oleh: Putri S. Mahira
Siswa Kelas VIII
SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Rembang,
Wakil Ketua Palang Merah Remaja (PMR) Planet Nufo

“Meera!”
Kabariku- Aku yang mendengar seruan itu sontak membalikan badanku. Namun betapa terkejutnya diriku mendapati bahwa ternyata sosok yang memanggilku adalah perempuan yang menjadi bagian dari masa laluku yang miris. Aku nyaris membeku di tempat.

Sosok perempuan itu yang begitu polos. Namun, ia menyimpan sesuatu yang mampu membuatku merasa kecewa. Tapi apakah aku bisa menyalahkannya, jika Sang Perempuan bahkan tak tahu apapun tentang perasaan masa lalu itu?
Demi menjaga kesopanan, ku hampiri ia. Ku sebut namanya dan tentunya bertanya kabar ketika sampai. Telah lama ku tak melihat sosoknya, karena aku yang terus berlari pergi dari bayang-bayang kelam itu. “Indri, how you know it’s me, eh? But, what’s new?”.
Indri tersenyum, senyum yang amat kukenal. So she’s all right, huh? Aku ikut tersenyum. Senyum yang beberapa tahun terakhir selalu kuperlihatkan kepada orang-orang. Namun masih begitu asing bagi Indri, terbukti melihat dahinya yang berkerut. Aku tertawa, melambaikan tangan. There’s nothing going on, itu maksudku. Kami sudah terbiasa menggunakan bahasa tubuh.
Tak lama kusadari bahwa ada sesuatu dari dirinya yang berubah. Ku tundukan kepala. Ah, ternyata benar. Kalian sungguh menjadi sesuatu, ya?
Aku bertanya apakah ia sendirian karena begitu melihat perutnya yang begitu membulat besar membuatku bertanya-tanya akan sudah berapa lamakah diriku ini berlari, menjauh dari benang-benang merah bernama takdir itu? Indri menggelengkan kepala. Ia bilang bahwa ia tadinya bersama Mas Aksa namun Mas Aksa ada keperluan sebentar dengan seorang kolega.
Sebenarnya Mas Aksa berpesan agar ia tetap menunggu di warung pinggir jalan sana. Aku mampu melihat mobil hitam yang kukenali karena stiker-stiker di belakangnya. Namun ia melihat sosokku yang berjalan sendirian, mengelilingi taman. Ia awalnya sedikit tak mengira bahwa itu diriku, tapi ia bilang bahwa ia sangat mengenali postur tubuhku, rambutku, sampai cara jalanku. Akhirnya ia menghampiri ku dan tebakannya benar.
Aku terdiam mengetahui alasannnya dapat mengenaliku dan mengapa ia bisa berada di sini, di tempat yang sama sekali jauh dari rumahnya berada. Ku ajak ia untuk duduk di sebuah kursi taman yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berada. Aku ingin mengajaknya berbincang sejenak sebelum seseorang datang menjemputnya.
Selepas ku bertanya kabar tadi, aku bertanya akan kehidupannya sehari-hari saat ini. Ia menjawabnya dengan riang, namun kala menyebutkan beberapa hal sikapnya berubah menjadi agak pendiam. Itu adalah saat dimana ia berbicara tentang suaminya, Mas Aksa.
Sontak aku tertawa. Lihatlah, dirinya yang pemalu nan pendiam tidak berubah. Ku kira dengan menyeru namaku tadi, Tuhan telah memberikannya sedikit keberanian. Dulu ketika aku masih di sisinya, akulah yang selalu menyerukan namanya dan menghampirinya. Ia juga jarang berbicara banyak-banyak. Anggapan orang-orang yang mengenal kami berdua adalah bahwa Indri Kalila ialah seorang introvert. Dan aku, Meera Anindira adalah kebalikan dari semua sifat Indri Kalila.
Jika Indri pemalu saat ditanya pendapatnya, maka aku adalah orang yang akan menyerukan pendapat seorang Indri Kalila. Akulah yang selalu ada di sisinya dan ia yang selalu ada di sisiku. Namun kami saling mengkhianati satu sama lain, tanpa ia mengetahuinya. Ia tak mengetahuinya sama sekali.
Ia tak mengetahui perasaanku karena meski aku orang yang terbuka, namun aku pula orang yang pandai menjaga isi hatiku. Tak ku ucapkan walau sepatah hal pun tentang isi hatiku. Karena aku tahu, tak akan ada guna jikalau pun ku beritahu.
