Singkawang, Kabariku – Kota Singkawang di Kalimantan Barat adalah bukti nyata bahwa perbedaan dapat menjadi puisi. Dan dalam puisi itu, wajah oriental gadis-gadis Tionghoa menjadi bait yang paling memikat. Singkawang juga bisa disebut kota pelangi budaya yang terbentang di antara gunung, laut, dan sejarah panjang peradaban multietnis.
Artinya, Singkawang bukan sekadar titik di peta, tetapi denyut nadi keberagaman yang hidup dan bernapas.
Nama Singkawang berasal dari dua sumber bahasa, yaitu bahasa Hakka dan bahasa Dayak Salako. Dalam bahasa Hakka, “San Khew Jong” berarti “gunung, muara, dan laut”, yang menggambarkan kondisi geografis Singkawang yang dikelilingi oleh pegunungan dan dekat dengan laut. Sementara dalam bahasa Dayak Salako, “Sakawokng” berarti “rawa-rawa”.
Lepas dari asal nama, di jalan-jalan Kota Singkawang, lentera merah bergantung berdampingan dengan kubah masjid dan menara gereja. Warga berjalan bersisian tanpa prasangka: umat Islam, Kristen, Buddha, dan Konghucu saling menyapa dengan senyum tulus.

Gadis Tionghoa yang cantik pemilik warung makanan di Singkawang
Di antara mereka, perempuan-perempuan Tionghoa berjalan anggun, membawa kecantikan oriental yang lembut sekaligus kuat. Wajah mereka menyimpan cerita ratusan tahun silam: tentang leluhur yang datang melintasi lautan, menetap, dan menyatu dengan tanah Borneo.
Kecantikan gadis-gadis Tionghoa di Singkawang tak hanya terletak pada parasnya yang memesona—kulit porselen, mata sipit yang lembut, dan rambut hitam pekat yang terurai—tetapi juga dalam cara mereka menjaga warisan budaya.
Dalam balutan cheongsam atau kebaya encim, mereka menari pada perayaan Cap Go Meh, mengayunkan tubuh dengan gemulai diiringi suara tabuhan dan semburat dupa. Kecantikan mereka adalah simbol keanggunan budaya yang tidak terhapus oleh zaman.
Namun, Singkawang bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang harmoni. Suku Dayak dengan tenun dan upacara adatnya, Melayu dengan seni tutur dan irama zapinnya, serta Tionghoa dengan warisan kuliner dan tradisinya—semuanya berbaur dan bersatu.
Makanan seperti choipan, yang menjadi ikon kuliner kota ini, adalah simbol konkret dari akulturasi: tekstur Tionghoa, isi lokal, dan cita rasa universal.
Dibingkai oleh gunung dan lautan, dengan langit yang bersih dan udara yang penuh wangi dupa dan bumbu dapur, Singkawang adalah lukisan yang tak henti-hentinya mengundang pesona. Sebuah kota di mana keberagaman bukan tantangan, melainkan kekayaan. Di mana kecantikan perempuan bukan hanya perhiasan, tapi perwujudan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi.
Sekali lagi, Singkawang adalah bukti nyata bahwa perbedaan dapat menjadi puisi. Dan dalam puisi itu, wajah oriental gadis-gadis Tionghoa menjadi bait yang paling memikat.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post