• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Jumat, Juli 25, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
Home Hukum

Membaca Kekerasan sebagai Teks: Kajian Tiponomi dalam Linguistik Forensik pada Kasus Tewasnya Diplomat Muda

Tresyana Bulan oleh Tresyana Bulan
23 Juli 2025
di Hukum
A A
0
ShareSendShare ShareShare

oleh :
Dr. J. Anhar Rabi Hamsah Tis’ah, M.Pd.
Pakar Linguistik Forensik Indonesia

Advertisement. Scroll to continue reading.

_Makna Tiponomi dari Lakban Kuning di Kepala diplomat muda: sebagai Teks Non-verbal_

RelatedPosts

Kasus Kredit PT Sritex: Berikut Ini Peran dan Identitas Tujuh Pejabat Bank Daerah yang Terlibat

Divonis 4,5 Tahun Penjara, Tom Lembong Klaim Tak Punya Niat Jahat dalam Kasus Korupsi Gula

Forum Dosen Hukum Pidana Menggugat RKUHAP 2025 dan Antiklimaks Reformasi Hukum Pidana

Jakarta, Kabariku – Lakban kuning yang dililitkan di kepala seorang diplomat muda bukanlah sekadar benda atau alat yang digunakan dalam tindakan kejahatan fisik, melainkan dapat dimaknai sebagai bentuk teks non-verbal yang sarat makna dalam perspektif tiponomi.

Dalam kajian tiponomi linguistik forensik, setiap bentuk ekspresi, baik verbal maupun non-verbal, dikategorikan sebagai teks yang memiliki struktur, fungsi, dan intensi komunikasi tertentu.

Lakban kuning dalam konteks ini membentuk sebuah teks performatif ekstrem, yaitu tindakan yang menyampaikan pesan tertentu melalui simbol fisik tanpa harus menggunakan bahasa lisan atau tulisan.

Pelilitan lakban di kepala korban bukan hanya membungkam secara harfiah, tetapi menyampaikan pesan diam yang sangat kuat: dominasi, intimidasi, dan pemutusan total terhadap kemampuan korban untuk berkomunikasi, berpikir, dan bernapas fungsi-fungsi dasar kemanusiaan.

Warna kuning dari lakban pun menambah dimensi makna dalam teks non-verbal ini. Dalam semiotika warna, kuning sering dikaitkan dengan tanda peringatan, bahaya, atau batasan.

Dalam konteks ini, penggunaan lakban kuning secara simbolik mengandung unsur ancaman dan penegasan kekuasaan. Ia bukan hanya alat pembunuhan, tetapi sekaligus menjadi lambang peringatan terhadap siapa pun yang berani menentang, membocorkan informasi, atau mengungkap kebenaran.

Dari sudut pandang tipologi, tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai teks simbolik represif tindakan yang menyampaikan makna penaklukan terhadap suara, identitas, dan otoritas korban.

Dalam kasus seorang diplomat, simbol ini juga dapat dimaknai sebagai serangan terhadap institusi yang ia wakili, menjadikan tubuh korban sebagai media pesan untuk kelompok atau negara tertentu.

Lebih dalam, lakban yang membungkus kepala sepenuhnya juga menandakan pembatasan total terhadap fungsi-fungsi sensorik dan ekspresif: tidak hanya membungkam mulut, tetapi juga menutupi mata, telinga, bahkan rambut dan kulit kepala yang seringkali dianggap sebagai bagian dari identitas personal.

Dalam perspektif tiponomi multimodal, hal ini menunjukkan penghapusan identitas secara menyeluruh sebuah bentuk erasure act, dimana korban tidak hanya dibungkam, tetapi juga dihapuskan dari ruang komunikasi publik.

Ini adalah bentuk komunikasi ekstrem yang beroperasi dalam diam, namun memiliki dampak psikologis dan simbolik yang sangat dalam.

Dengan membaca lakban kuning sebagai teks non-verbal, kita dapat memahami bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari strategi komunikasi kekerasan.

Dalam kerangka linguistik forensik, penyidik dapat menelusuri pesan implisit di balik bentuk, warna, dan penempatan objek tersebut.

