“Ketika kerugian triliunan dikejar dengan denda dua miliar, hukum bukan lagi pelindung rakyat, tapi jadi penonton ketidakadilan”
oleh:
Kuldip Singh
Aktivis 1998 dan Sekjen Pijar Indonesia 1998
Jakarta, Kabariku – Pada Rabu, 26 Juni 2025, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan kepada publik sebuah modus penipuan beras subsidi rakyat yang dilakukan secara sistematis oleh pelaku usaha.
Dalam konferensi pers bersama Kepala Badan Pangan Nasional, Satgas Pangan, dan Kejaksaan RI, Amran membeberkan bahwa ada lebih dari 157 ribu ton beras premium dan 65 ribu ton beras medium yang dikemas ulang secara ilegal, diturunkan kualitasnya, dikurangi timbangannya, dan bahkan belum terdaftar izin edarnya. Kerugian yang ditimbulkan? Ditaksir mencapai Rp99 triliun.¹
Aroma subsidi beras rakyat yang dimanipulasi ini hanyalah puncak dari gunung es. Kita menyaksikan pola yang berulang: megakorupsi dengan nilai kerugian triliunan rupiah, tapi hukum hanya berani mengetuk pelaku dengan denda recehan atau uang pengganti yang tak sebanding.
Lihatlah kasus korupsi timah di Bangka Belitung yang menyeret pengusaha hingga pejabat, dengan dugaan kerugian negara lebih dari Rp271 triliun.
Atau korupsi ekspor BBM yang melibatkan perusahaan anak dari figur besar Reza Chalid, dengan kerugian ratusan miliar rupiah per kapal.
Belum lagi Asabri (Rp22 T), Jiwasraya (Rp16 T), dan BTS 4G Kominfo (Rp8 T). Kasus demi kasus berlalu, rakyat tetap merugi, hukum tetap tak cukup berani memulihkan.
Di era ketika korupsi bukan lagi soal amplop, melainkan jaringan sistematis lintas lembaga dan korporasi, hukum kita masih memakai pasal lama dan denda murahan.
Dua miliar rupiah denda untuk kerugian 99 triliun? Ini bukan hukum. Ini penghinaan.
KUHP warisan kolonial dirancang untuk pencuri ayam, bukan predator ekonomi. UU Tipikor pun tak otomatis menuntut pengembalian utuh kerugian negara. Sering kali, yang terjadi: pelaku cukup duduk di penjara, negara tetap menanggung kerugian.
Negara lain menjatuhkan denda berdasarkan keuntungan ilegal. Bahkan China menggunakan hukuman mati untuk korupsi besar. Kita? Masih sibuk berdebat apakah korporasi bisa dipidana.
Hukum yang tak bisa memulihkan kerugian negara adalah hukum yang gagal. Hukum yang tertatih mengejar koruptor yang berlari, hanya akan menjadi pelindung elit, bukan pelindung rakyat.
Kita butuh revolusi hukum ekonomi:
-Denda harus sepadan dengan kerugian
-Seluruh aset disita
-Korporasi dibubarkan
-Pelaku dilarang berbisnis
-Pemulihan kerugian harus menjadi prioritas, bukan sekadar formalitas
Dan yang paling penting: hukum harus tunduk pada kedaulatan rakyat, bukan pada kuasa modal dan kompromi politik.
Karena jika hukum tidak lagi membela rakyat, maka rakyatlah yang harus merebut kembali keadilan.*
Jakarta, 1 Juni 2025
Sumber Data Penulis :
CNBC Indonesia (26 Juni 2025): Amran Bongkar Modus Penipuan Beras
CNBC Indonesia (14 Maret 2024): Kerugian Korupsi Timah Capai Rp271 T
Tempo (6 Februari 2024): Kejagung Telusuri Ekspor BBM Anak Reza Chalid
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post