Kabariku- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang minimnya peran Lembaga KPK dalam pengembalian kerugian negara dari kasus korupsi.
Plt. Juru Bicara (Jubir) KPK, Ali Fikri, SH., menjelaskan, Terkait pemberitaan yang mengemuka tentang Kerugian Keuangan Negara pada tindak pidana korupsi yang ICW sampaikan, KPK menilai metode penelitian ICW salah kaprah dalam menghitung kerugian negara.
“Dari analisis yang salah kaprah, maka kesimpulan prematur yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru,” kata plt juru bicara KPK Ali Fikri. Senin (23/5/2022) malam.
Menurut Ali, ICW mencampurkan pembahasan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pasal suap dan sejenisnya.
“Karena jika kita cermati, kajian ICW mencampuradukan pembahasan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan pasal-pasal suap dan sejenisnya yang dominan ditangani oleh KPK,” tutur Ali.
Ali menjelaskan, KPK paling sering menggunakan pasal suap dan gratifikasi. Padahal, perlu digarisbawahi, yang berkaitan dengan kerugian negara hanya Pasal 2 atau 3 UU Tipikor saja
“Jika kita memahami hukum dengan baik, Tipologi korupsi pasal suap secara normatif tidak ada kaitannya dengan kerugian negara,” katanya.
Lebih jauh Ali menerangkan, Pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya Merupakan kesimpulan premature.
“Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan premature yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru. Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya,” terang Ali.
Menurut Ali, Pidana tambahan lainnya pun beragam bentuk, termasuk pencabutan hak politik, yang beberapa kali KPK terapkan dan tuntut kepada para terdakwanya.
Kemudian, pemantauan ini juga perlu memasukkan pembahasan tentang “subsidier hukuman” yang merupakan hak terpidana.
“Sehingga bisa jadi, pengembalian Kerugian Keuangan Negara tersebut digantikan dengan hukuman badan. Mekanisme tersebut berlaku sah demi hukum,” paparnya.
Lanjut Ali, Hasil kajian dan pemantauan dimaksud sekalipun menjadi masukan bagi KPK, sebagai bahan evaluasi ke depan.
“Namun masih sangat perlu didiskusikan lebih jauh terkait metode analisis dalam proses pengambilan kesimpulannya,” imbuhnya.
KPK melalui fungsi yang dijalankan Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) berupaya optimal melakukan asset recovery.
Baik sejak awal melalui pelacakan aset yang maksimal terhadap harta dan kekayaan yang dimiliki para pelaku korupsi; pengelolaan barang bukti salah satunya agar aset yang disita dan dirampas tidak mengalami depresiasi nilai saat pelaksanaan lelangnya.
Serta eksekusi yang dijalankan oleh Jaksa atas putusan pengadilan. Dimana melalui UU KPK yang baru, kini fungsi eksekusi menjadi tugas pokok fungsi KPK sehingga Jaksa Esekutor juga bisa melakukan penyitaan.
“Langkah-langkah ini sebagai penguatan dan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan Negara oleh KPK,” jelas Ali.
Ali menyebut, Analisis yang tidak komperehensif ini tentu sangat disayangkan karena bisa membelokkan Informasi bagi Masyarakat, maupun para pemerhati dan akademisi yang konsen terhadap perkembangan ilmu hukum.
Ali mempersilakan publik bisa melakukan cross check dengan data penanganan perkara oleh KPK ini melalui https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara.
“Jelas terlihat bahwa perkara yang ditangani KPK sejumlah 791 dari total 1231 merupakan kasus suap, atau lebih dari 64%. Yang secara normatif tidak ada kerugian keuangan negaranya,” Ali merincikan.
Ditegaskan Ali, Publik penting memahami, tindak pidana korupsi jangan hanya disederhanakan menyoal kerugian keuangan Negara.
Lebih dalam Ali menjelaskan, Dalam UU Tipikor setidaknya ada 30 jenis, yang kemudian disederhanakan menjadi 7, yaitu; kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, suap meyuap, dan benturan kepentingan dalam pengadaan.
“Lebih jauh, kita cek data aset recovery KPK, tercatat bahwa pada tahun 2020 KPK berhasil melakukan asset recovery sebesar Rp. 294.778.133.050,- Kemudian pada tahun 2021 naik lebih dari 41%, dengan nilai total Rp416.941.569.376,-“ katanya.
Lalu pada tahun 2022 berjalan, data per 31 Maret, mencapai Rp183.157.346.649. Perhitungan asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, dan rampasan.
Kemudian penerapan pasal TPPU, sebagai salah satu instrumen untuk mengoptimalkan asset recovery, KPK mencatat telah menangani sejumlah 44 perkara. Tahun 2021 sendiri sejumlah 6 perkara.
Diketahui sebelumnya, ICW menyebut kerugian negara akibat kasus korupsi di 2021 mencapai Rp62,9 triliun.
ICW mengatakan, jumlah itu disumbang salah satunya dari kasus Kondesat yang merugikan negara hingga Rp36 triliun.
ICW pun menyayangkan kinerja KPK yang hanya menangani sedikitnya satu persen atau Rp800 miliar dari total kerugian negara pada 2021 tersebut.
“Atas kajian tersebut, KPK berharap kajian-kajian tentang pemberantasan korupsi dapat disusun dengan komperehensif berbasis data dan fakta yang akurat,” tukas Ali.
Dimana perbaikan tersebut bisa lebih luas, tidak hanya bagi KPK, namun juga bagi aparat penegak hukum lainnya, Kepolisian dan Kejaksaan, yang juga punya kewenangan melakukan penanganan tindak pidana korupsi.
“Sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan agar memberikan manfaat bagi perbaikan upaya pemberanatsan korupsi ke depannya,” tandas Ali Fikri.***