Bandung, Kabariku – Praktik yang mencurigakan mengusik ketenangan warga RT 03 RW 07, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pada Rabu (5/6), tanpa pemberitahuan sebelumnya, sejumlah plang milik PT DAM Utama Sakti Prima tiba-tiba muncul di atas lahan pertanian yang selama ini dikelola warga.
Plang tersebut mencantumkan klaim kepemilikan perusahaan terhadap tanah di Blok Pagermaneh II-lahan yang sejak hampir dua dekade lalu dibiarkan terbengkalai setelah masa sewa perusahaan berakhir pada tahun 2004.
Warga mempertanyakan dasar klaim tersebut, mengingat tidak adanya aktivitas maupun perpanjangan hak yang dilakukan oleh perusahaan selama ini.
Menurut keterangan sejumlah warga yang ditemui, perjanjian sewa yang kala itu dilakukan langsung antara pihak perusahaan dengan para penggarap, disepakati dengan nilai sebesar Rp5.000 per meter persegi.
Dalam perjanjian tersebut, PT.DAM Utama Sakti Prima disebutkan tidak akan memperpanjang sewa, dan apabila tidak ada pembayaran lanjutan, maka lahan dianggap kembali ke penggarap.
Sejak tidak adanya pembayaran sewa pada tahun-tahun berikutnya, lahan tersebut praktis tidak lagi dikelola oleh PT.DAM Utama Sakti Prima Warga menyebut bahwa perusahaan membiarkan tanah tersebut telantar selama bertahun-tahun.
Kini, para penggarap kembali memanfaatkan lahan tersebut untuk aktivitas pertanian demi keberlangsungan hidup mereka.
“Kami kembali menggarap karena lahan ini terbengkalai dan tak dimanfaatkan sama sekali oleh PT. DAM Utama Sakti Prima. Dulu mereka janji, kalau tidak diperpanjang, hangus. Sekarang tiba-tiba mau klaim lagi,” ujar salah satu warga penggarap.
Diketahui, PT. DAM Utama Shakti hanya memfungsikan sebagian lahan mereka yang berada di Kota Bandung dan kini telah menjadi kawasan perumahan mewah.
Sementara sebagian besar lahan lainnya dibiarkan kosong, tak terbangun, bahkan tidak memiliki fasilitas sosial dan ibadah bagi warga sekitar.
Program community development yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan pun tidak terlihat dijalankan.
Lahan hijau yang masih tersisa justru dimanfaatkan secara produktif oleh para petani penggarap dan Serikat Petani Pasundan (SPP), yang terus mengorganisir para petani dikawasan tersebut untuk mempertahankan tanah garapannya bagi kegiatan bercocok tanam dan fungsi ekonomi lainnya.
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 Pasal 28, Hak Guna Usaha (HGU) yang ditelantarkan atau tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya dapat dicabut oleh negara.
Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk mengajukan pemanfaatan kembali lahan tersebut secara legal dan produktif.
“Jika sebuah perusahaan yang “katanya punya izin” tidak mengusahakan tanah sesuai izinnya, maka negara berhak mencabut izin tersebut. Rakyat punya hak untuk memperjuangkan dan memfungsikan lahan tersebut demi kepentingan umum,” ungkap Lukman Nurhakim, Sekjen Perkumpulan Aktivis 98 yang giat melakukan pendampingan petani di Kawasan Punclut Kabupaten Bandung Barat. Sabtu (7/6/2025).
Kasus ini menjadi potret sengkarut pengelolaan tanah oleh korporasi, sekaligus menggambarkan perjuangan warga dalam mempertahankan ruang hidup dan hak atas tanah yang mereka garap selama puluhan tahun.
Warga berharap pemerintah segera turun tangan untuk menertibkan dan meninjau kembali izin HGU yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya.*Man
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post