Apakah tindakan ini spontan atau direncanakan? Apakah warna lakban dipilih secara acak atau mengandung pesan terstruktur? Tiponomi memberi kerangka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Maka, lakban kuning di kepala seorang diplomat muda tidak hanya menjadi bukti fisik, tetapi juga menjadi dokumen linguistik visual yang dapat dibaca untuk mengungkap motif pelaku, sasaran pesan, serta konteks kekuasaan di balik kejahatan yang dilakukan.

Kemungkinan Makna Simbolik dalam Tiponomi

Pembungkaman Paksa

Pembungkaman paksa merupakan bentuk tindakan represif yang dilakukan dengan tujuan untuk meniadakan suara, pendapat, atau akses seseorang terhadap kebebasan berekspresi.

Dalam konteks linguistik forensik dan tiponomi, pembungkaman paksa tidak hanya dipahami sebagai tindakan fisik, tetapi juga sebagai suatu bentuk komunikasi non-verbal yang penuh makna dan pesan tersembunyi.

Secara konseptual, pembungkaman adalah proses sistematis untuk menghentikan atau mengontrol aliran informasi dari individu kepada publik, baik melalui ancaman, sensor, kekerasan, maupun simbol-simbol tertentu.

Dalam banyak kasus kriminal, pembungkaman bukan sekadar alat untuk menghentikan komunikasi korban, tetapi juga dijadikan strategi untuk menyampaikan pesan intimidasi, dominasi, atau kontrol dari pelaku kepada pihak lain, baik secara personal maupun institusional.

Dalam perspektif tiponomi, pembungkaman paksa dapat diklasifikasikan sebagai bentuk teks performatif ekstrem yakni tindakan fisik yang dimaksudkan sebagai bentuk ujaran tidak langsung (indirect speech act).

Ketika seseorang dibungkam secara harfiah, seperti dilakban mulut atau kepalanya, tindakan itu menyampaikan makna implisit: “jangan bicara”, “diam atau kamu akan menerima nasib yang sama”, atau bahkan “kami berkuasa atas tubuh dan suara kalian”.

Baca Juga  Menggali Dasar Hukum Final dan Mengikat Pada Putusan Mahkamah Konstitusi

Lakban yang digunakan pada mulut, wajah, atau kepala dalam praktik pembungkaman, misalnya, merupakan artefak simbolik yang dapat dianalisis secara semiotik.

Warna lakban, lokasi penempelannya, hingga cara penggunaannya, semua memuat pesan komunikasi yang kuat.

Bila digunakan dalam kasus pembunuhan terhadap seorang tokoh, seperti diplomat muda, maka pembungkaman tersebut mengandung muatan politis, psikologis, atau struktural yang kompleks.

Dalam konteks linguistik forensik, tindakan pembungkaman dapat dianalisis sebagai bagian dari proses eliminasi identitas linguistik korban.

Korban tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan kebenaran, melakukan pembelaan, atau mengutarakan niat dan motifnya.

Pembungkaman merampas hak seseorang untuk berbahasa, dan dengan demikian menghilangkan jejak linguistik yang mungkin menjadi alat bukti dalam proses penyidikan.

Namun justru di sinilah kekuatan linguistik forensik muncul: melalui analisis simbolik, narasi sebelumnya, serta jejak komunikasi verbal maupun non-verbal yang ditinggalkan sebelum korban dibungkam, penyidik dapat merekonstruksi makna tindakan tersebut.

Lebih jauh lagi, pembungkaman dalam masyarakat otoriter atau lingkungan yang penuh kontrol cenderung menjadi pola yang dilembagakan.

Individu atau kelompok yang menyuarakan kebenaran dibungkam dengan berbagai cara: sensor media, penangkapan, atau bahkan eliminasi fisik. Dalam hal ini, pembungkaman menjadi bagian dari sistem komunikasi terstruktur yang mengandalkan kekerasan sebagai bahasa.

Oleh sebab itu, pendekatan tiponomi sangat penting untuk mengurai dimensi komunikasi dalam tindakan kekerasan.

Tipologi teks yang muncul dari tindakan pembungkaman dapat membuka pintu pemahaman terhadap siapa pelaku, apa motifnya, serta kepada siapa pesan sebenarnya ditujukan.

