Jakarta, Kabariku- Kerja sama internasional menjadi faktor krusial agar penanganan kasus korupsi efektif, terlebih jika pelaku korupsi tidak terikat oleh batasan wilayah, dan modus operandinya terorganisir dengan yurisdiksi lintas negara. Optimalinya kerja sama tersebut juga dibutuhkan dalam pemulihan aset (asset recovery) yang terkait korupsi yang berada di luar negeri.
Poin penting ini mengemuka dalam kegiatan diskusi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) bertajuk ‘Peninjauan Kembali Implementasi Perangkat Rekomendasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)’, pada Selasa (14/11/2023).
Pemulihan aset merupakan upaya KPK untuk memberantas korupsi yang berdaya guna. Dalam implementasinya, KPK melakukan pemulihan aset melalui barang rampasan milik tindak pidana korupsi dengan pengenaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada pelaku tindak pidana korupsi.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Kartika Handaruningrum menjelaskan, penanganan kasus korupsi sebagai kejahatan transnasional bukan hal yang mudah.
“Pada praktiknya, berbagai upaya yang telah KPK lakukan seperti mencari, menangkap, membawa kembali para tersangka korupsi, dan pemulihan aset, tidak terlepas dari adanya bantuan dan kerjasama dari lintas lembaga dan juga negara lain melalui Mutual Legal Assistance (MLA). Jika kerja sama internasional tidak terjalin, maka akan terus menempuh proses dan waktu yang cukup lama,” kata Kartika.
Untuk itu, lanjut Kartika, berdasarkan Pasal 43 BAB IV UNCAC menjelaskan tentang fasilitas kerja sama internasional yang berupaya untuk memberikan dukungan resmi terhadap permintaan ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik (MLA).
Seperti penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan korupsi, pengumpulan dan pemindahan bukti untuk penggunaannya dalam proses peradilan.
“Selain bantuan hukum timbal balik, peningkatan kerja sama internasional juga dapat mewadahi ekstradisi yang sangat bermanfaat untuk menangani kejahatan korupsi lintas batas negara. Jadi, para pelaku tindak pidana korupsi tak luput dari tanggung jawab hukum meski mereka berusaha kabur ke negara lain,” ungkap Kartika.
Upaya Pemulihan Aset Di Luar Wilayah Yuridiksi
Dalam konteks kerja sama internasional, Direktur Hukum dan Perjanjian Politik dan Keamanan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Indra Rosandry, mengatakan bahwa dalam upaya pemulihan aset dari tindak pidana korupsi yang berada di luar wilayah yuridiksi, berbagai upaya telah dilakukan melalui mekanisme MLA (Mutual Legal Assistance).
“Merujuk pada Pasal 51 Bab V UNCAC menjelaskan tentang pengembalian aset sesuai dengan pasal ini menjadi prinsip dasar dari Konvensi Antikorupsi ini. Adapun prinsip dasar ini terdiri dari kerja sama bilateral mengenai perjanjian MLA dan resiprositas (unsur timbal balik), kerja sama regional di tingkat ASEAN, dan kerja sama multilateral melalui UNCAC,” kata Indra.

Di sesi sebelumnya, Crime Prevention and Criminal Justice Officer United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Badr El Banna, memaparkan rekomendasi UNCAC pada BAB V terkait pemulihan aset.
Indonesia, kata Badr, belum memiliki aturan ketat terkait pemulihan aset tersebut.
“Pemulihan aset dalam skala internasional sangat penting dilakukan melalui kerja sama antar negara. UNCAC salah satu konvensi yang mencantumkan pemulihan aset baik secra langsung maupun melalui pertukaran informasi antar negara,” terang Badr El Banna.
Dengan merujuk UNCAC, UNODC merekomendasikan agar Indonesia dapat membuat aturan hukum yang jelas baik terkait pemohonan pengembalian aset dari luar negeri maupun kejelasan sistem MLA.
Harapannya, upaya-upaya pemulihan aset yang nantinya dilakukan dapat menekan tingginya biaya penyidikan di luar negeri.***
Red/K.101
Baca juga :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post