakban kuning melilit seluruh kepala, tindakan tersebut dapat dibaca sebagai teks yang menyampaikan pesan pembungkaman, penaklukan, dan penghapusan identitas secara total.
Ini bukan sekadar tindakan pembunuhan, melainkan pernyataan visual yang kuat: “korban ini telah dibungkam secara total, dan kalian berikutnya”.
Dalam konteks ini, kekerasan menjadi bahasa. Tubuh korban menjadi media, dan tindakan pelaku menjadi kalimat yang dibaca dalam bentuk luka, ikatan, dan posisi.
Tipologi teks performatif dalam kekerasan mengubah cara pandang penyidik terhadap kejahatan. Tidak cukup hanya melihat siapa pelakunya, tetapi juga harus ditelusuri apa pesan yang sedang dikirim.
Tindakan tersebut harus diklasifikasikan: apakah mengandung pesan intimidatif, simbolik, politis, atau pribadi?
Dengan menggunakan pendekatan tiponomi, setiap tindakan kekerasan dapat dikategorikan ke dalam tipe teks tertentu yang menunjukkan niat komunikatif di baliknya.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus kriminal berat, teks performatif harus dianalisis secara linguistik dan semiotik, karena di balik darah dan luka, ada pesan yang sedang dibisikkan oleh pelaku melalui tindakan diam yang berbicara.
Interpretasi Tiponomi Kombinasi Mode dalam Analisis Linguistik Forensik
Interpretasi tiponomi melalui kombinasi mode merupakan pendekatan yang memandang setiap tindakan atau artefak dalam kasus kriminal sebagai bagian dari teks multimodal, yang menggabungkan berbagai mode komunikasi, baik verbal maupun non-verbal.
Dalam konteks linguistik forensik, pendekatan ini sangat penting untuk membaca makna tersembunyi di balik tindakan kejahatan, simbol, benda, posisi tubuh, maupun visualisasi yang ditinggalkan oleh pelaku di tempat kejadian perkara (TKP).
Kombinasi mode merujuk pada penggunaan lebih dari satu jenis sistem semiotic misalnya, teks tertulis, warna, gerakan, posisi tubuh, suara, dan objek fisik yang secara bersamaan menciptakan satu kesatuan pesan atau teks yang utuh.
Dalam pendekatan tiponomi, semua unsur ini dianalisis sebagai bentuk komunikasi yang memiliki fungsi sosial, makna representatif, dan potensi ilokusi atau performatif.
Sebagai contoh, dalam kasus kematian seorang diplomat muda dengan kepala yang dililit lakban kuning, terdapat kombinasi beberapa mode komunikasi yang dapat diinterpretasi secara tiponomik.
Pertama adalah mode visual, yang terlihat dari warna kuning pada lakban, posisi lakban di kepala, dan kemungkinan posisi tubuh korban saat ditemukan.
Warna kuning secara kultural dan semiotik sering diasosiasikan dengan bahaya, peringatan, atau perintah untuk berhati-hati.
Ketika warna ini digunakan dalam konteks kekerasan ekstrem, ia tidak hanya berfungsi sebagai alat teknis (untuk menutup mulut atau menahan gerakan), tetapi juga sebagai penanda simbolik: pelaku ingin memberikan peringatan atau menyampaikan pesan tekanan terhadap pihak lain.
Kedua adalah mode tindakan atau kinestetik, yaitu tindakan fisik melilitkan lakban di kepala yang menyiratkan pembungkaman total. Tindakan ini menyampaikan makna performatif, yaitu meniadakan suara korban secara literal dan simbolik.
Ketiga adalah mode tekstual atau naratif, yang dapat berasal dari catatan, pesan singkat, atau komunikasi digital sebelum korban ditemukan. Jika pesan tersebut menunjukkan perubahan gaya bahasa atau tanda-tanda ancaman, maka kombinasi antara pesan verbal dan tindakan fisik di TKP menunjukkan kesinambungan pesan yang dimulai secara verbal dan diakhiri secara fisik.
