Jakarta, Kabariku – Peringatan Hari Bumi tahun ini menjadi momen refleksi mendalam bagi warga Ibu Kota. Perkumpulan GERAK (Gerakan Rakyat Jakarta) menyatakan bahwa kondisi lingkungan Jakarta semakin memprihatinkan.
“Dari kualitas udara yang memburuk hingga minimnya ruang hijau, kota ini dinilai tengah mengalami krisis ekologis yang nyata,” ungkap Ketua Umum GERAK Dhini M dalam rilisnya Selasa (22/4).
Perkumpulan GERAK menuntut Gubernur Jakarta untuk segera mengubah arah pembangunan menuju visi yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada lingkungan.
Krisis Lingkungan Jakarta: Realita yang Tak Bisa Disangkal
Berdasarkan data dari IQAir per Maret 2025, Jakarta konsisten menempati posisi tiga besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Konsentrasi partikel polusi PM2.5 tercatat mencapai 85 µg/m³, jauh melampaui ambang batas aman WHO yang hanya 5 µg/m³. Wilayah Jakarta Timur, Utara, dan Pusat menjadi kawasan dengan dampak paling parah, sementara kebijakan Rencana Aksi Udara Bersih dinilai masih sebatas seremonial dan belum efektif.
Tak hanya udara, tanah Jakarta juga terus mengalami penurunan permukaan, rata-rata 4 hingga 6 cm per tahun. Jakarta Utara bahkan mencatatkan penurunan ekstrem hingga 11 cm per tahun.
GERAK menyebut eksploitasi air tanah dan pembangunan masif sebagai pemicu utama, sementara implementasi Perda Pengendalian Air Tanah masih minim. Investasi pada sistem air minum perpipaan pun dinilai tertinggal jauh.
Ketimpangan Ruang Hijau dan Krisis Sampah
Target ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30 persen dari total wilayah kota sebagaimana diamanatkan UU No. 26 Tahun 2007, hingga kini masih jauh dari realisasi. Data Dinas Pertamanan dan Hutan Kota mencatat bahwa per 2024, RTH Jakarta baru mencapai 9,92 persen. Kondisi ini berdampak langsung pada daya serap air, kualitas udara, dan kenyamanan ruang publik bagi warga kota.
Sementara itu, persoalan sampah pun belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Jakarta menghasilkan lebih dari 7.800 ton sampah per hari, namun hanya 4 persen yang berhasil didaur ulang secara optimal. Ketergantungan terhadap TPST Bantargebang masih tinggi, sementara inisiatif pengelolaan sampah dari sumber atau program zero waste belum berjalan massif. Penyusunan Perda Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas pun masih terkatung di DPRD.
Keadilan Iklim, Janji yang Masih Tertunda
GERAK menyoroti bahwa kelompok masyarakat miskin yang tinggal di bantaran sungai, pesisir, dan permukiman informal menjadi yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sayangnya, program adaptasi iklim yang ada masih bersifat jangka pendek dan belum menyatu dalam rencana pembangunan daerah.
Seruan GERAK: Waktunya Jakarta Dipimpin dengan Visi Ekologis
Sebagai ibukota negara dan etalase Indonesia di mata dunia, Jakarta membutuhkan pemimpin yang berani mengambil sikap untuk menyelamatkan lingkungan. GERAK menyerukan lima langkah konkrit kepada Gubernur Jakarta, antara lain:
- Moratorium pembangunan yang merusak ekosistem alami, termasuk reklamasi dan penebangan pohon kota.
- Realisasi Rencana Aksi Udara Bersih yang nyata dan melibatkan komunitas warga secara aktif.
- Peningkatan investasi dalam air perpipaan untuk mengakhiri ketergantungan pada air tanah.
- Perluasan ruang hijau berbasis komunitas serta penguatan peran taman kota.
- Penerapan insentif bagi warga dan komunitas yang mampu mengelola sampah secara mandiri.
Jakarta Perlu Arah Baru
Hari Bumi bukan sekadar seremoni tahunan. GERAK menekankan bahwa Jakarta hanya akan bertahan jika pembangunannya berlandaskan prinsip keberlanjutan. Kepemimpinan hijau menjadi kunci. Warga siap bergerak, namun pemimpinlah yang harus menjadi contoh terlebih dahulu.
“Selamat Hari Bumi 2025. Mari rawat kota ini—satu pohon, satu napas, satu tindakan pada satu waktu,” tutup Dhini M. (Bem)***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post