Indri terus bercerita begitu banyak hal. Hingga sampai di bagian tentang orang tua ku. Mereka selalu menanyakan keberadaanku kepada Indri dan Mas Aksa. Namun kala itu, mereka berdua memang sama sekali tak mendengar berita apapun tentangku. Begitu terus yang terjadi sampai tiga tahun ke depan, orang-orang mulai melupakanku yang tidak diketahui keberadaannya.
Jujur saja, aku tak begitu terkejut mendengarnya karena sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi selepas aku pergi dari rumah. Namun aku cukup bingung ketika Indri berkata bahwa Mas Aksa menjadi lebih pendiam dibandingkan dulu. Hei, bukankah Mas Aksa sama cerewetnya denganku? Apa maksudnya itu?
Juga ketika mendengar begitu banyak cerita yang Indri ceritakan, aku terdiam. Sebenarnya sudah berapa lama aku membawa lari diriku, sendirian di lorong gelap itu sebelum akhirnya menemukan cahaya? Aku tak terlalu memperhatikan berapa lama waktu berlalu. Ternyata aku berlari terlalu kencang hingga meninggalkan semuanya di belakang. Huh, miris.
***
Matahari kini hampir bersembunyi di peraduannya. Kami telah berbincang begitu lama. Dari kejauhan dapat kulihat walau samar sesosok bayangan yang kukenali berjalan ke arah kami. Sosok yang kusayangi sekaligus ku benci. Sosok yang kurindukan, namun ku tak berharap pula dapat melihatnya lagi. Sosok itu juga dapat melihat diriku. Hal yang ku sesali karena setelahnya dapat kulihat ia yang berlari kencang menuju kami.
Sepertinya Indri dapat melihat perubahan raut wajahku. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Sungguh, Indri tidaklah mengetahui apapun. Aku pula tak kuasa untuk memberitahunya. Hatinya terlalu putih untuk kuberi setetes tinta.
Tak ingin menciptakan masalah, aku segera berdiri untuk pamit kepada Indri. Dapat kulihat jelas tatapannya yang tak rela, tapi ia tak mungkin bisa menahanku. Aku pun juga, hanya saja aku tak ingin masalah itu menjadi makin merambat kemana-mana. Namun, sungguh, Indri, aku harus pergi karena aku tak mau membuatmu sedih perihal masa lalu itu.
Segera ku berlari pergi menuju mobil ku yang terletak lumayan jauh dari taman, berusaha meninggalkan semua itu di belakang. Cukup sudah dengan semua yang terjadi sebelumnya. Aku tak ingin peduli!
Sosok itu berhasil mencapai tempatku bersama Indri tadi. Namun Indri entah mengapa merasakan kram di perutnya, membuat Aksa tak bisa mengejarku. Sayangnya juga aku sudah tak ingin peduli lagi dengannya.
Meski terjadi cukup cepat, aku bertatapan mata dengannya. Dapat kulihat emosi bercampur-campur di mata itu. Hhh.. maaf. Aku sudah memutuskan untuk tak kembali ke hadapmu.
Ku senderkan tubuhku di pintu mobil. Dengan segera lelehan air mata berjatuhan ke tanah. Lelehan itu yang ku tahan sedari tadi dari hadapan Indri. Aku tak tahu akan semenyakitkan itu begitu ku melihatnya dalam nyata. Aku tak tahu.
Seperti sebuah jarum kecil yang masuk ke dalam hatiku, namun aku tak menyadarinya. Aku tak menyadarinya sampai hari ini. Ketika aku harus kembali melihat sosok itu. Sesosok yang menghancurkan masa remajaku yang menyenangkan.
Awalnya aku tak menyadari bahwa rasa itu ada dan malah tumbuh dengan suburnya. Sungguh ku tak menyadinya sampai dimana aku mengetahui bahwa Indri dan Mas Aksa dijodohkan. Aku tak tahu bahwa rasa itu ada sejak lama karena tak pernah kurasakan sebelum ia menghancurkan benteng pertahananku. Sungguh ku tak pernah mengetahuinya.
Tiiit… tiiit… tiiit…
Suara kelakson membangunkanku dari lamunan. Aku tak menyadari lampu merah sudah berubah hijau sedari tadi. Hhh… kenapa masalah ini menjadi kapiran seperti ini?
