KABARIKU – Gema Perhutanan Sosial Indonesia menyambut baik adanya pasal mengenai perhutanan sosial pada Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), walaupun tetap UU Ciptaker perlu dikoreksi terkait prosedur formil penyusunan UU, dan pasal-pasal lain yang belum sesuai dengan reforma agraria.

Namun demikian, Gema menyangsikan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) sanggup melaksanakan implementasi perhutanan sosial dengan baik, cepat dan sesuai dengan arah kebijakan Presiden.
Verifikasi Perhutanan Sosial Berputar di Tempat
“Sebagai contoh adalah perintah Presiden yang berkali-kali disampaikan untuk mempercepat pembagian SK perhutanan sosial khususnya di Jawa, tidak dilaksanakan dengan baik,” tutur Deputi Operasional Gema Rozikin, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/10/2020).
Rozikin menjelaskan, sebagai parameter adalah perintah Presiden dengan Gema Perhutanan Sosial pada pertemuan tanggal 10 Oktober 2019 lalu, hingga hari ini dari sekitar 63 pengajuan, hanya selesai 2 SK saja.
“Bahkan ada pengajuan yang sudah disampaikan sejak 2017 hingga 2020 atau berjalan hampir 3 tahun baru akan diverifikasi. Artinya ujung perjalanan bertahun-tahun berakhir pada jalan di tempat awal, “tuturnya.
Rozikin menambahkan, setelah pertemuan dengan presiden, pada tanggal 11 Oktober 2019 telah dilakukan pertemuan antara Gema dengan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK yang menghasilkan kesepakatan akan dilakukan verifikasi subjek.
Namun, ujarnya, yang dilakukan adalah sinkronisasi dan fasilitasi saja. Padahal tidak ada dalam P.39/2017 disebut tahapan sinkronisasi dan fasilitasi setelah permohonan Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial disampaikan ke KLHK.
“Dengan demikian PSKL-KLHK membuat prosedur yang sesuai peraturan atau tidak rule base. Jadi sesuai kesepakatan 11 Oktober 2019, kami tetap menyebut sinkronisasi tersebut sebagai verifikasi teknis (vertek) subjek,” tutur Rozikin.
Ia mengaku merasa dipermainkan oleh KLHK. Pasalnya, setelah sinkronisasi dan fasilitasi itu pihaknya telah memasukkan data subjek kembali berkali-kali.
“Maret, Juni, Juli kami masukkan kembali data subjek. Aneh juga jika PSKL tidak mempercayai data vertek subjek, yang vertek khan KLHK sendiri, sekarang tidak mempercayai hasil verteknya sendiri. Khan aneh?” tuturnya.
Rozikin menegaskan, Gema menolak cara-cara adu domba dalam verifikasi perhutanan sosial seperti yang dilakukan PSKL-KLHK. PSKL meminta data subjek kepada Perum Perhutani dan menyandingkannya dengan data subjek dari pemohon. Hal tersebut tidak ada aturannya di dalam P39/2017 dan Perdirjen PSKL No 7/2017.
“Tapi dengan niat baik, kami turuti, kami berdiskusi dengan Perum Perhutani di bulan Juni, Juli, sampai dengan Agustus dan telah mencapai kata sepakat dengan adanya BAP antara Perum Perhutani dan Gema, bahkan Dirut Perum Perhutani juga hadir dan saling berembug dengan kami,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Edi Santosa, salah satu pendamping perhutanan sosial Jawa Timur. Ia menyebut, Gema menolak kerja yang tidak profesional dari PSKL-KLHK.
Dijelaskannya, PSKL menyebutkan melakukan pencocokan identitas dalam NIK dengan dukcapil, menurut salah seorang staf PSKL, pencocokan dilakukan 60 nama identitas per hari.
“Ini kementerian apa RT, Anda bisa bayangkan data subjek sessi ini mencapai kuranglebih 22.000 kk, kalau per hari hanya 60 nik, maka dibutuhkan waktu 366 hari. Emang pekerjaan kementerian 1 tahun cuman mencocokkan data dukcapil? Panwaskab saja bisa 1,2 juta data dukcapil pemilih,” tutur Edi.
Hingga 28 September 2020, lanjut Edi, janji untuk percepatan terbitnya SK perhutanan sosial sebagaimana disebut dalam surat Direktur Penyiapan Kawasan Hutan Perhutanan Sosial, Erna Rosdiana, tidak terlaksana. Belum 1 pun SK keluar sesuai yang dijanjikan dalam pembahasan terakhir pada Agustus 2020.
“Malah Dirjen PSKL menerbitkan aturan baru Perdirjen PSKL No 13/2020 yang menyebutkan prosedur pengecekan data subjek objek oleh Perum Perhutani,” tuturnya.
Sekjen Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Hanafiah menilai, hal tersebut menguatkan politik adu domba antara petani pemohon perhutanan sosial dengan Perum Perhutani, serta melanggar aturan hukum yaitu P39/2017.
Menurutnya, berdasar pasal 12 ayat (1) verifikasi teknis dilaksanakan oleh Pokja PPs dan pendamping, bukan oleh Perum Perhutani.
