oleh:
Putri Mahira S
Siswa Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Rembang
Wakil Ketua Palang Merah Remaja (PMR) Planet Nufo
Kabariku- Selepas shalat Maghrib, aku belum juga menyiapkan setoranku. Panas-dingin kupergi ke tempat mengaji, menunggu kawan yang lain setor hafalan milik mereka terlebih dahulu.
Belum selesai kusiapkan, waktuku telah habis. Karena Ustadzahku sedang ada tugas kuliah, Ustadzah digantikan oleh Mba Devi yang memang ditunjuk sebagai pengganti jika beliau sedang ada halangan. Mba Devi telah menyuruhku untuk segera maju karena hanya tersisa diriku.
“Mba Omira, ayo setor!” ucap Mba Devi.
Senyum miris kupasang di wajah sembari berkata, “Maaf, Mba Devi. Saya belum siap”. Kukatakan itu sembari menggaruk-garuk kepala bagian belakang yang tidak gatal seperti seorang idiot. Mba Devi memaklumi, memilih menunggu diriku.
Selang waktu yang lama karena diriku yang tak segera-segera, Mba Devi lebih memilih pergi dan menitipkanku kepada Mba Fakhira.
” Mba Fakhira… saya benar-benar belum siap,” ucapku, mengaku.
Mba Fakhira terlihat berpikir. “Ya sudah, gak apa-apa. Santai aja sama saya, tapi besok setorannya ditambah dengan yang sekarang ya,” pintanya. Tentu saja aku menyanggupi, tak mungkin menolak karena aku yang salah di sini.
Sebelum pergi untuk sholat Isya’, jarum jam sudah menunjuk angka tujuh lebih sepuluh menit, aku mengobrol sebentar dengan Mba Fakhira. Tak berapa lama Mba Nadira datang, bergabung.
Kami mengobrol tentang beberapa masalah di kalangan santri remaja perempuan dan dari sana pembahasan mulai melenceng kemasalah percintaanku yang tak selesai-selesai.
Ya, benar. Memang banyak dari santri perempuan yang mengetahuinya karena diriku yang meminta banyak nasihat dari mereka. Bahkan, beberapa Ustadz/ah pun mengetahuinya.
Bilanglah diriku ini berlebihan, tapi aku tak peduli. Sudah satu tahun lebih tak berbicara bahkan menyapa, apalagi yang bisa kulakukan? Tak ada karena diriku yang tak kunjung berani.
Satu hal yang kuperhatikan sedari tadi, dia di sana, orang yang kusuka duduk tak jauh dari tempatku berada.
“Kamu cuman butuh beberapa langkah kesana, Ra. Ayo dong, berani!” pikirku berkali-kali yang membuatku kadang tak fokus dengan arah pembicaraan.
“Eh, Mira! Dia di sana, lho.. samperin gih!” sepertinya Mba Nadira menyadari arah pandangku.
“E-eh.. apa sih, Mba Nadira ini. Aku cuman pengen ngeliat bunga bougenvile yang ada di sana,” kilahku, malu.
Mba Fakhira yang sedari tadi hanya memperhatikan kini menjadi semangat untuk ikut menggodaku.
“Iya tuh, Ra. Noh, lagi sendiri. Ngobrol sana!” tunjuknya dengan lirikan mata.
“Engga ah.. Mba. Aku gak berani. Dia lewat depanku aja lidahku rasanya kelu,” tuturku mendramatisir.
Mba Nadira yang mendengarnya tertawa. “Bahasamu keren kali, Ra! Tapi, masalahmu gak akan selesai-selesai kalau bukan kamu yang memulai percakapan dengannya,” ujar Mba Nadira, memberi nasihat.
Aku hanya tersenyum tipis, menolak. Mba Nadira dan Mba Fakhira akhirnya menyerah menggodaku. Suasana kembali seperti biasa sampai…
“Mba Fakhira!”
Teriakan itu dilayangkan oleh dia, Andra. Seseorang yang membuatku risau atas suatu hal yang tidak pasti. Memang, aku sadar bahwa aku bodoh karena aku suka dia sebagai perempuan kepada laki-laki yang dimana aku saja tidak tahu apakah kini ia masih menganggapku teman atau tidak.
Aku hanya terdiam ketika mereka bertiga mengobrol tentang sesuatu. Entahlah, aku tak paham dengan apa yang mereka obrolkan. Fokusku hanya tertuju kepadanya, kepada gaya bicaranya yang selalu menggebu-gebu. Sampai Mba Nadira menyadarkanku dan menyuruhku untuk mencoba berbicara dengannya. Aku mengiyakan.
“Eh, Dra.. kamu sekarang lagi nulis apa?” Oke, aku tahu itu kalimat pengawal pembicaraan yang aneh. Tapi, aku tak punya topik lain yang terlintas di kepalaku saat itu selain fakta bahwa dia suka menulis.
Andra yang sedang berbicara dengan Mba Fakhira teralihkan sebentar oleh pertanyaanku.
“Oh.. kalau saya suka bikin apa aja, sih. Tergantung mood,” ucapnya yang lantas kembali menuju pembicaraannya dengan Mba Fakhira.
Jujur saja aku agak kecewa melihat reaksinya, tapi aku tak punya pilihan lain. Kubiarkan mereka kembali berbicara, sedangkan aku kembali ke duniaku sendiri. Meski kadang kucuri dengar pembicaraannya.
Azan Isya’ berkumandang, aku segera pergi dengan mereka yang mengikuti. Kuambil jalan yang berbeda dengannya untuk menetralkan emosi yang bergejolak karena tak sengaja mendengarnya berbicara tentang seseorang, seseorang yang ia sukai.
