Kabariku- Kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo menurun menjadi 58,1 persen, terendah dalam enam tahun terakhir. Hal itu berdasarkan hasil survei nasional dari Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia per Mei 2022.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, kepuasan publik terhadap presiden turun lima kali dari enam kali survei sejak Januari 2022 hingga Mei 2022.
Meskipun sempat mengalami kenaikan pada survei 20-25 April 2022 yakni 64,1 persen.
Namun, menurun Burhan kepuasan terhadap Jokowi pada survei Indikator pada 5-10 Mei 2022 turun kembali menjadi 58,1 persen. Survei terakhir ini melibatkan 1.228 responden dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen.
“Ada 35,71 persen masyarakat yang mengatakan tidak puas dengan Jokowi. Alasan utamanya yaitu masalah harga-harga kebutuhan pokok meningkat,” jelas Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers daring, dikutip Selasa (17/5/2022).
Burhan menambahkan alasan lain yang membuat responden tidak puas terhadap presiden yaitu bantuan yang tidak merata, lapangan kerja atau pengangguran, dan gagal menangani mafia minyak goreng.
Sementara mayoritas publik yang puas dengan presiden beralasan membangun infrasruktur, kinerjanya sudah bagus, memberi bantuan kepada rakyat kecil, dan orangnya baik.
Isu Minyak Goreng
Isu minyak goreng ini menjadi salah satu isu yang berkaitan langsung dengan tingkat kepuasan karena produk ini menyumbang tingginya tingkat inflasi.
Survei ini juga menunjukkan penurunan kepuasan publik disebabkan karena kesenjangan antara ekspektasi kebijakan dengan realitas di lapangan terkait penanganan minyak goreng.
Selain itu, 54,9 persen responden mengaku pernah mendengar bantuan langsung tunai minyak goreng. Namun, 62,3 persen dari yang mendengar mengaku tidak menerima BLT.
“Jadi tingkat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng menurun, tetapi dari sisi harga itu di luar keterjangkauan rakyat,” tambahnya.
CELIOS: Kebijakan Pemerintah Tak Berdampak pada Masyarakat
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan survei ini mengonfirmasi bahwa kebijakan minyak goreng yang diambil pemerintah tidak berdampak di masyarakat. Ia beralasan harga minyak goreng kemasan justru mengalami kenaikan dalam 1 bulan terakhir menjadi sekitar Rp. 24.500,-.
Sementara untuk minyak goreng curah dengan harga Rp 14 ribu per liter, kata Bhima, masih sulit dilakukan dan ditemukan kebocoran.
Belum lagi, petani sawit yang mengeluhkan harga minyak sawit mentah (CPO) turun, tapi masih harus membeli minyak goreng dengan harga tinggi.
“Artinya disitu ada penurunan daya beli terhadap minyak goreng. Bahkan terjadi di petani kelapa sawit,” tutur Bhima Yudhistira.
Bhima menambahkan dampak inflasi tidak hanya berpengaruh terhadap kepercayaan publik kepada pemerintahan. Namun, publik juga khawatir terhadap kenaikan suku bunga dan harga bahan pokok yang tidak turun.
Ditambah lagi, BLT yang diberikan pemerintah tidak akan mencukupi jika harus diberikan kepada 100 juta golongan tidak mampu. Karena itu, ia meminta pemerintah tidak menganggap enteng dan mencari solusi atas inflasi.***