Jakarta, Kabariku – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, kembali mengingatkan pentingnya kesigapan nasional dalam menghadapi dinamika global, menyusul eskalasi ketegangan geopolitik di kawasan Teluk Persia. Pada 22 Juni 2025, seperti dilaporkan Reuters, parlemen Iran secara resmi menyetujui keputusan untuk menutup Selat Hormuz sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir strategis Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Meski keputusan implementasi masih menunggu otorisasi Dewan Keamanan Nasional Iran, ancaman ini telah memicu lonjakan harga minyak dunia dan menimbulkan kecemasan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Selat Hormuz adalah jalur sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab, dan menurut The New York Post, jalur ini dilewati sekitar 20 persen pasokan minyak global. Jika ditutup, maka tidak hanya negara-negara di Timur Tengah yang terguncang, tetapi seluruh ekosistem energi dunia akan terdampak—termasuk Indonesia, yang hingga kini masih sangat bergantung pada impor BBM dan belum memiliki cadangan energi strategis yang memadai.
“Penutupan Selat Hormuz bukan sekadar langkah militer Iran, ini adalah peringatan besar bagi semua negara untuk berbenah soal kemandirian energi,” tegas Haidar Alwi.
Krisis di Teluk, Tekanan di Domestik
Lonjakan harga minyak dunia pasca serangan udara AS ke Iran membuat harga Brent melonjak hingga mendekati USD 110 per barel, sebagaimana dilaporkan oleh Business Insider Markets. Dampak langsungnya terhadap Indonesia sangat terasa: sebagai negara net importir energi, lonjakan harga ini menambah tekanan besar terhadap subsidi energi dalam APBN, mempersempit ruang fiskal, dan memicu potensi inflasi.
Efek lanjutan akan terasa di seluruh lapisan masyarakat. Harga BBM nonsubsidi diprediksi naik, diikuti lonjakan biaya logistik dan harga pangan. Transportasi publik dan tarif industri juga terancam naik. Menurut Haidar Alwi, ini adalah akibat dari kegagalan masa lalu dalam mempercepat transisi energi nasional menuju kemandirian.
“Tidak ada negara yang kuat secara geopolitik jika masih mengimpor jantung energinya. Kita seperti menaruh denyut nadi nasional di tangan negara lain. Ini waktunya bangkit,” tegasnya dalam diskusi daring Haidar Alwi Institute bertajuk Strategi Energi Nasional dalam Krisis Global.
Seruan Tindakan: Lima Solusi Strategis
Haidar Alwi menyampaikan bahwa krisis ini bukan untuk ditanggapi dengan retorika, tetapi dijawab dengan kebijakan nyata dan jangka panjang. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto harus segera mengambil langkah-langkah berikut:
- Membentuk Cadangan Minyak Strategis Nasional minimal setara kebutuhan 30 hari untuk seluruh Indonesia, sebagai antisipasi gangguan pasokan.
- Mendorong percepatan hilirisasi energi lokal seperti biodiesel B50, pemanfaatan energi surya di wilayah desa, serta produksi bioetanol dari tebu dan sagu.
- Diversifikasi jalur dan mitra dagang energi dengan membuka kerjasama strategis bersama Rusia, Australia, dan negara-negara Afrika, untuk mengurangi ketergantungan terhadap rute Selat Hormuz.
- Mendirikan pusat logistik BBM regional khususnya di Indonesia bagian timur, demi pemerataan dan ketahanan logistik.
- Menginisiasi forum energi ASEAN untuk menyatukan respons regional terhadap krisis geopolitik, sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai pemimpin kawasan.
“Indonesia jangan hanya bersiap menghadapi badai, tapi juga harus jadi nahkoda di tengah gelombang,” ujarnya menegaskan.
Harapan dari Sosok yang Konsisten Menyeru Kemandirian.
Harapan dari Sosok yang Konsisten Menyeru Kemandirian.
Haidar Alwi berharap Presiden Prabowo Subianto menjadikan krisis Selat Hormuz ini sebagai titik balik untuk memperkuat ketahanan nasional, khususnya di sektor energi. Ia menilai bahwa langkah-langkah strategis Presiden dalam urusan pertahanan dan diplomasi harus diselaraskan dengan visi besar kemandirian energi agar Indonesia tidak mudah terombang-ambing oleh dinamika global.
Ancaman atas Selat Hormuz menunjukkan bahwa ketergantungan adalah kelemahan yang menunggu waktu. Justru di tengah tekanan geopolitik ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk melakukan lompatan besar. Dari negara pengimpor, menjadi negara pengatur arah.
“Krisis bukan untuk ditakuti, tapi untuk dijadikan kompas kebangkitan. Negeri ini terlalu besar untuk terus bergantung,” pungkas Haidar Alwi.(Bem)***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post