Segera ku lajukan mobilku di jalanan kota yang tak ramai-ramai amat. Melihat begitu banyak pemandangan membuatku agak tenang. Tak apa. Semua akan baik-baik saja jika aku segera kembali. Semua akan baik-baik saja.
Segera ku menelpon orang kepercayaanku. Memberitahunya untuk membelikan sebuah tiket pesawat. Jika aku tak bisa menyelesaikan masalah ini, maka aku hanya harus pergi. Aku tahu ini adalah langkah yang bodoh. Namun sungguh, percayalah. Aku sudah tak mempunyai pilihan lain.
Tak ingin mengharap, namun aku yakin akan ada seseorang yang datang mencariku. Jika aku tak segera pergi, bisa-bisa aku akan tertangkap dan harus menemuinya. Aku tak ingin melakukan itu. Dan jelas aku mengenal betul sahabat masa kecilku yang bernama Aksa Gunandya itu. Ia tak akan menyerah begitu saja kala mendapati hal yang ia inginkan gagal ia dapatkan. Aku tak bodoh untuk tak menyadari apa maksud dari tatapan Mas Aksa sebelumnya.
***
“Meera!”
Aku sontak menoleh untuk melihatnya. Ialah seorang lelaki yang telah menjadi sahabatku selama tujuh tahun, Aksa Gunandya. Seseorang yang entah mengapa akhir-akhir ini selalu kuperhatikan.
Aku berlari kecil ke arahnya seraya melambaikan tangan, tertawa. “Ada apa?” tanyaku setelah sampai di depannya. Tumben sekali Aksa memanggilku.
Ia tersenyum lebar, senyum yang selaluu ia tunjukan kala meminta tolong akan sesuatu. Tangannya meraih sesuatu di saku celana. “Tolong berikan ini kepada Indri, sahabatmu, ya?”
Deg!
Entah kenapa tiba-tiba sekali rasanya ada sesak disini, di dada ini. Ku ambil kertas yang kutebak adalah surat itu dengan ragu. Sepertinya aku tahu apa isi surat itu.
Ku coba pasang senyum terbaikku. “Oke, serahkan pada Meera tentang hal ini. Jamin setelah Indra membacanya, ia akan langsung mengatakan ‘Iya’.” Segera aku pergi dari hadapannya. Aku tak peduli dengan raut wajahnya karena aku tahu akan seperti apa raut wajah itu.
***
Aku terbangun dari mimpiku. Ku hembuskan napas kasar. Hhh… mimpi seperti itu lagi.
Seorang pramugari datang kepadaku. Sudah standar pelayanan ia menwarkan sesuatu yang mungkin ku butuhkan. Aku hanya meminta botol mineral. Aku tak lapar meski sudah tidak menelan makanan selama duabelas jam penerbangan.
Ya, aku sudah berada di pesawat selama duabelas jam penerbangan menuju New York. Aku tahu ini pilihan yang buruk, namun seperti yang sudah ku beritahu sebelumnya bahwa aku sungguh tak mempunyai pilihan.
Memandang botol yang ada di pangkuannya, meminumnya hingga tersisia setengah saja. Hhh … apa yang harus ku lakukan setelah ini? Ku hembuskan napas ku pelan yang entah sudah ke berapa.
***
Tanpa ada yang menyadari, seseorang tengah duduk diam di kursi pojok kiri belakang pesawat. Ia memeluk erat tas gendong hitam kecil di pangkuannya seakan tak bisa hidup tanpanya. Sudah sejak tadi ia mencoba menetralisir hatinya yang gundah. sebagian rencana sudah selesai sekarang aku hanya harus melakukan ini, namun apakah aku benar-benar harus melakukan ini?
Dirinya memanggil pramugari yang kebetulan melintas di sampingnya, menanyakan letak toilet. Ia berdiri untuk pergi ke toilet, masih memeluk tas gendong hitam itu. Sebenarnya ia tak ingin melakukan ini, tapi ia terpaksa. Hhh … tak apa, semua akan berakhir ketika aku selesai melakukan ini.
Sampai di dalam toilet, ia segera mengeluarkan isi tas miliknya. Adalah bahan-bahan asing yang tak di ketahui. Dirangkainya bahan-bahan itu menjadi satu kesatuan. Kecil, namun mematikan.