Dengan demikian, pembungkaman paksa adalah bentuk komunikasi diam yang berbicara keras.

Dalam dunia linguistik forensik, ia bukan sekadar hilangnya suara, tetapi sebuah teks diam yang dapat dibaca, dianalisis, dan pada akhirnya dibongkar.

Pesan Intimidatif dan Representatif

Pesan intimidatif dan representatif merupakan bentuk komunikasi yang memiliki muatan tekanan psikologis, ancaman tersirat, dan simbol kekuasaan yang digunakan untuk mengontrol, menakut-nakuti, atau mendominasi pihak lain.

Dalam konteks linguistik forensik dan tiponomi, pesan ini tidak selalu hadir dalam bentuk ujaran langsung, tetapi bisa muncul melalui simbol, tindakan, atau artefak non-verbal yang mengandung makna tertentu.

Pesan intimidatif adalah komunikasi yang dirancang untuk menanamkan rasa takut, sedangkan pesan representatif adalah bentuk penyampaian yang merepresentasikan kekuasaan, keberadaan, atau kendali suatu pihak atas pihak lain.

Dalam dunia kriminal, keduanya sering menyatu sebagai strategi pelaku untuk menunjukkan superioritas sekaligus memperingatkan pihak lain agar tidak melawan atau membocorkan rahasia tertentu.

Dalam kerangka tiponomi, pesan intimidatif dan representatif dapat diklasifikasikan ke dalam kategori teks simbolik kekuasaan teks yang tidak disampaikan secara verbal namun memiliki fungsi komunikatif yang sangat kuat.

Contoh dari pesan ini bisa berupa benda-benda yang ditinggalkan di TKP, posisi tubuh korban, penggunaan warna atau benda tertentu, serta pola kekerasan yang dilakukan secara sadar.

Misalnya, penggunaan lakban kuning yang dililitkan di kepala korban bukan hanya membungkam secara fisik, tetapi menjadi representasi dari kekuasaan pelaku atas korban.

Lakban tersebut menjadi simbol kendali dan peringatan, menyampaikan pesan bahwa pelaku memiliki kuasa penuh atas tubuh dan suara korban.

Dalam konteks ini, pesan intimidatif bekerja melalui efek visual dan interpretasi sosial yang muncul dari tindakan tersebut.

Pesan representatif juga bisa hadir dalam bentuk tindakan berulang atau pola yang mencerminkan identitas pelaku, afiliasi kelompok, atau pesan politik.

Ketika tindakan kekerasan diatur dengan cara tertentu yang tidak biasa misalnya korban ditemukan dalam posisi tertentu, atau terdapat simbol khusus di tubuhnya hal itu bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari pesan yang ingin dikomunikasikan kepada pihak tertentu, seperti keluarga korban, instansi tempatnya bekerja, atau bahkan masyarakat luas.

Dalam hal ini, tindakan kriminal berubah menjadi media komunikasi. Pelaku tidak hanya ingin menyakiti korban, tetapi juga menyampaikan “siapa mereka”, “apa yang mereka bisa lakukan”, dan “apa akibatnya jika melawan”.

Linguistik forensik melalui pendekatan tiponomi memungkinkan penyidik untuk membaca pesan-pesan ini secara sistematis.

Setiap elemen dalam TKP dapat dikategorikan sebagai tipe teks tertentu apakah itu intimidatif, representatif, manipulatif, atau simbolik.

Dengan memahami tipe komunikasi tersebut, aparat hukum tidak hanya dapat mengungkap siapa pelaku, tetapi juga motif dan tujuan komunikasi di balik tindak kejahatan.

Pesan intimidatif dan representatif tidak boleh dipandang sebagai sekadar tindakan emosional spontan, tetapi sebagai bentuk ujaran kompleks yang sengaja dirancang dan dikomunikasikan melalui kekerasan atau simbol.

Baca Juga  Pengusutan Meninggalnya Dua Bobotoh PERSIB di Piala Presiden. Berikut Komentar IPW

Oleh karena itu, membaca kejahatan sebagai teks, dan memahami jenis pesan di dalamnya, menjadi salah satu kunci penting dalam pengungkapan kasus kriminal yang bersifat simbolik dan terencana.

