Jaksa Agung Republik Indonesia Prof. Dr. ST. Burhanuddin, SH., MM., perintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengambil langkah strategis dan progresif terkait penyelesaian dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, yang kini menjadi perhatian masyarakat.
Dalam rangka penuntasan perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak S.H. M.H., mengatakan, Jaksa Agung meminta jajaran Jampidsus untuk mengambil langkah-langkah strategis dan terukur.
“Terkait percepatan penuntasan penyelesaian dugaan perkara HAM yang berat masa kini dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku,” kata Leonard meneruskan arahan Jaksa Agung melalui SIARAN PERS: Nomor: PR-952/101/K.3/Kph.3/11/2021, dikutip. Selasa (23/11/2021).
Selain itu, kata Leonard, Jaksa Agung menilai perlu diambil terobosan progresif untuk membuka kebuntuan pola penanganan akibat perbedaan persepsi antara penyidik HAM dengan penyelidik komnas HAM.
“Jaksa Agung mengharapkan dalam waktu dekat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dapat mengambil langkah yang tepat dan terukur terkait beberapa dugaan pelanggaran HAM yang berat,” tutup Leonard.
Sebelumnya, Komnas HAM sudah sejak beberapa waktu lalu meminta Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Pada 12 Agustus 2021 lalu, Ketua Komnas HAM Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A., menyatakan 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat tersebut telah selesai diselidiki Komnas HAM dan hasilnya sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Sebagai informasi, dilansir dari komnasham.go.id dari 15 berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat yang telah diselesaikan Komnas HAM, hanya tiga yang proses penyelesaiannya telah sampai ke pengadilan.
Tiga kasus tersebut di antaranya; peristiwa Timor Timur pasca jejak pendapat, Peristiwa Tanjung Priok, dan Perisitwa Abepura.
“Tidak ada langkah signifikan dari pemerintah untuk merampungkan 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat alias jalan ditempat”.
Penegasan ini disampaikan Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, di Jakarta, pada Minggu (16/08/2021) lalu.
“Komnas HAM berpendapat, mungkin pemerintah serius, tetapi tidak diikuti langkah-langkah signifikan,” ujar Beka.
Menurut Beka, untuk menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa dilakukan dengan yudisial dan nonyudisial. Jika pemerintah ingin menyelesaikan sebagian kasus secara nonyudisial, menurut dia, tidak ada masalah.
“Akan tetapi, hal itu harus diiringi langkah-langkah signifikan,” tandasnya.
Beka menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan penyelesaian kasus-kasus tersebut tak kunjung rampung, “Yakni political will dan lemahnya komitmen penegakan hukum negara”.
Berikut 12 kasus HAM yang belum tuntas sampai hari ini;
1. Pembunuhan Munir
Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib terjadi 17 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004. Namun, sampai saat ini aktor utama kasus pembunuhan Munir belum juga terkuak.
Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanannya ke Belanda. Berdasarkan hasil autopsi, dalam tubuh Munir terdapat racun arsenik.
Dalam kasus ini, setidaknya baru tiga orang yang diseret ke muka persidangan, yakni; mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang divonis 14 tahun penjara; mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, yang divonis satu tahun penjara; dan mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono, yang divonis bebas.
Ada sejumlah nama yang belum tersentuh hukum. Satu diantaranya adalah mantan Kepala BIN, A.M Hendropriyono. Kasus ini pun terancam kedaluwarsa pada tahun depan.
Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP, penuntutan pidana hapus setelah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, seperti pembunuhan berencana.
Beka menyebut sampai saat ini kasus pembunuhan Munir masih diproses di Komnas HAM.
“Kasus Munir juga belum diputuskan sebagai kasus pelanggaran HAM berat,” ungkapnya.
2. Pembunuhan Massal 1965
Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pernyataan itu dikeluarkan pada 2012 silam.
Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan di antaranya; pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga perbudakan. Korban dari peristiwa tersebut diperkirakan mencapai 1,5 juta orang.
Namun, ada juga versi lain tentang jumlah korban peristiwa 1965.
Dari jumlah itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi afiliasinya. Korban lainnya adalah masyarakat umum.
3. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Peristiwa Talangsari 1989 termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7 Februari 1989. Peristiwa ini terjadi di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari pecah karena ada penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari.
Catatan Komnas HAM; peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.
4. Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti dikenal sebagai peristwa berdarah yang terjadi pada Mei 1998. Pada saat itu terjadi penembakan terhadap sejumlah warga sipil, terutama mahasiswa. Tragedy tersebut diperkirakan memakan korban hingga 685 orang.
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan rampung pada Maret 2002. Hasil penyelidikan itu lantas dikirim ke Kejagung untuk dilakukan penyidikan.
Namun, Kejagung beberapa kali mengembalikan berkas hasil penyidikan tersebut. Bahkan pada 13 Maret 2008 berkas tersebut sempat dinyatakan hilang.
5. Peristiwa Paniai (2014)
Pada 2020 lalu, Komnas HAM menetapkan Peristiwa Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Peristiwa tersebut merupakan kasus kekerasan sipil yang melibatkan anggota TNI dan mengakibatkan 4 orang meninggal, 21 orang mengalami luka berat akibat penganiayaan.
