Jakarta, Kabariku – SETARA Institute kembali merilis laporan tahunan mengenai situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Laporan bertajuk “Regresi di Tengah Transisi” ini memotret kondisi KBB sepanjang tahun 2024 yang justru menunjukkan kemunduran signifikan, terutama di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan pada awal pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Selama 18 tahun terakhir, SETARA secara konsisten memantau dan mendokumentasikan pelanggaran KBB dari berbagai sumber, termasuk laporan korban, jaringan pemantau lokal, serta triangulasi dengan pemberitaan media. Temuan tahun ini mencatat lonjakan yang mengkhawatirkan: terdapat 260 peristiwa dengan 402 tindakan pelanggaran KBB. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 217 peristiwa dan 329 tindakan.
Dari total 402 tindakan pelanggaran, 159 dilakukan oleh aktor negara dan 243 oleh aktor non-negara. Pemerintah daerah menjadi penyumbang pelanggaran terbanyak dari aktor negara (50 tindakan), disusul oleh kepolisian (30), Satpol PP (21), TNI (10), Kejaksaan (10), dan Forkopimda (6). Sementara itu, pelanggaran dari aktor non-negara banyak dilakukan oleh ormas keagamaan (49 tindakan), kelompok warga (40), individu (28), Majelis Ulama Indonesia (21), dan tokoh masyarakat (10).
Tiga sorotan penting dalam laporan ini adalah:
Pertama, meningkatnya intoleransi oleh masyarakat yang mencapai 73 tindakan, serta tindakan diskriminatif oleh negara sebanyak 50 tindakan. Padahal, di tahun 2023, tindakan intoleransi hanya tercatat sebanyak 26 dan diskriminatif 23.
Kedua, lonjakan kasus penggunaan pasal penodaan agama. Dari 15 kasus di tahun 2023, meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 42 kasus pada 2024. Dari jumlah itu, tujuh kasus didakwa dan tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat negara, sementara 29 laporan berasal dari masyarakat.
Ketiga, gangguan terhadap pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah masih menjadi masalah serius. Meski terjadi penurunan jumlah dari 65 kasus pada 2023 menjadi 42 pada 2024, persoalan ini dinilai belum terselesaikan secara sistemik.
Faktor pemicu meningkatnya pelanggaran antara lain situasi politik nasional menjelang dan pasca Pemilu 2024 serta Pilkada serentak. Meskipun politik identitas berbasis agama tak seramai 2014 atau 2019, beberapa daerah tetap menunjukkan gejala politisasi agama. Selain itu, menurunnya perhatian pemerintah terhadap isu KBB menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi ikut memperburuk kondisi.
Secara geografis, Jawa Barat kembali menjadi provinsi dengan pelanggaran tertinggi (38 peristiwa), disusul Jawa Timur (34), DKI Jakarta (31), Sumatera Utara (29), Sulawesi Selatan (18), dan Banten (17).
Laporan ini menjadi pengingat penting bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Transisi kekuasaan disebut belum diiringi dengan komitmen kuat terhadap pemajuan KBB. Oleh karena itu, SETARA Institute merekomendasikan sejumlah langkah strategis, seperti menjadikan isu KBB sebagai prioritas dalam RPJMN 2024–2029 dan RPJP 2024–2045, mempercepat pembentukan Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama, serta penguatan tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif.
Menurut SETARA, hanya dengan kepemimpinan tegas dan kebijakan progresif, regresi kebebasan beragama ini dapat dihentikan dan diubah menjadi kemajuan nyata demi perlindungan hak konstitusional seluruh warga negara.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post