Tipologi Teks Performatif (Act of Violence as Message)

Tipologi teks performatif dalam konteks linguistik forensik merujuk pada tindakan yang tidak hanya berfungsi sebagai peristiwa fisik, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi atau speech act yang menyampaikan pesan tertentu.

Dalam kasus kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, atau pembungkaman, tindakan pelaku sering kali tidak semata-mata dimotivasi oleh dorongan emosional atau dorongan biologis, melainkan menjadi suatu bentuk “ujaran” yang diwujudkan melalui tindakan fisik.

Inilah yang disebut sebagai act of violence as message tindakan kekerasan yang diposisikan sebagai teks performatif: ia tidak hanya melukai atau membunuh, tetapi juga mengucapkan sesuatu.

Dalam pendekatan tiponomi, tindakan seperti ini masuk dalam kategori teks performatif ekstrem, yakni teks yang diciptakan oleh tindakan nyata, bukan oleh kata-kata tertulis atau lisan, namun tetap memiliki intensi dan efek komunikatif.

Konsep ini merujuk pada teori tindak tutur (speech acts theory) dari Austin dan Searle, dimana suatu ujaran tidak hanya menyampaikan informasi (lokusi), tetapi juga melakukan tindakan (ilokusi dan perlokusi).

Dalam konteks forensik, tindakan seperti membungkam korban dengan lakban, menempatkan tubuh dalam posisi tertentu, atau meninggalkan simbol tertentu di TKP, bukan hanya perbuatan kriminal biasa. Ini adalah bentuk tindakan yang “berkata”: tindakan tersebut bermakna dan dimaksudkan untuk dikomunikasikan kepada audiens tertentu.

Audiensnya bisa korban sebelum meninggal, pihak keluarga, instansi tempat korban bekerja, atau bahkan masyarakat luas.

Dalam hal ini, pelaku tidak hanya melakukan kekerasan, tetapi juga menulis “pesan” melalui tindakannya.

Teks performatif ekstrem ini sering kali menyertakan unsur simbolik, seperti warna, bentuk alat kekerasan, lokasi kejadian, hingga pengulangan pola.

Misalnya, dalam kasus seorang diplomat muda yang dibunuh dengan lakban kuning melilit seluruh kepala, tindakan tersebut dapat dibaca sebagai teks yang menyampaikan pesan pembungkaman, penaklukan, dan penghapusan identitas secara total.

Ini bukan sekadar tindakan pembunuhan, melainkan pernyataan visual yang kuat: “korban ini telah dibungkam secara total, dan kalian berikutnya”.

Dalam konteks ini, kekerasan menjadi bahasa. Tubuh korban menjadi media, dan tindakan pelaku menjadi kalimat yang dibaca dalam bentuk luka, ikatan, dan posisi.

Tipologi teks performatif dalam kekerasan mengubah cara pandang penyidik terhadap kejahatan. Tidak cukup hanya melihat siapa pelakunya, tetapi juga harus ditelusuri apa pesan yang sedang dikirim.

Tindakan tersebut harus diklasifikasikan: apakah mengandung pesan intimidatif, simbolik, politis, atau pribadi? Dengan menggunakan pendekatan tiponomi, setiap tindakan kekerasan dapat dikategorikan ke dalam tipe teks tertentu yang menunjukkan niat komunikatif di baliknya.

Oleh karena itu, dalam kasus-kasus kriminal berat, teks performatif harus dianalisis secara linguistik dan semiotik, karena di balik darah dan luka, ada pesan yang sedang dibisikkan oleh pelaku melalui tindakan diam yang berbicara.

Interpretasi Tiponomi Kombinasi Mode dalam Analisis Linguistik Forensik

Interpretasi tiponomi melalui kombinasi mode merupakan pendekatan yang memandang setiap tindakan atau artefak dalam kasus kriminal sebagai bagian dari teks multimodal, yang menggabungkan berbagai mode komunikasi, baik verbal maupun non-verbal.

Dalam konteks linguistik forensik, pendekatan ini sangat penting untuk membaca makna tersembunyi di balik tindakan kejahatan, simbol, benda, posisi tubuh, maupun visualisasi yang ditinggalkan oleh pelaku di tempat kejadian perkara (TKP).