Ya, benar. Dia telah menyukai orang lain. Aku bisa melihat dari tatapan matanya ketika orang yang ia sukai berada tak jauh di depannya.
Di jalan aku berpapasan dengan Mba Fakhira. Aku menyapanya lantas mendekati karena tujuan kami sama, Masjid.
“Mira, tau gak? Kata Andra dia pengen kasih hadiah untuk Lina di hari ulang tahunnya,” ujar Mba Fakhira, memberi tahu.
“Eh, hadiah apa? Kasih tahu dong,” tanyaku sembari memaksakan senyum dan mencoba memasang wajah tertarik.
“Dia pengen buat puisi, dibacain terus entar dikarim pakai VN ke Lina yang lagi pulang ke rumah karena sakit,” ujarnya dengan senyum terkembang. Mba Fakhira sepertinya Mba sangat antusias, ya?
“Serius?! Ya ampuun.. so sweet bangeet..” ujarku, mencoba ikut antusias.
“Iya, kan? Tapi.. kamu gak apa-apa kan, Ra? Saya beritahu tentang hal ini?” tanyanya, mencoba memastikan.
“Hahaha… gak apa-apa, Mba. Saya malah seneng kalau tau dia beneran suka sama Lina. Jadinya kan saya gak sia-sia harus tutup mulut,” ucapku sambil memasang senyum lebar.
Mba Fakhira bernapas lega. Ia pamit karena baru ingat bahwa ia lupa mengambil wudhu. Aku mengangguk padanya dari kejauhan karena selepas dia izin pamit, ia segera pergi.
Shalat Isya’ berjamaah sudah selesai dilaksanakan. Kini hanya segelintir orang di tempat yang sedang melaksanakan ba’diyah isya, disalah satunya adalah aku. Meski jarang kulakukan, tapi kini aku benar-benar membutuhkan ketenangan.
Setitik air mata jatuh begitu saja ketika aku sedang ruku’. Ya, genangan air mata yang sudah kutahan sejak sholat isya tadi. Etah, tapi rasanya dada ini sesak ketika mengingatnya.
Bahasa zaman sekarang, diriku ini lebay, ya? Tak apalah jikalau ketahuan menangis, mungkin hanya menanggung malu. Aku hanya ingin menangis dengan nyaman sembari menghadap-Nya.
Usai sholat ba’diyah Isya, aku pergi ketempat yang biasanya menjadi tempatku belajar ketika Kamis malam. Di sana telah menunggu teman-teman yang sudah siap mendengarkan materi dari Ustadzah. Aku agak terlambat, namun untungnya Ustadzah belum datang.
Ku mulai membuka buku “BIG BOSS” berwarna merah milikku sembari menunggu Ustadzah datang. Kutuangkan resah dalam hati menjadi sebuah tulisan yang jika dibaca oleh orang lain akan menggelikan. Sembari menulis, kadang tak sengaja obrolan disebelah terdengar membuatku terkikik geli hingga dilihat aneh oleh yang lain.
“Kenapa, kenapa aku harus bersedih ketika tak sengaja medengar berita tentangmu dan dia yang kau suka? Hei, siapa kamu sebenarnya?”. Kamu hanya seseorang yang dulu dekat, tapi kini jauh.
Seseorang yang membuatku terpesona ketika berbicara dengan penuh semangat, tersenyum, tertawa, ataupun ketika dalam mode serius.
“Kamu sebenarnya siapa, sih? Seseorang yang kini tak pernah mengobrol bahkan menyapa di jalan. Hei, apakah kamu tahu? Meski jujur, aku yakin kamu bahkan tak pernah mempertanyakan kehadiran diriku lagi.
Satu tahun lebih kupikirkan, “Apakah aku membuat kesalahan padanya? Apa kelakuanku ada yang membuatnya merasa jijik? Apa dia risih dengan rumor yang dulu pernah sempat menyebar antar aku dan dia? Jujur, kupikirkan semua itu”.
Jika ada yang ingin tertawa, maka tertawalah! Kupersilahkan karena aku tahu aku ini bodoh. Mengharapkan dia yaang bahkan tak pernah lagi menghiraukan keberadaaanku. Tak pernah kupikirkan kalau suatu saat nanti akan ada saat dimana dia mengobrol panjang-lebar denganku lagi.
Hhhh… tak kumengerti apa yang sebenarnya kurasakan ini. Katanya hanya nyaman sebagai teman, tapi sakit ketika ia berbicara begitu semangatnya dengan perempuan lain. Ketika ia menatap dalam diam kepada seseorang.
Apa yang mesti kulakukan selain diam? Keadaan dimana aku yang tak bisa mengungkapkan rasa juga tak ingin mendapat balasan. Ya, aku tahu. Aneh, bukan? Ketika yang lain akan senang jika orang yang mereka sukai memberi respon yang sama, maka aku tidak.
Aku lebih memilih perasaan ini tak pernah tersampaikan padanya. Walau aku tak bisa membiarkan mulut ini berhenti memberi tahu yang lain. Meski pada akhirnya dia mengetahui, tak masalah. Aku tahu sikap apa yang akan diambilnya.
Kini, yang meski belum dipenghujung ceritaku, aku tak tahu lagi kata apa yang bisa mendeskripsikan isi hati. Semalam suntuk kucoba mengais kata demi kata, namun tak kunjung pula ada.
Terimakasih telah berkenan membaca hingga tuntas.***
Red/K.101
BACA juga Berita menarik Seputar Pemilu KLIK disini
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post