Keempat, ada mode spasial, yakni lokasi kejadian, penempatan tubuh korban, atau objek lain di sekitarnya. Semua ini menyatu menjadi teks multimodal yang harus dibaca tidak secara terpisah, melainkan sebagai kesatuan tipologis.
Interpretasi tiponomi melalui kombinasi mode memberikan pandangan bahwa pelaku tidak hanya bertindak untuk menyakiti, tetapi juga untuk “berkata” melalui kekerasan.
Setiap mode yang digunakan warna, posisi, tindakan, simbol, maupun teks menyampaikan bagian dari pesan utuh yang ingin dikomunikasikan.
Oleh karena itu, dalam linguistik forensik, pendekatan ini sangat relevan untuk membongkar motif, tujuan, dan struktur komunikasi tersembunyi dari tindakan kriminal.
Membaca kekerasan sebagai teks melalui kombinasi mode membuka jalan bagi pengungkapan lebih dalam terhadap pelaku, konteks, dan pesan yang tersembunyi di balik diamnya tubuh korban.
Jika Korban Melakukan Bunuh Diri
Jika dalam suatu kasus forensik ditemukan indikasi bahwa korban melakukan bunuh diri, maka pendekatan tiponomi dalam linguistik forensik tetap relevan untuk digunakan, namun dengan perspektif yang berbeda dari kasus kekerasan oleh pihak ketiga.
Tiponomi tetap bekerja dengan mengklasifikasikan dan menginterpretasi jenis-jenis komunikasi yang muncul baik dalam bentuk verbal, tulisan, simbol, maupun tindakan non-verbal untuk memahami intensi dan makna di balik tindakan korban.
Dalam hal ini, tindakan bunuh diri dapat dibaca sebagai teks performatif individual, di mana korban menyampaikan pesan terakhir melalui tindakan ekstrem terhadap dirinya sendiri.
Pesan tersebut bisa bersifat personal, protes, penolakan terhadap suatu kondisi, atau bahkan tuduhan implisit terhadap pihak tertentu yang mendorong korban mengambil keputusan tragis tersebut.
Dari sudut pandang tiponomik, bunuh diri bukanlah akhir dari komunikasi, melainkan puncak dari suatu narasi personal yang diwujudkan dalam bentuk non-verbal.
Segala sesuatu yang ditinggalkan korban surat wasiat, pesan digital, benda-benda yang diatur secara khusus, cara kematian, hingga lokasi bunuh diri dapat dianalisis sebagai bagian dari teks multimodal.
Misalnya, jika korban memilih untuk menutup wajah dengan lakban, atau menempatkan dirinya di lokasi yang mencolok, maka tindakan tersebut bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga bentuk ujaran diam.
Dalam kerangka linguistik forensik, setiap elemen ini dapat diklasifikasikan sebagai tipe teks tertentu: representatif (menyampaikan identitas atau kondisi mental), ekspresif (menyampaikan rasa sakit, kecewa, atau keputusasaan), atau direktif (menyampaikan pesan atau tudingan kepada orang lain).
Selain itu, bunuh diri dapat dibaca sebagai tindakan simbolik yang mengandung struktur naratif.
Korban mungkin telah menyusun alur teks sejak lama, dari perubahan pola komunikasi, isyarat linguistik yang menunjukkan depresi atau tekanan psikologis, hingga penghapusan identitas secara bertahap dalam media sosial atau interaksi verbal.
Melalui tiponomi, penyidik dapat mengelompokkan jenis-jenis pesan ini dan mengaitkannya dengan motif atau pemicu tindakan bunuh diri.
Ini sangat penting untuk membedakan antara bunuh diri yang murni berasal dari keputusan pribadi dengan tindakan bunuh diri yang dipicu oleh tekanan, ancaman, manipulasi, atau bahkan rekayasa pihak ketiga.