Kombinasi mode merujuk pada penggunaan lebih dari satu jenis sistem semiotic misalnya, teks tertulis, warna, gerakan, posisi tubuh, suara, dan objek fisik yang secara bersamaan menciptakan satu kesatuan pesan atau teks yang utuh.

Dalam pendekatan tiponomi, semua unsur ini dianalisis sebagai bentuk komunikasi yang memiliki fungsi sosial, makna representatif, dan potensi ilokusi atau performatif.

Sebagai contoh, dalam kasus kematian seorang diplomat muda dengan kepala yang dililit lakban kuning, terdapat kombinasi beberapa mode komunikasi yang dapat diinterpretasi secara tiponomik.

Pertama adalah mode visual, yang terlihat dari warna kuning pada lakban, posisi lakban di kepala, dan kemungkinan posisi tubuh korban saat ditemukan.

Warna kuning secara kultural dan semiotik sering diasosiasikan dengan bahaya, peringatan, atau perintah untuk berhati-hati.

Ketika warna ini digunakan dalam konteks kekerasan ekstrem, ia tidak hanya berfungsi sebagai alat teknis (untuk menutup mulut atau menahan gerakan), tetapi juga sebagai penanda simbolik: pelaku ingin memberikan peringatan atau menyampaikan pesan tekanan terhadap pihak lain.

Baca Juga  Ketua MA Syarifuddin Minta Tim Saber Pungli Pantau Semua Aparat Pengadilan di Tanah Air

Kedua adalah mode tindakan atau kinestetik, yaitu tindakan fisik melilitkan lakban di kepala yang menyiratkan pembungkaman total.

Tindakan ini menyampaikan makna performatif, yaitu meniadakan suara korban secara literal dan simbolik.

Ketiga adalah mode tekstual atau naratif, yang dapat berasal dari catatan, pesan singkat, atau komunikasi digital sebelum korban ditemukan.

Jika pesan tersebut menunjukkan perubahan gaya bahasa atau tanda-tanda ancaman, maka kombinasi antara pesan verbal dan tindakan fisik di TKP menunjukkan kesinambungan pesan yang dimulai secara verbal dan diakhiri secara fisik.

Keempat, ada mode spasial, yakni lokasi kejadian, penempatan tubuh korban, atau objek lain di sekitarnya.

Semua ini menyatu menjadi teks multimodal yang harus dibaca tidak secara terpisah, melainkan sebagai kesatuan tipologis.

Interpretasi tiponomi melalui kombinasi mode memberikan pandangan bahwa pelaku tidak hanya bertindak untuk menyakiti, tetapi juga untuk “berkata” melalui kekerasan.

Setiap mode yang digunakan warna, posisi, tindakan, simbol, maupun teks menyampaikan bagian dari pesan utuh yang ingin dikomunikasikan. Oleh karena itu, dalam linguistik forensik, pendekatan ini sangat relevan untuk membongkar motif, tujuan, dan struktur komunikasi tersembunyi dari tindakan kriminal.

Membaca kekerasan sebagai teks melalui kombinasi mode membuka jalan bagi pengungkapan lebih dalam terhadap pelaku, konteks, dan pesan yang tersembunyi di balik diamnya tubuh korban.

Kesimpulan

Tiponomi dalam linguistik forensik menawarkan pendekatan yang mendalam dalam membaca berbagai bentuk komunikasi baik verbal, non-verbal, maupun simbolik yang muncul dalam konteks kejahatan.

Melalui klasifikasi tipe-tipe teks dan kombinasi mode, tiponomi tidak hanya membantu menguraikan struktur bahasa, tetapi juga membedah makna di balik tindakan, benda, dan simbol yang digunakan dalam tindak kriminal.

Dalam banyak kasus, pelaku kejahatan tidak hanya meninggalkan jejak fisik, tetapi juga menyampaikan pesan melalui tindakan yang disengaja.

Tindakan tersebut, dalam kerangka tiponomik, dipahami sebagai bentuk teks performatif ekstrem, yaitu tindakan yang berfungsi sebagai pesan komunikasi terselubung.

