JAKARTA, Kabariku- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak menyatukan persepsi dan komitmen semua pihak demi mencegah praktik kejahatan hingga korupsi pertanahan.
“Tanah adalah tempat kita berpijak dan hidup, keberadaannya terbatas sementara penduduk semakin bertambah tentulah kemudian tanah menjadi bernilai sangat ekonomis yang kadang menjadi sumber sengketa dan konflik”.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK, Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H., saat menghadiri Penyelenggaraan Rapat Pra Ops Pencegahan dan Penyelesaian Kejahatan Pertanahan, yang diselenggarakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional, di Jakarta. Kamis (16/6/2022).
“Penyatuan persepsi dan komitmen semua pihak merupakan upaya pencegahan kejahatan dan korupsi dibidang pertanahan,” kata Ghufron.
Dalam pertanahan yang dimulai dari aspek kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan diliputi hukum keperdataan, administrasi dan bisa Pidana.
“Dan ketika berkongkalikong dengan aparat pemerintah kemudian terbumbui suap dan korupsi lainnya,” tuturnya.
Ghufron menjelaskan, Diawali dengan aspek kepemilikan maka diliputi hukum keperdataan tentang tanah maka elemen yang menjadi sumber sengketa ada 2 hal;
Pertama, adalah tentang Fakta obyeknya mencakup keberadaannya, letak lokasinya, batas-batasnya dan seterusnya.
Kedua, aspek alas haknya yaitu bukti surat kepemilikannya, mulai kesesuai surat dengan letak, validitasnya, kontestasi dengan alat bukti lainnya.
“Sebagai bagaian dari benda, maka tanah diliputi azas hak kebendaan. Mengikuti bendanya, preferensi dan seterusnya,” katanya.
Lebih rinci Ghufron mengatakan, Dalam aspek administrasi, yaitu penerbitan Surat Haknya, meliputi SHM, HGB, HGU, dan lainnya yang menjadi ukuran keabsahan surat tersebut dalam perspektif Administrasi diukur dalam 3 hal:
Pertama, Dasar kewenangan substansial/materiil dalam hal ini apakah BPN berwenang mengeluarkan surat kepemilikan hak tsb dan surat tsb scr substansi memang hak pemohon atau pihak yang tertera dalam surat kepemilikan hak atas tanah dimaksud.
“Secara substansi ini harus merujuk kepada pihak yang secara perdata dinilai sah sebagai pemilik baik berdasarkan bukti-bukti kepemilikan adat, pemanfaatan dan penguasaan,” kata Ghufron.
Kedua, Pemenuhan azas legalitas termasuk syarat ketentuan dan prosedur serta penerbitan surat kepemilikan hak atas tanah dimaksud.
“Dan ketiga, Pemenuhan azas umum pemerintahan yang baik publikasi, transparan, fair, proporsional dan lain-lain,” lanjutnya.
Dalam aspek pidana, hak atas tanah maupun penguasaan dapat menjadi tindak pidana dalam hal, Penerbitan haknya, misalnya; surat palsu, dipalsukan, sumpah palsu, keterangan tidak benar dalam akta dan lain-lain.
“Hal kedua, penguasaan dan memasuki pekarangan orang lain dan lainnya, ketiga apalagi jika tanah tersebut merupakan aset negara dan daerah, maka bisa berkembang menjadi tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Lebih jauh Ghufron menjelaskan, Perspektif pidana pada intinya diukur dalam pemenuhan 2 unsur utama yaitu:
- Unsur obyektif, memenuhi ketentuan hukum;
- Unsur subyektif, perbuatannya dan akibat perbuatannya dilakukan dengan sengaja atau kelalaian sebagai bentuk kesalahan.
“Selama kesalahan perdata dan administrasi tidak dilakukan dengan sengaja ataupun kelalaian yang diwajibkannya kehati-hatiannya maka kesalahan administrasi ataupun perdata tersebut masih dalam ranah keperdataan dan administrasi,” terangnya.
Sebaliknya, ia melanjutkan, jika dilanggarnya ketentuan administrasi dan perdata diliputi maksud jahat, motif mendapat keuntungan yang terselubung atau ditutupi.
“Tidak beritikad baik, maka perbuatan dimaksud dapat diduga sebagai perbuatan pidana jika memenuhi ketentuan peraturan pidana,” imbuhnya.
Bahkan dewasa ini, sebut Ghufron, semakin canggih modus sengketa tanah. Ia mencontohkan, dengan berpura-pura bersengketa baik secara perdata, Tata Usaha Negara (TUN) ataupun pidana dengan tidak melibatkan pemilik yang sah dengan tujuan untuk mendapatkan legalisasi dengan putusan pengadilan.
“Ini semua karena sistem pertanahan kita masih belum padu, antar putusan kamar peradilan bisa dikontradiksikan dan anehnya tiap kamar peradilan kok ya bisa saling bertentangan putusannya???,” tandas Ghufron.***
Red/K.000
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com