Mustafa Fatah
Jurnalis Senior – Garoet Pos
Kabariku- Tewasnya wartawan Jaringan Berita Al Jazeera, Shiren Abu Akleh yang berbasis di Doha, semakin membuktikan kekerasan dan ancaman terhadap pers nyata adanya dan terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia.
Pembunuhan itu adalah “kejahatan keji, yang hanya bertujuan untuk mencegah media melakukan tugas jurnalistiknya”.
Pihak yang tidak ingin kedok kejahatannya terbongkar kerap melakukan berbagai upaya penghadangan terhadap pers, dan itu menimpa Abu Akleh.
Kekerasan dan ancaman terhadap pers, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Bila kekerasan dan persekusi terus dibiarkan, dampaknya sangat besar.
Menyempitnya kebebasan pers membuat publik tak bisa lagi memperoleh informasi yang akurat dan tepercaya. Tanpa kebebasan pers dan kemerdekaan berpendapat, maka negara akan semakin semena-mena.
Di Indinesia pun, seperti diliris Aliansi Jurnalis Independen mencatat setidaknya ada 43 kasus kekerasan, dari teror dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pelarangan liputan.
Pada saat yang sama, wartawan juga menghadapi serangan digital dan penuntutan hukum. Ruang kebebasan pers yang menyempit ini mencerminkan kualitas demokrasi.
Tantangan dan kerja jurnslis semakin berat dengan kehadiran pasukan siber. Tidak hanya mengaburkan fakta dan mengatur arah pembicaraan di media sosial, para pendengung bayaran pun kerap menjadi motor serangan terhadap media dan jurnalis.
Salah satunya lewat doxing, pengungkapan identitas dengan tujuan persekusi, sekaligus untuk merusak kredibilitas jurnalis serta mendelegitimasi karya jurnalistik yang dihasilkan.
Terbunuhnya Shiren Abu Akleh harus dikutuk keras, termasuk pemerintah Indonesia sejatinya harus menyatakan hal yang sama.
Masalahnya, di Indonesia pun sangat rentan dengan ancaman dan kekerasan terhadap pers.***
Garut, 12 Mei 2022
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post