Ia menyeka keningnya yang dibanjiri keringat padahal sudah jelas bahwa temperatur udara di sana tidaklah panas. Selesai. Ia taruh benda itu di balik sebuah lemari kecil yang ada di sana, menyembunyikannya.
Ia keluar dari kamar mandi, mencoba santai. Masih dipeluknya tas itu agar tak membuat curiga para pekerja. Dilangkahkannya kakinya menuju tempat duduknya sembari membuat tanda salib di dada.
Euh …
Kembali ku terbangun dari tidur nyenyakku. Ku regangkan tubuhku yang rasanya sedikit pegal. Melihat jam tangan yang bertengger diam di tangan. Aku belum mengubah ke waktu setempat, tapi jika benar maka sekarang sudah pukul sepuluh malam.
Deg …
Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak kala tak sengaja melihat toilet di belakang sana. Mengambil botol airku yang tinggal setengah, meminumnya sampai habis. Ku ucap syahadat dan tahlil, pelan. Sebenarnya itu jarang kulakukan, namun entah karena dorongan apa aku tiba-tiba ingin melakukannya.
Melihat jarum yang bergerak di jam tanganku entah mengapa membuatku gelisah, seakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Tak lama aku tersentak kaget, perasaan ini, aku mengenal perasaan ini. Perasaan yang selalu kurasakan jika ada kematian di dekatku.
Ku tolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, siapa tahu aku akan mendapat pentujuk. Namun, nihil. Tak ada apapun yang aneh kecuali seorang pria dipojokan kiri sana. Ia tampak tak biasa.
Menghela napas, seharusnya aku tak berprasangka buruk seperti itu. Sebaiknya aku kembali sibuk dengan tulisanku. Meski menjadi seorang wanita karir yang sibuk, namun aku tetap mengerjakan pekerjaan lamaku, seorang penulis.
Ku ambil laptopku, menyalakannya dan membuka file lama di app berwarna biru. Mengambil napas, merilekskan kepala. Merapalkan syahadat dan tahlil. Ku kembali bekerja dengan pikiranku agar dapat menyelesaikan cerita yang sudah ku tulis selama tiga hari ini.
***
Sungguh tiadalah yang menyadari ada sesuatu yang salah di pesawat itu. Tiada seorangun terkecuali Meera. Namun sayang, Meera lebih memilih untuk tak peduli. Entah apa yang akan terjadi pada pesawat ini.
Benda yang ditaruh oleh si pria tadi mulai terpengaruh oleh wktu yang berdetak di sana. Hanya dalam hitungan menit lagi hingga ia “membuka cangkangnya” bersama “saudara-saudaranya” yang lain. Namun sayang, sudah tak ada lagi yang bisa di lakukan.
Kini kita hanya dapat menunggu hingga “sesuatu” itu mekar. Namun, semoga kita masih dapat berharap keajaiban akan muncul. Tapi apakah “ia” akan datang jika kita hanya berharap?
Detik-detik berharga kehidupan masih bisa berjalan di pesawat ini. Udara yang dingin pun masih dapat dihirup. Namun, sampai kapan?
Kini tinggal hitungan detik sebelum itu mekar. Di saat yang sama Meera pun telah selesai dengan cerpen pendeknya. Ia memutuskan akan mempublikasikan cerpennya itu di blog pribadi miliknya. Blog yang ia buat sejak semester lima. Meski di pesawat, ia tetap dapat mempublikasikannya. Hanya tinggal menunggu sampai diperbolehkan dan Ting! Itu akan ter-publish secara otomatis.
Tapi Meera, penumpang, dan petugas yang lainnya tidak menyadari waktu mereka yang kian menipis. Tinggal lima detik lagi dan Meera terus melapalkan syahadat serta tahlil-nya. Entahlah ia juga tak mengerti apa alasannya melakukan itu, tapi yang pasti instingnya menyuruhnya demikian.
***
Suara siaran televisi yang ada di etalase toko terdengar keras dikarenakan ada sebuah berita yang cukup mengejutkan. Sebuah bangkai pesawat ditemukan di Samudera Atlantik bagian timur dekat dengan perairan Amerika. Diketahui bahwa pesawat ini membawa limaratus-limapuluh penumpang bersamanya. Hingga kini, petugas baru menemukan setengah dari penumpang sekaligus petugas. Untuk yang lain masih dilakukan pencarian. Itulah isi beritanya, sebuah berita yang cukup mengejutkan dunia.***
Red/K.000
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post