Jakarta, Kabariku- Komisi Yudisial (KY) merespons langkah Majelis Hakim dalam sidang tragedi Kanjuruhan yang membatasi akses mengikuti sidang yang membuat kecewa sejumlah keluarga korban tragedi Kanjuruhan.
Untuk itu KY meminta Majelis Hakim untuk tetap memperhatikan aspek akses dan partisipasi masyarakat dalam jalannya persidangan.
“Komisi Yudisial mendorong Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini dapat mempertimbangkan tiga aspek penting,” kata Juru Bicara KY Miko Ginting, SH., MA., dalam keterangan pers, Kamis (19/1/2023) pagi.
“Yaitu akses dan partisipasi masyarakat, keselamatan dan keamanan para pihak, serta integritas pembuktian dalam memeriksa dan memutus perkara ini,” imbuh dia.
Seperti diketahui, sidang perdana tragedi Kanjuruhan dengan agenda pembacaan dakwaan pada Senin, 16 Januari 2023, digelar secara terbatas dan tidak boleh disiarkan secara langsung. Hal ini membuat kecewa keluarga korban yang ingin mengikuti jalannya persidangan.

Terkait hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil tergabung dari Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang (LBH Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lokataru Foundation, dan IM57+Institute mendorong Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan dan mendorong proses sidang Tragedi Kanjuruhan agar dapat diakses seluas-luasnya oleh publik.
Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, Daniel Siagian dari LBH Malang mengatakan, Mengingat terdapat berbagai keganjilan mulai dari terbatasnya akses terhadap pengunjung, terdakwa dihadirkan secara daring dan diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana oleh Majelis Hakim.
Dorongan kepada Komisi Yudisial yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil merupakan tindak lanjut dari keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membatasi akses persidangan terhadap pengunjung.
“Kami menilai bahwa langkah yang dilakukan oleh PN Surabaya untuk membatasi akses persidangan tragedi Kanjuruhan merupakan langkah yang tidak tepat,” kata Daniel dalamketerangan diterima kabariku, Kamis (19/1/2023) petang.
Sebab, Danial menjelaskan, menurut Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, mewajibkan bagi Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum.
“Seharusnya, masyarakat khususnya Keluarga Korban tragedi Kanjuruhan serta jurnalis media diberikan akses seluas-luasnya untuk dapat melihat setiap proses dan tahapan persidangan para Terdakwa tragedi Kanjuruhan tersebut,” jelasnya.
Menurutnya, jika pembatasan terhadap akses persidangan untuk turut mengawal jalannya persidangan kasus Kanjuruhan terus dilakukan, maka terdapat indikasi adanya upaya untuk menutupi proses hukum tragedi Kanjuruhan.
“Lalu, apabila yang menjadi penyebab pembatasan pengunjung dalam persidangan tersebut adalah faktor keamanan, maka seharusnya PN Surabaya dapat memberikan pilihan lain agar jurnalis dan masyarakat tetap dapat melihat dan memantau jalannya persidangan,” ujar dia.
Selain itu, dalam sidang perdana tragedi Kanjuruhan terdakwa dihadirkan secara online.
“Dihadirkannya terdakwa secara online menyalahi ketentuan Pasal 154 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan,” terangnya.
Terlebih lagi, lanjutnya, Pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Desember 2022 lalu yang berarti tidak ada alasan hakim untuk dalam menghadirkan terdakwa secara online.
“Keganjilan lain yang kami dapatkan yaitu diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana,” ucap Daniel.
Lebih jauh Daniel menyebut, Keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Dalam proses pidana, Polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana. Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat,” ucapnya.
Pihaknya menegaskan, Anggota polri tidak dapat menggunakan atribut/toga advokat. Untuk menjadi advokat harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Sehingga kami menilai keputusan tersebut, telah merusak dan melecehkan sistem hukum yang berlaku,” tutur Daniel.
Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendorong Komisi Yudisial untuk:
Pertama, Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap jalannya persidangan Tragedi Kanjuruhan. Serta Komisi Yudisial dapat mendesak Pengadilan Negeri Surabaya untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi publik untuk dapat melakukan pemantauan atau pengawasan jalannya proses persidangan;
Kedua, Mendorong Komisi Yudisial untuk mengambil langkah hukum jika ditemukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim pada proses persidangan Tragedi Kanjuruhan.***
*Koalisi Masyarakat Sipil
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post