“Ini jelas-jelas Dirjen PSKL tidak memahami Peraturan itu sendiri,” katanya.
Pengurangan Areal PIAPS Jawa
Sementara itu, Ketua Umum Gema Perhutanan Sosial Indonesia Siti Fikriyah menyatakan, perhutanan sosial adalah icon kebijakan pro rakyat Presiden Joko Widodo. Presiden mengalokasikan kurang lebih 11 juta hektar kawasan hutan untuk kalangan swasta, tapi mengalokasikan 12,7 juta untuk rakyat ditambah 1,127.073 hektar di Jawa dengan prioritas kurang lebih 500.000 hektar.
“Sungguh komitmen yang luar biasa. Demikian juga dengan dimuatnya pasal perhutanan sosial dalam UU Cipta Kerja, setelah 75 merdeka baru di masa Jokowi perhutanan sosial atau usaha rakyat di kawasan hutan negara mendapat tempat terhormat. Tapi Kementerian LHK khususnya Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan tidak siap dan tidak mampu menterjemahkan politik Presiden ini,” katanya.
Menurut Siti, komitmen perhutanan sosial digerus sendiri oleh Dirjen KLHK, alokasi prioritas perhutanan sosial di Jawa dengan Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial atau IPHPS dengan instrumen peraturannya adalah P.39/2017 seluas 537.668 hektar pada tahun 2017. Tapi jumlah ini berkurang menjadi sekitar 326.000 hektar.
Pengurangan ini, katanya, salah satunya karena alokasi penanaman komoditas EBT yaitu tanaman glireside. Akibatnya lahan PIAPS (peta indikatif alokasi perhutanan sosial) dikurangi.
“Sawit kita sudah mencukupi untuk energi terbarukan, mungkin sekitar 16 juta hektar, kita punya sinar matahari karena berada di garis khatulistiwa, kita punya air laut, angin dan lain-lain sumber energi. Kenapa harus menanam glireside di hutan Jawa? Jawa adalah episentrum penduduk terpadat, juga episentrum covid, juga episentrum resesi ekonomi, dan menghadapi krisis pangan, kenapa lahan terbuka Perum Perhutani di Jawa tidak difokuskan untuk perluasan pangan melalui skema perhutanan sosial yang berbasis rakyat? Kenapa malah menanam glireside dan mengurangi alokasi perhutanan sosial sekitar 78.000 hektar? Kenapa tidak mempercepat SK IPHPS lalu men-skemakan ketahanan pangan di lahan tersebut? “tutur Siti.
Terkait dengan RHL (rehabilitasi hutan lindung), Siti juga menyatakan, seharusnya bisa disinkronkan dengan perhutanan sosial, tapi kejadiannya lokasi usulan IPHPS harus dikurangi jika ada RHL.
“RHL hanyalah salah satu program pembiayaan pemulihan kawasan hutan gundul di kawasan hutan lindung, sementara IPHPS adalah skema perijinan, masak skema ijin dikalahkan oleh program pembiayaan temporatif?” katanya.
Saat ini, kata Siti, capaian IPHPs baru mencapai kurang lebih 26.000 hektar, lebih dari 3/4-nya Gema membantu capaian IPHPS tersebut.
“Jika SK perhutanan sosial IPHPS dan Kulin NKK sessi ini selesai, kami menambahkan sekitar 64.000 lagi. Coba, kurang komitmen apa Gema terhadap program Presiden dan Menteri LHK. Bahkan seluruh pembiayaan kami tanggung mandiri dengan gotong royong,” tutur Siti.
Siti menyatakan, pihaknya tak pernah menyanksikan kerja keras Menteri Siti Nurbaya. Pihak Gema pun memberian bantuan sepenuh hati. Di antaranya ketika P39/2017 ini digugat di MA, Gema di baris depan mendukung Kementerian.
“Belum pernah dalam sejarah kebijakan suatu Kementerian didukung partisipasi rakyat sedemikian rupa. Petani ke MA memberi dukungan, petani sosialisasi mandiri, mengabarkan berita gembira, pendamping sukarela memfasilitasi mandiri usulan-usulan perhutanan sosial. Eh jangan sampai, habis manis sepah dibuang,” tutur Siti.
Ia menegaskan, birokrasi utamanya PSKL-KLHK tidak paham terhadap arah kebijakan Presiden dan Menteri. Oleh karena itu, pihak Gema dengan berat hati menyampaikan mosi tidak percaya kepada Dirjen PSKL.
“Jika Menteri ingin program andalan Presiden ini jalan ya ganti birokrasinya, wong kemacetannya bukan di rakyat tapi di birokrasi kok. Atau sebaiknya Presiden membuat Badan Khusus Percepatan Perhutanan Sosial yang diisi oleh orang-orang dengan dedikasi tinggi dalam melaksanakan perhutanan sosial. Atau ya perhutanan sosial hanya menjadi pencitraan belaka. Dan kalau benar hanya citra, sangat disayangkan, petani hutan di Jawa ini menjadi korbannya,” pungkas Triyanto. (Has)
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post