KABARIKU – Sambil menjalani masa karantina mandiri setelah sekitar 2 minggu lalu mengalami gejala demam berkepanjangan dan batuk-batuk kering, saya sungguh merasa beruntung setidaknya atas dua hal.
Pertama, semenjak hari pertama hingga kini saya tidak pernah mengalami kesulitan pernapasan. Yang kedua, adalah karena kemarin saya bisa merampungkan penerjemahan artikel Yuval Noah Harari yang menurut saya sedemikian penting dan kontekstual di tengah-tengah wabah, pandemi global yang kembali dialami dunia manusia.
Mengapa sedemikian penting? Karena wabah pandemik yang menimpa dunia manusia kali tidak saja membuat publik terperangah, tapi juga membuat bingung para pakar khusususya di bidang virologi, epidemiologi, imunologi, maupun para pakar keilmuan lainnya. Permasalahannya kebingungan ini tidak sekadar di level akademis: entah di laboratorium ataupun di ruang-ruang kelas belaka, kebingungan serupa agaknya tengah terjadi juga di kalangan para pengambil kebijakan di seantero dunia.
Yang paling menyedihkan adalah ketika para pengambil kebijakan gagal paham ihwal akar permasalahan krisis ini.
Jika akar permasalahannya saja gagal dipahami, bagaimana pula kita bisa berharap muncul strategi dan mitigasi yang akurat untuk menjinakkan krisis?
Dalam karyanya kali ini Harari menyentak kesadaran para pembacanya–setidaknya saya | penerjemah teks ini–untuk terbangun dari kenaifan menimbang wabah, entah di level manapun juga: outbreak , epidemik ataupun pandemik.
Wabah epidemik maupun berskala pandemik bukanlah pengalaman baru bagi spesies manusia. Sejak Blackdeath ( Great Bubonic Plague | Pestilence ) atau sampar di abad Pertengahan yang membantai total seperempat populasi dunia manusia ketika itu, sampai cacar ( Smallpox ) di abad ke-16 maupun Ebola di abad ke-20 (dan kembali meletus di Afrika Barat tahun 2013-2014), spesies manusia telah belajar banyak tentang cara menanggulangi wabah. Salah-satu tonggak terpenting keberhasilan manusia adalah pada pemberantasan cacar secara total di tahun 1979. Untuk rinciannya jauh lebih nyaman dibaca dari artikel ini sendiri.
Seorang kawan bertanya, apakah yang paling menarik atau membetot perhatian saya dari karya Harari terbaru?
Saya menemukan beberapa simpulan yang begitu sederhana namun menyentak, sebagaimana dikutipkan di bawah ini.
“Satu hal terpenting yang kiranya harus disadari publik luas berkenaan dengan epidemi semacam ini, adalah bahwa penyebaran epidemi di negara mana pun sesungguhnya membahayakan segenap spesies manusia”.
“Dalam perang melawan virus, (umat) manusia perlu menjaga garis demarkasi dengan ketat. Tapi bukanlah garis perbatasan antar negara, melainkan perbatasan di antara dunia manusia dengan dunia virus”.
“Di seantero planet bumi ini tak terhitung banyaknya jumlah virus dan beragam virus baru terus-menerus berkembang melalui mutasi genetik. Garis demarkasi yang memisahkan dunia virus ini dengan dunia manusia melintas secara tidak kasat mata di dalam tubuh tiap insan manusia. Jika virus berbahaya tersebut berhasil menembus perbatasan ini di mana pun juga di permukaan bumi ini, seekor virus ini akan membahayakan segenap spesies manusia”.
Demikian sekelumit teaser , simpulan lebih utuh kiranya bisa didapatkan setelah kawan-kawan membaca tuntas artikel ini.
Demikianlah pendapat saya.
Pondok Cina, 23 Maret 2020. (*)
Garda Sembiring, Dirut EpisCom Nusantara dan Aktivis 90-an
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post