Sama seperti sejumlah kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Hasil laporan Komnas HAM yang dikirim ke Kejagung, berkali-kali dikempalikan. Komnas HAM mencatat pengembalian itu terjadi pada 19 Maret dan 20 Mei 2020.
6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998 terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres), untuk periode 1998-2003. Kontras menyebut saat itu ada dua agenda politik besar; pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Kedua, Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Kasus penculikan itu menimpa para aktivis, pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru.
Gagasan-gagasan mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan rezim Soeharto.
Berdasarkan laporan Kontras pada 2017 lalu, 9 orang korban penculikan berhasil ditemukan. Namun 13 orang korban lainnya masih dinyatakan hilang sampai saat ini.
Pada 1 Oktober 2005, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada Peristiwa tersebut dibuat. Hasilnya, Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
7. Peristiwa Wasior dan Wamena 2001
Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua diwali dengan pembunuhan warga sipil perusahaan PT Vatika Papuana Perkasa. Diketahui, warga melakukan protes terhadap perusahaan kayu PT VPP dianggap mengingkari kesepakatan yang dibuat masyarakat.
Diketahui, Brimob Polda Papua pun turun tangan melakukan penyerbuan kepada warga setempat. Berdasarkan laporan KontraS, empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima hilang, dan 39 disiksa.
Sementara itu, Kasus di Wamena terjadi pada 4 April 2003, bertepatakn dengan Hari Raya Paskah. Pada saat itu 25 kampung di Wamena dilakukan penyisiran oleh sekelompok masa tidak dikenal. Mereka, mencoba membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Atas kejadian tersebut, Komnas HAM mencatat 9 orang tewas dan 38 orang luka berat.
Tim ad hoc Papua Komnas HAM telah melakukan penyelidikan Pro Justisia terhadap dua kasus tersebut pada 17 Desember 2003 hingga 31 Juli 2004. Namun Kejagung sempat ditolak hasil laporan Komnas HAM dengan alasan laporan tersebut tidak lengkap.
8. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998
Peristiwa Rumoh Geudong Aceh terjadi saat kota serambi mekkah tersebut dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Pada saat itu pemerintah melalui panglima ABRI memutuskan untuk melakukan operasi jaring merah (Jamer). Dalam operasi tersebut, Korem 011/Lilawangsa menjadi pusat komando lapangan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukan bahwa dalam peristiwa tersebut terdapat pelanggaran HAM. Beberapa bentuk pelanggaran HAM di antaranya kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, dan pengilangan secara paksa.
Berkas hasil penyelidikan itu sudah dikirim ke Kejagung pada 28 Agustus 2018. Namun, sampai saat ini tindak lanjut dari Kejagung belum juga tuntas.
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
Pembunuhan Dukun Santet adalah peristiwa terhadap sejumlah yang diduga melakukan praktik ilmu hitam. Peristiwa itu terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil penyidikan itu juga sudah dikirim ke Kejagung dan Presiden pada 2019.
10. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh diduga menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada 17 Mei 2003, aparat keamanan lantas melakukan penyisiran dan penyerangan terhadap kampung-kampung dalam Kecamatan Bokongan.
Sejumlah anggota TNI Para Komando (PARAKO) bersama dengan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil seperti, penyiksaan, penangkapan, penghilangan orang secara paksa dan perampasan harta benda.
Akibat peristiwa itu, Kontras mencatat 16 orang penduduk sipil meninggal setelah disiksa, ditembak, bahkan dibakar hidup-hidup, serta 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh aparat.
11. Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999
Peristiwa Simpang KKA Aceh juga terjadi saat Aceh berstatus DOM. Saat itu, tentara militer menembaki warga sipil yang berunjuk rasa lantaran ada penganiayaan terhadap warga.
Dalam peristiwa itu, 46 orang tewas, sekitar 150 orang mengalami luka akibat tembak dan 10 orang lainnya hilang.
12. Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada 13 – 15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota lain. Peristiwa tersebut adalah peristiwa kerusuhan yang melibatkan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Selain itu, terdapat juga kejahatan seksual terhadap perempuan. Korban dari kerusuhan tersebut didominasi oleh etnis Tionghoa.
Komnas HAM menyebut, “Peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Sampai saat ini, penyelesaian kasus tersebut tidak kunjung terselesaikan”.
Beka berharap, Presiden Jokowi menegakkan kembali komitmen penanganan dan pemajuan HAM pada pidato sidang tahunan MPR Senin (16/8) ini.
“Kami ingin Presiden menegaskan kembali komitmennya,” tandasnya.
Secara khusus, Komnas HAM juga berharap agar Presiden menyampaikan titik terang penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat pada sidang tahunan MPR.
Percepatan penyelesaian pelanggaran 12 kasus HAM, perlu ditegaskan Presiden sebagai bentuk keseriusan pemerintah menyelesaikannya.
“Penyelesaian kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM diharapkan tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tetapi berbagai kasus di daerah juga harus menjadi perhatian bersama,” tutup Beka.***
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik kabariku.com lainnya dan follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com