Jakarta, Kabariku– Pemberitaan media beberapa hari ini tentang kasus perkosaan yang terjadi di Kementerian Koperasi dan UMKM mengagetkan publik.
Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) mendesak Kemenkop UMKM mengusut tuntas kasus ini dan memberikan hukuman berat kepada pelakunya.
Menurut aktivis JPHPKKS Ninik Rahayu, kasus perkosaan yang terjadi di Kemnekop dan UMKM menjadi preseden buruk.
Komisioner Komnas Perempuan dua periode 2014-2016 dan 2016-2019 ini menyayangkan sikap Kementerian yang dianggap abai terhadap kasus ini.
“Cara penyelesaian kasus perkosaan pada prinsipnya harus berpegang pada prinsip pemenuhan hak korban atas kebenaran, pemulihan dan keadilan. Ini yang saya tidak lihat dari upaya yang dilakukan Kemenkop dan Kepolisian,” ujar Ninik dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).
Senada dengan Ninik, Ririn Sefsani, pegiat isu perempuan dan reformasi birokrasi yang juga anggota JPHPKKS mendesak Kemenkop UMKM menindak tegas pelaku dan meminta Kemnekop UMKM segera membuat prosedur standar pelayanan (SOP) pencegahan dan penindakan kasus kekerasan seksual. Supaya kasus KS tidak berulang dan dapat mewujudkan ruang aman bagi perempuan.
“Pemerintah telah mengesahkan UU TPKS. Semua kementerian dan lembaga seharusnya menjadi pioner untuk segera menyusun dan menerapkan SOP pencegahan dan penindakan kekerasan Seksual. Kita tunggu komitmen Kementerian ini juga kementerian lain untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak,” ujar Ririn.
Catatan Penting JPHPKKS
JPHPKKS mendesak dan memberikan catatan penting terhadap kasus ini;
Pertama, kasus perkosaan yang terjadi di Kemenkop oleh Kepolisian telah disangkakan dengan pasal 286KUH) bukanlah delik aduan.
Maka dari itu, kasus ini tidak bisa dicabut apalagi di SP3 kan (diterbitkan surat penghentian penyidikan perkara).
Jikapun ada kekurangan alat bukti dan/atau saksi, maka menjadi tugas kepolisian untuk mencari, menemukan, dan melengkapkan.
Kedua, kasus perkosaan orang dewasa, tidak mengenal penyelesaian mediasi dengan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Pada 18 Maret Kapolres Bogor mengeluarkan SP3 menghentikan tindak pidana kasus ini karena RJ terhadap keempat tersangka pelaku.
Ketiga, Kemenkop UMKM mempunyai tangung jawab hukum untuk mengawal penyelesaian kasus hukum ini, bukan hanya penyelesaian etik. Mengingat korban dan pelaku adalah dalam satu kantor di Kemenkop UMKM.
Upaya pencegahan dan penanganan juga menjadi tanggung jawab dimana para pekerja bekerja, bukan hanya Kepolisian.
Maka penyelesaian dengan cara penurunan jabatan, dan penurunan pangkat serta membiarkan pelaksanaan perkawinan pelaku dan korban merupakan sanksi etik yang tidak menyelesaikan kasus hukum.
Proses hukum dalam kasus ini harus memberikan kepastian pengungkapan kebenaran, pemulihan dan keadilan pada korban.
Keempat, Kemenkop UMKM harus memfasilitasi korban agar mendapatkan keadilan.
Memberikan dukungan kepada korban untuk melanjutkan proses peradilan, tidak melakukan perbuatan yang dapat mempengaruhi keputusan dan keterangan korban sabagai bentuk pelindungan saksi korban.
Kelima, cara penyelesaian kasus perkosaan baik yang dilakukan Kemenkop UMKM maupun kepolisian pada prinsipnya harus berpegang pada prinsip pemenuhan hak korban atas kebenaran, pemulihan dan keadilan.
Keenam, mendesak Kemenkop UMKM untuk segara membentuk tim independen yang bertugas untuk melakukan investigasi terhadap kasus ini dan memberikan rekomendasi penyelesaian yang adil bagi korban.
“Salam Adil dan Setara”.
*Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Red/K.000
BACA juga Berita Seputar Pemilu KLIK disini