Dengan demikian, dalam kasus bunuh diri, tiponomi forensik tidak mencari pelaku secara langsung, melainkan fokus pada struktur komunikasi yang berlangsung sebelum kematian. Ia mencoba memahami “pesan terakhir” korban, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Hal ini juga berguna untuk mengungkap apakah tindakan tersebut adalah bunuh diri murni, bunuh diri yang dimanipulasi, atau bahkan pembunuhan yang direkayasa menyerupai bunuh diri.
Oleh karena itu, meskipun pelakunya mungkin adalah korban itu sendiri, tiponomi tetap memainkan peran penting dalam membaca teks akhir dari kehidupan seseorang sebagai bagian dari narasi forensik yang kompleks dan bermakna.
Kesimpulan
Tiponomi dalam linguistik forensik merupakan pendekatan yang memberikan ruang baru bagi analisis kejahatan sebagai bentuk komunikasi yang kompleks.
Melalui klasifikasi berbagai jenis teks baik verbal, non-verbal, visual, simbolik, maupun tindakan fisik tiponomi mampu mengungkap pesan-pesan tersembunyi yang termuat dalam struktur peristiwa kriminal.
Tidak hanya terbatas pada teks tertulis, tiponomi membaca kekerasan sebagai “teks diam” yang sarat makna, mencakup tindakan represif, intimidatif, dan performatif yang dilakukan oleh pelaku sebagai bentuk ujaran simbolik.
Dengan kerangka analisis multimodal, setiap elemen yang tampak warna, posisi, benda, luka, hingga ruang dipahami sebagai bagian dari sistem tanda yang menyampaikan intensi, motif, dan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Dalam kasus kematian diplomat muda yang ditemukan dengan kepala dililit lakban kuning, pendekatan tiponomik mengubah sudut pandang penyidikan.
Lakban kuning bukan hanya alat teknis, melainkan “teks simbolik represif” yang menyampaikan pesan pembungkaman, dominasi, dan penghapusan identitas. Warna kuning sebagai simbol peringatan, serta pelilitannya yang menutupi fungsi-fungsi ekspresif kepala, menjadi penanda komunikasi diam yang menggantikan ujaran verbal.
Hal ini memperlihatkan bagaimana tindakan kekerasan dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan politik, psikologis, maupun personal.
Ketika tindakan tersebut diinterpretasikan melalui kombinasi mode (visual, kinestetik, spasial, dan tekstual), maka pesan yang awalnya tersembunyi mulai terbaca sebagai narasi sistematis yang dirancang untuk menakut-nakuti atau memperingatkan pihak lain.
Tiponomi juga berguna dalam kasus yang menunjukkan indikasi bunuh diri. Dalam hal ini, tindakan korban dibaca sebagai teks performatif individual yang menyampaikan pesan terakhir melalui simbol, benda, atau tindakan yang terstruktur.
Surat wasiat, benda yang ditinggalkan, hingga cara kematian menjadi bagian dari teks ekspresif, representatif, atau bahkan direktif, yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tiponomi membantu membedakan apakah tindakan itu murni berasal dari keinginan korban, atau merupakan hasil manipulasi, tekanan psikologis, atau bahkan rekayasa pihak ketiga.
Dengan demikian, analisis tiponomik tidak hanya membantu menjawab “siapa pelaku”, tetapi juga mengungkap “apa yang sedang dikatakan”, dan “kepada siapa pesan itu ditujukan”.
Akhirnya, kekuatan utama tiponomi dalam linguistik forensik terletak pada kemampuannya membaca apa yang tak dikatakan secara langsung. Ia mengajarkan bahwa kekerasan, keheningan, dan simbol-simbol diam bukanlah kebetulan, melainkan bentuk ujaran yang dapat didekonstruksi, diklasifikasi, dan dimaknai.
Tiponomi menjembatani antara tubuh dan bahasa, antara tindakan dan makna, dan antara kejahatan dan komunikasi.
Dalam dunia forensik modern yang sarat simbol dan pesan diam, pendekatan ini menjadi alat penting untuk membuka lapisan-lapisan pesan yang tersembunyi di balik tindakan kriminal yang tampak sunyi namun sesungguhnya penuh ujaran.*
Jakarta, 23 Juli 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post