JAKARTA, Kabariku- DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR. Persetujuan ini diambil usai sembilan Fraksi DPR RI menyampaikan pandangan masing-masing dalam Rapat Paripurna DPR RI.
“Apakah RUU usul inisiatif Badan Legislasi DPR RI tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI?” kata Ketua DPR RI DR. Puan Maharani, S.Sos., saat memimpin Rapat Paripurna, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022).
“Setuju,” jawab peserta rapat diikuti ketukan palu sebagai tanda persetujuan. Sebelum dimintai persetujuan oleh Puan, masing-masing fraksi menyampaikan pandangannya terkait RUU TPKS.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyambut hangat para aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual, yang turut menghadiri Rapat Paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR.
“Telah hadir perwakilan Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual yang mengikuti Rapat Paripurna 18 Januari ini,” kata Puan.
Saat memimpin rapat paripurna, Puan didampingi oleh seluruh wakilnya yakni Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus, Sufmi Dasco Ahmad, Rachmat Gobel, dan Muhaimin Iskandar.
Adapun perwakilan aktivis perempuan yang disapa Puan ada 14 orang. Mereka antara lain dari Yayasan Sukma, Institut KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan, Migrant Care, Kusdiyah dari Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKK NU), Perempuan Mahardika, Suluh Perempuan, dan Sekolah Perempuan DKI Jakarta.
“Terima kasih atas kehadirannya. Semoga gotong royong kita bersama bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Sebelumnya, Puan juga menerima sejumlah aktivis perempuan yang mendukung disahkannya RUU TPKS. Ia menerima banyak masukan terkait kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan. Dalam audiensi itu, Puan memastikan siap memperjuangkan RUU TPKS agar dapat disahkan.
Politisi PDI-Perjuangan tersebut juga mengatakan dukungan dari para aktivis perempuan menambah kekuatan untuk perjuangannya.
“Masukan yang sudah disampaikan memberikan saya kekuatan tambahan untuk melaksanakan ini sebaik-baiknya. Saya meminta masukan dari luar supaya warnanya itu beragam, bisa merangkul dan mencakup semua kepentingan yang harus kita lindungi,” ungkap Puan, Rabu (12/1/2022) yang lalu.
Terkait RUU TPKS, Puan menjelaskan, setelah RUU tersebut sah menjadi inisiatif DPR, maka pihaknya bersama pemerintah akan membahas RUU yang sangat ditunggu-tunggu publik ini, setelah Presiden mengirim Surat Presiden (Surpres). “Surpres tersebut akan berisi wakil pemerintah yang ditunjuk Presiden untuk membahas RUU ini bersama DPR. Berikut juga dengan DIM (daftar inventarisasi masalah) dari pemerintah,” sebutnya.
Puan berharap publik terus memberi masukan dan aspirasi kepada DPR RI selama RUU TPKS ini dibahas pemerintah. “Kami di DPR akan terus mendengar apa yang menjadi aspirasi masyarakat agar kita bisa sama-sama mencegah segala bentuk kekerasan seksual di sekitar kita,” tutup Puan.
Pembahasan RUU TPKS setelah pengesahan ini kemudian akan dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dari sembilan fraksi, diketahui hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang tegas menolak RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Juru bicara F-PKS, Dr. Hj. Kurniasih Mufidayanti, M.Si., menyatakan, fraksinya menolak RUU TPKS bukan karena tidak setuju atas perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, terutama kaum perempuan.
“Melainkan karena RUU TPKS ini tidak memasukan secara komprehensif seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual yang menurut kami menjadi esensi penting dalam pencegahan dan perlindungan dari kekerasan seksual,” kata Mufida dihadapan Rapat Paripurna.
Sementara itu, Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI. Meski demikian, ada beberapa catatan kritis dari F-Gerindra berkaitan dengan penyempurnaan frasa (kata) agar tidak menimbulkan makna ambigu.
“Kami berharap catatan-catatan yang kami kemukakan menjadi renungan, korektif dan konstruktif bagi kinerja legislatif kita semua,” ucap juru bicara Fraksi Partai Gerindra Hj. Renny Astuty, S.H., S.PN.
Disampaikan Renny, F-Gerindra menaruh harapan besar terhadap penyusunan RUU TPKS yang pada awal pembahasannya memiliki nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. F-Gerindra berharap kata ‘kekerasan’ dihapus, sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual.
“Menurut kami, kata ‘kekerasan’ identik bersifat fisik. Sementara dalam RUU ini juga mengatur tindak pidana seksual yang bersifat nonfisik. Selain itu kata ‘kekerasan’ bertendensi bahwa RUU ini lebih mengedepankan penindakan, padahal paradigma pencegahan jauh lebih penting atau setidak-tidaknya harus berimbang antara pencegahan dan penindakan,” ungkapnya.
Selanjutnya, dalam landasan filosofis sebagaimana yang tercantum dalam konsideran menimbang, F-Gerindra merasa perlu mengganti frasa ‘dari kekerasan’ menjadi ‘dari ancaman ketakutan’. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 28 huruf g, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Untuk menimbulkan efek jera, sambung Renny, pelaku tindak pidana seksual perlu diberi hukuman yang lebih berat. Karena itu frasa ‘dan atau’ pada pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 perlu diganti dengan ‘dan’ saja.
“Artinya, pelaku tindak pidana seksual akan menerima hukuman penjara dan pidana denda. Hal tersebut juga untuk menutup kemungkinan dijatuhkan pidana denda saja,” ujarnya.
Kemudian di pasal 5 mengenai pelecehan seksual berbasis elektronik, F-Gerindra menilai perlu perumusan lebih jelas. Frasa ‘segala sesuatu yang bermuatan seksual’ diganti menjadi ‘pornografi dan atau pornoaksi’ sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
“Hal tersebut untuk melindungi pihak-pihak yang tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan seksual, agar tidak menjadi sasaran pasal tersebut. Misalnya pedagang alat kontrasepsi, atau obat sex yang biasanya juga mengirim produk contoh yang bermuat seksual kepada calon pembeli melalui media elektronik,” terang Anggota Komisi IV DPR RI itu.
Selanjutnya, Pada pasal 18 dan pasal 43 yang memuat frasa ‘tidak boleh menjustifikasi kesalahan, cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual korban dan atau saksi’, Renny menyampaikan bahwa frasa tersebut berpotensi melindungi praktik sex menyimpang dan free sex. Fraksinya berharap agar frasa ‘cara hidup dan kesusilaan termasuk pengalaman seksual’ dihapus dari kedua pasal tersebut.
Terakhir, terkait pasal 66 tentang Peran Serta Keluarga, F-Gerindra DPR RI menilai, hal tersebut sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana seksual.
“Kami menilai, perlu ada penguatan pasal tersebut berupa reward dan punishment kepada kepada keluarga yang aktif ataupun tidak aktif dalam pencegahan tindak pidana seksual,” tandas Renny.***
*Sumber: Parlemeta/dpr.go.id
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post