Pembatasan Acces to Justice Keluarga Korban Kanjuruhan, Bentuk Ketidakseriusan Negara Menegakan Hukum dan HAM

Jakarta, Kabariku- Koalisi Masyarakat Sipil yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Pos Malang bersama dengan beberapa keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mendatangi Bareskrim Polri, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan LPSK pada tanggal 10 dan 11 April 2023.

Kedatangan mereka guna melakukan langkah advokasi penegakan hukum lanjutan perihal tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan 135 nyawa korban meninggal dunia.

Koalisi Masyarakat Sipil diwakili Muhammad Isnur dari YLBHI bersama Muhammad Yahya Ihyaroza, KontraS; Daniel Alexander Siagian, LBH Pos Malang; dan Jauhar Kurniawan, LBH Surabaya, menyampaikan, dari total 135 korban yang meninggal dunia, 44 diantaranya adalah merupakan korban anak dibawah umur dan perempuan.

“Maka dari itu pada hari Senin 10 April 2023 kami mendatangi Bareskrim Polri untuk membuat laporan adanya penyiksaan yang menyebabkan kematian terhadap anak dibawah umur untuk mengajukan laporan dan ketentuan pidana lainnya,” katanya dalam keterangan dikutip Sabtu (14/4/2023).

Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, seperti pembunuhan serta penganiayaan yang  mengakibatkan korban jiwa. Namun setelah diskusi yang cukup panjang dan juga alot dengan pihak SPKT dan juga penyidik dittipidum, mirisnya Bareskrim Mabes Polri menolak menerima dan menerbitkan laporan model B dari keluarga korban.

Laporan Keluarga Korban Kanjuruhan Ditolak Bareskrim

Adapun alasan yang pihak Bareskrim berikan kepada Koalisi Masyarakat Sipil adalah sebagai berikut:

Bahwa laporan yan ajukan tidak melampirkan bukti yang kuat terkait dugaan yang kami sangkakan;

Bahwa tidak adanya rekam medis yang dimiliki oleh masing-masing korban akan membuat sulitnya polisi di lapangan untuk mengungkapkan kasus yang kami laporkan;

Bahwa mereka menerangkan terdapat kesulitan mengusut kasus ini yang mana terdapat pihak yang memiliki kepentingan dan pangkat lebih tinggi dari mereka sehingga sangat sulit untuk melaksanakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam laporan yang akan diselidiki nantinya;

Bahwa saat ini proses peradilan mengenai kasus Kanjuruhan masih berjalan pada tahap banding dan kasasi, sehingga mereka beranggapan bila laporan ini diterima akan mengganggu proses yang saat ini masih berjalan.

Pada akhirnya tindakan penolakan laporan oleh Bareskrim justru merupakan bentuk pembatasan access to justice keluarga korban kanjuruhan, sehingga Bareskrim dalam hal ini dinilai tidak serius dan tidak berperspektif korban dalam proses penegakkan hukum yang berkeadilan.

Daniel Siagian dari LBH Pos Malang yang mendampingi keluarga korban menanggapi hal diatas pihaknya sangat tidak sependapat dengan alasan pihak Bareskrim.

“Kami menyampaikan bahwa alasan-alasan yang diberikan oleh pihak Bareskrim tidak berlandaskan hukum dan terkesan sedari awal memang mereka tidak ingin menerima laporan yang kami ajukan,” ujarnya.

Menurutnya, laporan yang diajukan merupakan laporan tindak pidana sehingga laporan tersebut seharusnya tidak perlu dilampirkan dengan alat bukti, sehingga proses pembuktian dilakukan ketika dimulainya gelar perkara setelah laporan diterima.

“Bahwa mekanisme mengumpulkan alat bukti adalah melalui proses penyidikan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP,” jelasnya.

Selanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil pun menerangkan kepada pihak Bareskrim mengenai alat bukti yang mereka minta sebagaimana ketentuan pasal 184 KUHAP.

“Kami sudah membawa dokumen-dokumen penunjang seperti data diri korban, laporan/hasil investigasi yang telah dilakukan oleh Koalisi Masyarakat dan juga pihak keluarga korban sebagai kesaksian keterangannya dapat dijadikan sebagai alat bukti,” bebernya.

Pun laporan yang diajukan telah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Polri sehingga seharusnya tidak ada alasan bagi pihak Bareskrim untuk tidak menindaklanjuti atau menolak laporan yang kami ajukan.

Bahwa seharusnya pihak Bareskrim tidak boleh menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sah sebagaimana yang dimuat di dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Memang sedari awal kami menilai jika pihak Bareskrim abai dan tidak serius dalam menerima niat kami untuk mengajukan laporan ini, terlebih Perspektif Gender dan korban anak dibawah umur yang diabaikan menjadi fatal apabila dipandang serupa dengan penanganan perkara pidana umum lainnya,” ucapnya.

Pihaknya menilai bahwa alasan-alasan yang diberikan pun sangat tidak berdasar hukum dan sangat mencederai rasa keadilan bagi keluarga korban dengan mengatakan sulitnya pihak Polisi untuk menjalankan tugas dengan adanya pihak-pihak lain dengan pangkat yang lebih tinggi dan kesulitan Polisi untuk mengungkap kejadian bila tidak didukung dengan rekam medis ataupun visum dari masing-masing korban.

