SOLO, Kabariku- Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Sabang Merauke Circle, Dalam acara 25 Tahun Mega Bintang, mengatakan, Bangsa Indonesia ke depan akan mengalami regenerasi kepemimpinan nasional dengan tantangan yang sangat berat.
“Regenerasi itu terjadi manakala tokoh-tokoh sentral dalam perpolitikan nasional, seperti Megawati Sukarnoputri, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dlsb, mengalami usia renta dan oleh karenanya secara alamiah harus lengser dari perpolitikan nasional,” kata Syahganda dalam acara Diskusi Nasional HUT Mega Bintang ke 25 di Solo. Minggu (5/6/2022).
Syahganda menyebut, Berbagai kalangan yang lebih muda, seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Agus Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, Andika Perkasa, Erick Tohir, Sandiaga Uno, La Nyalla, dlsb, telah menawarkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan nasional tersebut.
“Persoalannya adalah, situasi nasional dan global yang menyertai regenenerasi saat ini begitu buruk, khususnya setelah berbagai masalah bertubi-tubi, yang dalam level global, ditandai dengan krisis pandemi covid-19 dan perang Ukraina-Rusia dan ketegangan dagang dan politik antara Amerika (Barat) dengan China, serta dalam level nasional kita mengalami kemunduran ekonomi, perpecahan politik dan merosotnya moral kebangsaan,” katanya.
Kemerosotan moral kepemimpinan saat ini, lanjutnya, ditandai dengan merajalelalnya korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial, maupun kejahatan terkait langka dan mahalnya minyak goreng serta pula adanya menteri-menteri yang mencari keuntungan bisnis dari situasi pandemi covid 19.
Dalam ulang tahun Mega-Bintang ini, Syahganda mengupas, dimensi demokrasi, dimensi keadilan sosial dan krisis global sebagai faktor penting yang harus dipertimbangan bagi semua pihak untuk kelanjutan eksistensi bangsa ini.
“Kita membutuhkan kepemimpinan nasional baru yang kokoh ke depan. Kita harus meninggalkan kepemimpinan korup, yang berpura-pura cinta rakyat, dan minus nasionalisme, menuju kepemimpinan yang penuh harapan,” ungkapnya.
Menurutnya, Dimensi “Leadership Nasional” bukan “leader” adalah gugusan kepemimpinan, bukan sekedar seorang pemimpin.
Dibutuhkan kepemimpinan kolektif yang penuh harapan bukan pemimpin-pemimpin lemah, apalagi sekedar menjual negara ini kepada asing.
Mega-Bintang sebagai sebuah spirit, yakni sprit perlawanan atas penindasan bagi kaum miskin dan atas kepemimpinan negara yang otoriter, di masa lalu.
“Diharapkan dapat menjadi refleksi untuk kita menemukan jalan konsolidasi kekuatan rakyat yang mampu melahirkan kepemimpinan nasional yang penuh harapan itu (leadership of hope),” tukasnya.
Persoalan saat ini, dijelaskannya, sesungguhnya terlalu banyak (too many) untuk dipikirkan, kompleks dan komplikasi.
Pertama, yang paling berat adalah soal demokrasi yang amburadul dan perpecahan bangsa.
“Dalam kacamata indonesianis, demokrasi kita saat ini bersifat tidak menentu. Ada yang menyebutnya illiberal-demokrasi, yakni demokrasi yang bersifat seolah-olah namun faktanya dikendalikan rezim yang berkuasa,” terangnya.
Ada juga yang menyebutnya “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengalami kemunduran yang tajam, seperti kembali pada masa orde baru.
“Perbedaan pendapat diseleksi oleh rezim yang berkuasa, mereka berusaha menjinakkan dengan berbagai rayuan, sampai pada pemenjaraan aktifis, seperti yang saya dan beberapa anggota Koaliasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan beberapa pimpinan Front Pembela Islam alami juga,” ujarnya.
Lebih jauh Syahganda mengatakan, Pemberlakuan Undang-Undang maupun pasal-pasal karet dilakukan terang-terangan, sekali lagi mirip dengan orde baru ketika menangkapi para aktifis dengan UU Subversif.
“Rezim Jokowi berusaha memonopoli narasi demokrasi dan ideologi dalam versi yang mereka inginkan. Terutama ketika Jokowi mendirikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasiala (BPIP),” cetusnya.
Menurutnya, Ini persis ketika Soeharto mendirikan BP7, Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Masyarakat dibelah oleh garis ideologi semu, Pancasila versus non Pancasila, sesuka hati definisi penguasa.
Faktanya, arah bangsa yang salah, saat ini diakui sendiri oleh “shareholders” rezim Jokowi. Surya Paloh, seorang pendiri rezim Jokowi, mengakui bahwa Indonesia saat adalah negara kapitalis liberal dan uang adalah segala-galanya.
Artinya bukan negara Pancasila.
“You tahu nggak bangsa kita ini adalah bangsa kapitalis hari ini, you tahu enggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini. Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila”, demikian petikan pidato Paloh di Universitas Indonesia, 14 Agustus 2019, yang dikutip berbagai media.
Buruknya demokrasi, pengekangan atas kebebasan dan arah bangsa yang salah, sejalan dengan pembajakan demokrasi oleh kekuatan oligarki. Biaya politik yang mahal dan semakin lebih mahal lagi, menunjukkan kegagalan eksistensi ideologi bangsa dan juga ideologi partai politik saat ini.
Kedua, terkait persoalan dalam negeri, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa ini. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70% orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekedar indikator saja.
“Deindustrialisasi dan informalisasi sektor formal, terlebih akibat pandemi covid-19, menjadi fenomena kehidupan, yang mana pertahanan hidup rakyat bergantung pada penghasilan terbatas harian dan pertolongan keluarga dalam “extended family”,” katanya.
Situasi global saat ini, sekali lagi, sangat berbahaya. Baik yang bersifat umum, seperti pertumbuhan global yang rendah, inflasi yang besar dan ancaman perang dunia, maupun yang bersifat langsung, seperti ketergantungan pada utang dan impor, membutuhkan sebuah kepemimpinan nasional yang kokoh, berintegritas dan tidak gampang tunduk pada kemauan asing.
Ketiga, isu di atas bisa saja menjadi “bom waktu” bagi kehancuran bangsa kita. Persatuan bangsa tidak mungkin dibangun tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa keadilan sosial akan menjadi sumber konflik sosial laten.
“Tanpa persatuan dan demokrasi, Indonesia akan menjadi bangsa lemah yang gampang didikte asing serta menorong munculnya para petualang politik yang menjadi kolaburator asing,” bebernya.
Ini adalah persoalan yang harus diatasi. Namun, menyakitkan sekali fenomena yang ada saat ini, narasi politik besar bangsa ini dikendalikan oleh pemain-pemain tua yang telah gagal dalam memajukan bangsa Indonesia.
“Tetap saja pada utak-atik copras-capres untuk perebutan kekuasaan. Belum ada pemikiran nasional untuk rembug bagaiman mengatasi krisis ini,” ujarnya
Dalam pertemuan HUT 25 Mega-Bintang ini, sebagai kekuatan rakyat yang berkumpul disini, harus mampu membangun narasi serius mengurus negara. Menyiapkan Konsep-konsep pembangunan yang berbasis keadilan redistribusi (redistributive justice).
“Mengilhami persaudaraan, persatuan dan kebebasan. Kita semua adalah kaum pecinta negeri ini. Kita adalah orang-orang yang bertarung dari masa-ke-masa hanya semata-mata untuk rakyat,” tandasmya.***
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post