Oleh karena itu, pembacaan tiponomi terhadap tindakan kriminal menjadi sangat penting untuk mengungkap lapisan-lapisan makna yang tersembunyi.

Kasus kematian diplomat muda dengan kepala dililit lakban kuning, misalnya, tidak bisa hanya dipahami sebagai kekerasan fisik biasa.

Dalam perspektif tiponomi, lakban kuning tersebut adalah bagian dari teks multimodal yang memuat pesan pembungkaman, peringatan, dan dominasi.

Warna kuning mengandung makna visual yang kuat sebagai simbol bahaya, sedangkan pelilitannya di kepala menandakan tindakan penghapusan terhadap suara, identitas, dan kesadaran korban.

Jika dihubungkan dengan pesan teks atau komunikasi digital sebelum kejadian, maka kombinasi antara teks verbal dan tindakan non-verbal membentuk satu struktur pesan yang utuh dan berlapis.

Di sinilah kekuatan tiponomi muncul kemampuannya untuk mengelompokkan, menghubungkan, dan menafsirkan berbagai jenis teks dalam satu kerangka analisis yang holistik.

Tiponomi juga memberi ruang bagi penyidik untuk membedakan antara teks manipulatif, teks intimidatif, hingga teks representatif. Setiap tipe teks memiliki struktur linguistik dan pragmatik tersendiri yang dapat dilacak dalam tindakan pelaku.

Teks manipulatif, misalnya, sering muncul dalam bentuk pesan palsu yang seolah berasal dari korban, sedangkan teks intimidatif bisa berbentuk benda atau tindakan yang dimaksudkan untuk menakuti pihak ketiga.

Dalam kerangka ini, tindakan pelaku menjadi semacam “pesan peringatan” kepada orang lain yang dianggap membahayakan atau melawan.

Oleh karena itu, tindakan kekerasan dapat dibaca bukan hanya sebagai ekspresi emosi, melainkan sebagai alat komunikasi yang dipilih secara sadar untuk menyampaikan pesan tertentu.

Kesimpulannya, tiponomi dalam linguistik forensik memungkinkan pendekatan baru dalam mengungkap makna tersembunyi dari tindakan kriminal.

Dengan melihat kekerasan sebagai teks, penyidik dapat mengidentifikasi tidak hanya siapa pelakunya, tetapi juga apa yang ingin ia komunikasikan melalui tindakan tersebut.

Pendekatan ini membuka ruang interpretasi yang luas terhadap benda, simbol, warna, posisi tubuh, dan segala bentuk ekspresi yang sebelumnya mungkin dianggap tidak bermakna.

Dalam dunia forensik yang semakin kompleks, kemampuan untuk membaca pesan diam, mengelompokkan tipe-tipe komunikasi, dan menganalisis kombinasi mode menjadi salah satu kunci penting dalam membongkar motif, jaringan, dan pola kejahatan yang tersembunyi.

Tiponomi, dengan demikian, menjembatani antara tindakan fisik dan bahasa, serta mengubah kekerasan menjadi teks yang bisa dibaca dan diurai secara ilmiah.*

Jakarta, 23 Juli 2025

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: Analisis Linguistik ForensikKajian TiponomiKasus Tewasnya Diplomat MudaLakban Kuning di Kepala diplomatPakar Linguistik Forensik IndonesiaPesan Intimidatif dan Representatif
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

Resmi Dirilis, Logo dan Tema HUT RI ke-80: Bersatu Berdaulat untuk Indonesia Maju

Post Selanjutnya

Kancil itu Bernama Sufmi Dasco, Sahabat Gajah

RelatedPosts

Para tersangka kasus kredit PT Sritek/Kejagung

Kasus Kredit PT Sritex: Berikut Ini Peran dan Identitas Tujuh Pejabat Bank Daerah yang Terlibat

22 Juli 2025
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong/Dok. Tom Lembong

Divonis 4,5 Tahun Penjara, Tom Lembong Klaim Tak Punya Niat Jahat dalam Kasus Korupsi Gula

19 Juli 2025

Forum Dosen Hukum Pidana Menggugat RKUHAP 2025 dan Antiklimaks Reformasi Hukum Pidana