Sedangkan pembuktian bisa dilakukan dengan pendekatan circumstantial evidence dalam criminal justice system melebihi pembuktian secara konvensional.

“Maka kami menilai bahwa Bareskrim Mabes Polri tidak memperhatikan prinsip Open scientific Criminal Investigation melalui Multiple action dan Multiple Cause,” cetusnya.

Selasa, 11 April 2023, mereka melanjutkan langkah advokasi lanjutan dengan mendatangi Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan LPSK.

Dalam pertemuan dengan Komnas HAM kami menyampaikan beberapa poin yang diantaranya adalah kekecewaan keluarga korban atas vonis ringan yang diberikan oleh Majelis Hakim.

“Kami juga menjelaskan mengenai ditolaknya laporan oleh Bareskrim; dan dorongan untuk dapat mengkategorikan tragedi Kanjuruhan ini sebagai kasus Pelanggaran HAM berat,” katanya.

“Pada intinya pihak Komnas HAM menerima aduan kami dan akan menindaklanjuti mengenai penolakan yang dilakukan oleh pihak Bareskrim,” lanjut dia.

Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM meminta kepada Koalisi Masyarakat untuk berkolaborasi dan memberikan pandangan mengenai kasus ini untuk nantinya akan mempermudah kerja-kerja Komnas HAM dalam mengkaji kasus ini.

“Selesai dari audiensi dengan Komnas HAM, kami melanjutkan perjalanan menuju Kejaksaan Agung guna melaporkan dugaan adanya tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam tragedi Kanjuruhan melalui Jampidsus,” kata Muhammad Yahya Ihyaroza, KontraS.

Pada kesempatan ini, tinya melampirkan laporan tersebut kepada bagian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

“Laporan kami diterima oleh pihak yang bersangkutan. Selanjutnya kami juga menyampaikan harapan kami untuk pihak Kejaksaan Agung dapat memantau dan memastikan upaya hukum banding yang saat ini sedang ditempuh agar kejadian pada sidang di Pengadilan Negeri Surabaya tidak terulang kembali. Yang dimana kami menilai jika persidangan itu dilakukan memang untuk gagal mengungkap kebenaran (intended to fail),” bebrnya.

Lanjut dijelaskannya, pada sore harinya mendatangi pihak LPSK guna melakukan audiensi perihal hal-hal yang dialami oleh keluarga korban pasca tragedi Kanjuruhan dan harapan-harapan pihak keluarga.

“Pada kesempatan ini kami diterima oleh Wakil Ketua LPSK dan juga 2 tenaga ahli. Pada audiensi kali ini kami menyampaikan bahwa hingga sampai saat ini pihak keluarga korban masih sering mendapatkan intimidasi dan juga bantuan-bantuan baik dari pihak Polisi ataupun pihak yang tidak dikenal,” terangnya.

Praktik seperti ini dinilai guna meredam pihak keluarga yang aktif dalam melakukan kegiatan advokasi. Selain itu pihaknya juga menyampai tidak adanya Restitusi dalam rumusan tuntutan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, hingga pada akhirnya Hakim pun memvonis terdakwa tanpa adanya ketentuan untuk memberikan restitusi kepada korban.

Selanjutnya pihak korban juga menyampaikan bahwa kerugian yang mereka alami tidak hanya dari segi materiil tetapi juga immateriil.

Banyak dari keluarga korban yang mengalami trauma sehingga membutuhkan pendampingan konseling atau rehabilitasi.

Berkenaan dengan hal itu, pihak LPSK menampung aspirasi yang disampaikan oleh pihak keluarga korban dan nantinya akan menindaklanjuti kemungkinan lainnya agar para korban dan keluarga korban mendapatkan perlindungan hukum, restitusi dan rehabilitasi.

Sulitnya keluarga korban dalam mencari keadilan dan tidak seriusnya dari pihak-pihak yang berwajib dalam mengungkap dan menuntaskan kasus ini menandakan negara masih gagal menjamin terpenuhinya hak asasi manusia di Indonesia saat ini.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik hingga Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.

Berdasarkan berbagai uraian dan pandangan kami diatas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:

Presiden Republik Indonesia untuk serius dalam menuntaskan tragedi Kanjuruhan ini dengan mendesak dan memanggil pimpinan Lembaga Mekopolhukan, Kapolri, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia;

Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepala Bareskrim POLRI segera menerima Laporan yang diadukan oleh keluarga Korban Kanjuruhan;

Mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung secara proaktif untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM Berat Tragedi Kanjuruhan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;

Mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung (BAWAS MA) melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran oleh hakim yang memberikan vonis bebas dan ringan;

Mendesak Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) melakukan pengawasan terhadap buruknya kinerja Bareskrim yang menolak laporan keluarga korban Kanjuruhan;

Mendorong Kejaksaan Agung Mengawal secara Maksimal dalam proses Banding dan Kasasi sidang Kanjuruhan;

Mendorong LPSK tetap maksimal memberikan perlindungan hukum bagi saksi keluarga korban Kanjuruhan.***

Red/K.101

Tinggalkan Balasan