Tasikmalaya, Kabariku – Innalillahi wa innailaihi roji’un. Dunia pergerakan, pesantren, dan rakyat Tasikmalaya berduka mendalam atas wafatnya sosok pejuang, ulama, sekaligus pengobar semangat rakyat dalam Tragedi Tasikmalaya 1996, Ajengan Mimih Haeruman.
Tepat pada Minggu dini hari, pukul 04:30 WIB, di Rumah Sakit Jantung Tasikmalaya, tokoh karismatik yang akrab disapa Kang Mimih menghembuskan napas terakhirnya dalam usia penuh pengabdian.
Lebih dari sekadar pemimpin pesantren, Ajengan Mimih adalah simbol perlawanan. Naga hijau dari Tasikmalaya ini dikenal luas karena perannya yang monumental dalam menggerakkan rakyat melawan ketidakadilan pada masa Orde Baru.
Namanya lekat dalam ingatan kolektif rakyat Tatar Sunda, terutama dalam peristiwa Tragedi Tasikmalaya 1996, ketika gelombang kemarahan rakyat meletus dan mengoyak kelengangan kota di bawah rezim represif.
Kala itu, di bawah Patung Macan, ikon perlawanan di jantung Tasikmalaya, Kang Mimih berdiri tegak, menyuarakan perlawanan tanpa gentar.
Ia bukan hanya orator, tetapi pemantik kesadaran. Ucapannya menggema:
“Pemimpin sejati adalah yang membebaskan bangsanya dari belenggu ketakutan dan kesewenang-wenangan!”
Sebuah seruan yang menyulut keberanian rakyat dan menjadi bagian dari gelombang menuju Reformasi 1998.
Namun perjuangan Kang Mimih tak dimulai di jalanan, tapi dari ruang-ruang ideologis mahasiswa.
Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum PMII Cabang Garut (1994-1997), mendampingi Galih F. Qurbany sebagai Ketua Umum.
Formasi ini dikenal sebagai sentrum intelektual dan penggerak di era kritis menjelang runtuhnya Orde Baru.
Dalam duet itu, Mimih menjelma sebagai organisator ulung dan jembatan ideologis antarkelompok pergerakan.
Di masanya, PMII Garut bukan sekadar organisasi mahasiswa; ia adalah dapur pemikiran dan pusat pembentukan watak perlawanan.
Kang Mimih menjadi mentor spiritual, teman seperjuangan, dan pembakar semangat yang menanamkan makna bahwa perjuangan bukan semata tentang perubahan politik, melainkan jihad moral dan sosial.
Warisan Kang Mimih bukan hanya pada sejarah yang ditorehkannya, tetapi pada semangat yang ia titipkan: bahwa orasi bisa menjadi dzikir jika diniatkan untuk kebenaran, dan bahwa keberanian melawan kezaliman adalah ibadah tertinggi.
Dalam dirinya, aktivisme berpadu dengan ketulusan seorang ulama.
Kini, pejuang itu telah tiada. Tapi ia tidak benar-benar pergi. Api yang dinyalakannya masih menyala, menyusup dalam dada ribuan murid, aktivis, dan rakyat kecil yang pernah disentuh semangatnya
Selamat jalan, Ajengan Mimih Haeruman
Engkau telah menjalani tugasmu di bumi dengan penuh keberanian. Kini Tuhan memanggilmu pulang.
Semoga surga menjadi tempat istirahatmu yang abadi — tempat bagi mereka yang tak gentar berdiri di hadapan kezaliman, tempat bagi para pecinta kebenaran.
Dan kami, yang ditinggalkan, akan terus menjaga nyala itu. Karena engkau telah menunjukkan: hidup bukan tentang lamanya waktu, tapi tentang dalamnya makna.
Ditulis sebagai penghormatan untuk KH. Mimih Haeruman, pejuang demokrasi, Sekretaris Umum PMII Garut 1994–1997, naga hijau Tasikmalaya, dan guru umat yang tak pernah lelah menggelorakan kebenaran.*Hsn
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post