19 Juli 2025

Pengadaan Chromebook Sudah Dirancang Sebelum Nadiem Resmi Jadi Menteri: Ini Kronologinya

16 Juli 2025
konferensi pers di Gedung Jampidsus, Jakarta, Selasa (15/7/2025)

Kejagung Tetapkan 4 Tersangka Korupsi Chromebook Kemendikbudristek, Negara Rugi Rp1,9 Triliun

16 Juli 2025

Eks CEO GoTo Andre Soelistyo Diperiksa Kejagung Soal Kasus Chromebook

14 Juli 2025
Post Selanjutnya

Kancil itu Bernama Sufmi Dasco, Sahabat Gajah

Ilustrasi gerhana total

Heboh Dunia Gelap Gulita pada 2 Agustus 2025 karena Gerhana Total, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Discussion about this post

KabarTerbaru

Ketua KPK, Komjen Pol. Drs. Setyo Budiyanto, SH., MH.

Mutasi jadi Pati Itwasum Jelang Purnatugas di Polri Tak Ganggu Posisi Setyo Budiyanto di KPK

25 Juli 2025
Ibu-ibu di Kota Palembang, Sumatera Selatan, mengenakan kebaya untuk merayakan Hari Kebaya Nasional 2025/ Dok Pemprov Sumatera Selatan

24 Juli Ditetapkan sebagai Hari Kebaya Nasional, Ini Ciri Khas Kebaya Indonesia dan Negara Tetangga

24 Juli 2025
Konferensi Pers Dittipideksus Bareskrim Polri terkait Pengungkapan Beras Tidak Sesuai Standar Mutu, Kamis 24 Juli 2025/Humas Polri

Tindaklanjuti Perintah Presiden, Bareskrim Sita 201 Ton Beras Oplosan, Sejumlah Produsen Digeledah

24 Juli 2025
Mantan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), bersiap menjalani pemeriksaan atas dugaan ijazah palsu di Polresta Solo.

Ijazah Asli SMA dan S1 Jokowi Disita, Yakup Hasibuan: Kini Resmi Jadi Alat Bukti

24 Juli 2025
Ilustrasi gerhana total

Heboh Dunia Gelap Gulita pada 2 Agustus 2025 karena Gerhana Total, Ini Penjelasan Ilmiahnya

24 Juli 2025

Kancil itu Bernama Sufmi Dasco, Sahabat Gajah

24 Juli 2025

Membaca Kekerasan sebagai Teks: Kajian Tiponomi dalam Linguistik Forensik pada Kasus Tewasnya Diplomat Muda

23 Juli 2025
Mensesneg Prasetyo Hadi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/7/2025)

Resmi Dirilis, Logo dan Tema HUT RI ke-80: Bersatu Berdaulat untuk Indonesia Maju

23 Juli 2025
Kiri: Logo HUT RI 88. Kanan: Bram Patria Yoshogi bersama istri Marvella.

Sosok Desainer Bandung Bram Patria, Pencipta Logo HUT RI ke-80 yang Resmi Diluncurkan Presiden Prabowo

23 Juli 2025

Kabar Terpopuler

  • Bu Guru Salsa yang viral, kini bahagia menjadi istri seorang PNS

    Bu Guru Salsa yang Viral karena Video Syur, Kini Bahagia Dinikahi Duda PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jejak Hashim Djojohadikusumo: Datang Saat Orang Lain Menjauh, Muncul Saat Harapan Menipis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tiga Poros Kekuasaan di Panggung Politik Solo: Prabowo, Gibran, dan Jokowi Hadir di Kongres Perdana PSI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jokowi Jalani Pemeriksaan Dugaan Ijazah Palsu di Polresta Solo,  Bawa Bukti Ijazah Asli dari SD hingga UGM

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • MK Putuskan Wamen Tak Bisa Rangkap Komisaris dan Jabatan di Organisasi APBN

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Romansa di Panggung Politik: Jejak Cinta Wabup Garut Putri Karlina dan Maula Akbar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prabowo Kenalkan “Serakahnomics”: Musuh Baru Ekonomi Kerakyatan dan Akar Masalah Beras Oplosan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
[sbtt-tiktok feed=1]
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.

Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.