Kabariku- Kasus Nurhayati pelapor kasus dugaan penyelewengan APDes (dana desa) Desa Citemu mencapai Rp. 800 juta, dinyatakan tersangka oleh Polres Cirebon Kota dijerat dengan pasal Pasal 66 Permendagri Nomor 20/2018, juga pasal 2 dan 3 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto pasal 55 KUHP, yang mengatur terkait masalah ‘tata kelola regulasi dan sistem administrasi keuangan’.
Tak hanya bagi warga Cirebon, tapi juga menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya dari praktisi hukum Syamsul Huda Yudha, SH. MH., berpendapat, tindak Pidana Korupsi tergolong sebagai extraordinary crime, sehingga dalam upaya pemberantasannya memerlukan penanganan khusus.
“Dalam penetapan status tersangka, APH perlu mengumpulkan barang bukti mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa, berdasarkan pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP,” katanya.
Syamsul Huda pun menekankan pentingnya aparat penegak hukum (APH) untuk memproses semua laporan yang masuk untuk ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait.
“Untuk menentukan apakah laporan masyarakat tersebut dapat ditindaklanjuti dengan menentukan atau menetapkan seorang sebagai tersangka atau justru menghentikan laporan tersebut demi hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait. Misalnya dengan terpenuhinya seluruh alat bukti dan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilaporkan,” tegasnya.
Menilik ke aturan hukum yang berlaku, menurut Syamsul Huda, saksi dan pelapor tindak pidana korupsi seharusnya dapat mengakses perlindungan hukum, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya.
“Hal ini sebagaimana diatur dalam perundang-undangan pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan korupsi dapat diberikan perlindungan hukum, salah satu bentuk peran masyarakat dengan menjadi saksi atau pelapor,” jelasnya.
Lebih jauh Syamsul Huda memaparkan, Pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 mengungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi wajib memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor tindak pidana korupsi, mencakup perlindungan hukum, keamanan, keselamatan, dan ancaman.
Perlindungan terhadap pelapor dan saksi dikuatkan kembali lewat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 yang menyatakan bahwa seorang saksi dan pelapor berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan atau telah diberikannya tanpa tekanan, saksi atau pelapor berhak mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus, informasi putusan pengadilan, bahkan mendapatkan tempat kediaman baru, bahkan identitas baru apabila diperlukan.
“Artinya, setiap warga negara berhak membuat laporan atas adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang lain atau pejabat pemerintah,” katanya.
Bahkan, diterangkannya, KPK sendiri membuka kran laporan masyarakat bilamana mereka mengetahui adanya pelanggaran hukum.
“Seperti korupsi berupa penyuapan, dan selama ini sudah banyak sekali laporan atau pengaduan yang ditindaklanjuti dengan melakukan aksi OTT, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Terkait dengan kasus Nurhayati, Syamsul Huda menyebut adanya pejabat yang tak dapat menerima laporan tersebut.
“Tidak sedikit orang-orang atau pejabat yang gerah dengan laporan demikian sehingga mencari celah hukum untuk membuat laporan pidana kepada yang bersangkutan, kemudian kita kenal sebagai ‘kriminalisasi’,” ujarnya.
Sementara untuk Nurhayati, Syamsul Huda menuturkan, pihaknya dapat mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar memperoleh perlindungan hukum.
Syamsul Huda menegaskan, kepolisian agar lebih jeli menilai laporan yang diterima, apakah memiliki kekuatan bukti yang kuat atau sekedar upaya untuk mengkriminalkan orang lain.
“Pihak berwenang harus kembali mendalami serta memeriksa dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada dalam perkara tersebut dengan teliti, apabila Nurhayati merasa APH telah melanggar ketentuan Hukum Acara Pidana terkhusus dalam penetapan Tersangka, maka dalam hal ini Nurhayati dapat menempuh Upaya Hukum Praperadilan untuk membuktikan sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, serta menguji apakah APH dalam menetapkan status Tersangka telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan,” terang Syamsul Huda.
Melansir dari detik.com, Penetapan tersangka Nurhayati itu bermula dari kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jabar. Nurhayati saat itu menjabat sebagai Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Citemu. Kades Citemu berinisial S ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi APBDes tahun anggaran 2018, 2019 dan 2020. Nurhayati menjadi saksi dalam kasus tersebut.
Polres Cirebon Kota menangani dugaan kasus ini. Berkas penyidikan kasus ini pun dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon.
23 November 2021, kejaksaan dan penyidik menggelar ekspos dugaan kasus korupsi yang menjerat Kepala Desa Citemu. Hasil ekspos antara kejaksaan dan polisi itu menyimpulkan untuk dilakukan pendalaman. Penyidikan dilanjutkan.
2 Desember 2021, Kejaksaan menerima SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) yang menyatakan Nurhayati sebagai tersangka.***
Red/K.000
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post