Jakarta, Kabariku- Pandangan-pandangan kritis dan tajam terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Darurat Mafia dan Potensi Lahirnya Pemerintah Transisi, Rabu (15/3/2023) keamrin.
Diskusi yang digelar beberapa para aktivis nasional JALA, LeSPK Yogyakarta, dan FASI itu bertema Indonesia Darurat Mafia dan Potensi Lahirnya Pemerintah Transisi.
Diskusi digelar di Kedai Sinau, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan menghadirkan sejmlah pembicara di antaranya Eros Djarot, Anthony Budiawan, Indro Tjahoyono, dan Sugeng Teguh Santoso.
Benarkah Indonesia dalam kondisi darurat mafia?
Kasus mantan Kadipropam Polri Ferdy Sambo yang menyeret puluhan anggota polisi lainnya, kasus transaksisi mencurigakan Rp300 triliun yang melibatkan puluhan orang di lingkungan Kementerian Keuangan dan kasus, dan kasus rafael Alun Trismabodo, megesankan Indonesia memang dalam kondisi darurat mafia.
Dikutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, mafia berati perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Menurut para aktivis, Indonesia sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang seperti itu.
Indro Tjahyono aktivis 77/78 mengkhawatirkan, Indonesia bubar jika memang para mafia ini kini berkuasa, terutama di lingkungan pemerintahan.
Ia mengatakan, jika semua sektor pelayanan vital publik dikendalikan oleh tangan gelap mafia, cepat atau lambat negara akan bubar dengan sendirinya.
“Kecuali rakyat punya kemampuan untuk mengkonsolidasi terutama kaum terdidik,” katanya dalam kesempatan itu.
Sementara Sugeng Teguh Santosa menilai, fakta politik kondisi Indonesia memang carut marut.
Menurutnya, infrastruktur kelembagaan/institusi negara mudah dimasuki oleh beberapa gelintir orang yang serakah.
“Sisi lain mental rakyat kita adalah BLT, dapat bantuan dikit saja, sudah diam bahkan memuji,” aparnya.
Namun Sugeng tak merasa pesemis dengan kondisi sekarang ini untuk adanya sebuah perubahan. Syaratnya, para pelaku pro demokrasi dan civil Society ini harus independen, merdeka secara pikiran dan tindakan.
“Saya tidak pesemis dengan rakyat untuk sebuah perubahan, tapi syaratnya para pelaku pro demokrasi dan civil Society ini harus independen, merdeka secara pikiran dan tindakan,” katanya.
Akhiri teriak-teriak
Sementara Lukas Luwarso menyatakan, ia mungkin termasuk bagian yang ingin mengakhiri untuk sementara waktu perlawanan dalam bentuk teriak-teriak.
Menurutnya, mafia ini rapi dan bekerja di bawah meja serta di ruang gelap.
“Susah mendeteksinya, hal yang paling mungkin jika kita punya senter, ya disorot saja agar publik tahu,” paparnya.
Selemah-lemah iman, lanjut Lukas, hasil sorotan itu diperbincangkan, didiskusikan dan kaji untuk edukasi dan upaya pemberantasan mafia secara pelan-pelan.
“Minimal ruang gerak mafia makin berkurang,” ujarnya.
Itulah beberapa petikan dari (FGD) bertajuk Darurat Mafia dan Potensi Lahirnya Pemerintah Transisi yang digelar kemarin.
Sang moderator diskusi In’AM eL Mustofa mengatakan, temu aktivis dan FGD yang digelar tersebut sebagai ihktiar untuk konsolidasi demokrasi dan tukar gagasan civil Society.
Insya Allah akan terus dilakukan secara kontinyu sebagai bagian dari roadmap penguatan berbangsa dan bernegara.
“Ke depan mungkin bentuknya ke arah Lokakarya dengan harapan ada gagasan yang konseptual sekaligus rambu-rambu operasionalnya,” ujarnya.***
Red/K.102
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post