Jakarta, Kabariku – Banjir bandang yang melanda sejumlah kabupaten di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi bukti sahih bahwa Serakahnomic lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Darurat Kedaulatan dan Darurat Bencana Lingkungan di Indonesia” yang digelar Poros Jakarta Raya di Kedai Tempo, Jakarta. Jumat (05/12/2025).
Acara yang dimoderatori Teddy Wibisana itu menghadirkan dua aktivis senior, Standarkia Latief dan Bob Rinaldi Randilawe, sebagai pemantik diskusi.
Sejumlah tokoh turut hadir sebagai partisipan, termasuk aktivis Ali “Akong” Azhar, Pande K Trimayuni (Vokasi UI), Fajar Pramono, Alkaba, Sijo Sudarsono, Bambang, Rustam Effendi, serta Riska.
Deforestasi Dituding Jadi Akar Bencana
Dalam paparannya, Standarkia Latief menegaskan bahwa banjir bandang yang meluluhlantakkan berbagai wilayah di Sumatera merupakan dampak langsung dari deforestasi yang tidak terkendali.
Baginya, penggundulan hutan yang telah terjadi sejak era Orde Baru justru meningkat tajam dalam satu dekade terakhir.
“Laju deforestasi jauh lebih masif selama 10 tahun pemerintahan Jokowi,” kata Standarkia.
Ia menilai kebijakan yang memberi keleluasaan bagi korporasi melalui UU Omnibus Law memperparah eksploitasi sumber daya alam. Akibatnya, bencana ekologis seperti banjir bandang menjadi tak terhindarkan.
Standarkia juga menyinggung bahwa tragedi yang terjadi pada awal pemerintahan Presiden Prabowo tak lepas dari persoalan lama yang diwariskan.
“Jutaan kubik kayu gelondongan terbawa arus banjir ke permukiman warga. Ini bukti eksploitasi brutal yang tak dikendalikan,” ucapnya.
Standarkia menambahkan, tingginya utang luar negeri membuat pemerintah saat ini kesulitan menggerakkan program strategis, termasuk penanganan bencana dalam skala nasional. Sementara itu, data BNPB menunjukkan 865 korban meninggal, 463 orang hilang, dan 836 ribu warga mengungsi, yang memerlukan penanganan cepat terkait logistik, sanitasi, air bersih, listrik, dan obat-obatan.
Isu Kedaulatan di IMIP Ikut Disorot
Dalam forum tersebut, Standarkia juga menyoroti situasi di Bandara IMIP yang disebutnya sebagai “darurat kedaulatan”.
Menurutnya, bandara itu tidak dapat diakses oleh petugas imigrasi dan bea cukai sehingga diduga menjadi pintu masuk tenaga kerja asing ilegal dan jalur penyelundupan nikel ke negara lain.
“Bandara IMIP sudah dijadikan sarana pencurian sumber daya alam yang luar biasa ganasnya. Tangkap semua pelaku kejahatan, jangan ada impunitas,” tegasnya.
Teddy Wibisana, selaku pemrakarsa diskusi, menekankan bahwa menjaga kedaulatan bangsa bukan hanya soal kekuatan militer, tetapi juga kesadaran kolektif masyarakat untuk melindungi alam dan wilayahnya.
Seruan Audit Lingkungan dan Moratorium Pembalakan
Senada dengan Standarkia, Bob Rinaldi Randilawe menyebut banjir bandang di Sumatera sebagai bencana ekologi akibat “serakahnomic”, yakni praktik ekonomi rakus yang mengabaikan keseimbangan lingkungan.
Bob menyoroti pembalakan liar di sepanjang Bukit Barisan yang merambah hingga kawasan konservasi. Ia menyatakan bahwa kerusakan tersebut tidak diimbangi dengan upaya pemulihan yang memadai.
“Banyak negara melakukan deforestasi, tapi mereka cepat melakukan recovery. Tebang satu, tanam seribu. Di Indonesia, daerah aliran sungai justru dijarah, baik oleh tambang legal maupun ilegal,” ujarnya.
Bob juga mengkritik pelonggaran prosedur lingkungan selama pemerintahan sebelumnya, terutama melalui UU Omnibus Law yang sempat melemahkan kewajiban Amdal.
Untuk mencegah bencana serupa, Bob menyerukan audit lingkungan menyeluruh, penegakan sanksi terhadap pelaku perusakan lingkungan, serta moratorium pembalakan hutan di wilayah-wilayah kritis.
Ia menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam menjaga kelestarian lingkungan.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
















Discussion about this post